Malam, Pagi, dan Senja

Sunset
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Ketika malam datang, kutahu malam ini bukan milikku. Tapi dengan egois kurengkuh tubuhnya, tubuh tegap yang aku rindukan. Dosa malam ini benar-benar kunikmati. Malam ini tak ada penyesalan, seperti malam-malam yang sudah lalu. Tapi pagi dengan nyata akan membawakanku semangkuk penyesalan.

Curahan Hati Istri Korban Pembunuhan Dibakar Hidup-hidup di Langkat

Kubuka mata dengan guyuran air mata. Aku tahu betul kesalahanku malam itu. Bukan kali pertama rasa sesal ini datang bersama pagi. Terus menggelayut sampai malam yang sama datang lagi dan tubuh tegap itu kembali terbaring di sampingku tanpa tahu rasa sesal yang selalu mengikatku setiap harinya.

Tuhan, kau beri aku akal, tapi mengapa terkadang akal ini hilang begitu nafsu menghampiri. Tuhan, rasanya tak adil ketika akal tak punya peran yang kuat dan selalu hilang ketika nafsu datang. Tuhan, aku takut membicarakan agama dan kepercayaan di sini. Aku tahu kata pendosa tertulis jelas di dahiku. Tapi Tuhan, apakah seorang pendosa tak berhak memohon pada-Mu?

Hanya Bisa Mencintaimu dalam Diam

Terkadang aku takut kehilangan semangkuk sesal yang selalu pagi bawakan untukku setiap kali lelaki tegap terbaring di sampingku. Aku takut jika pagi tak lagi membawakan sesal padaku, aku akan hidup seperti manusia tanpa hati. Menjalani hari tanpa rasa bersalah adalah kengerian yang terkadang hadir di benak kecilku. Terkadang aku ingin memeluk pagi dan mengucapkan terima kasih untuk semangkuk sesal yang selalu ia bawa.

Setiap kali kutolak kehadiran si lelaki tegap ini, rasa sesal menggelayut dahsyat. Ada rasa iba, rasa ingin memberikan kehangatan untuk lelaki yang tak bisa kusebut lelakiku. Tapi aku tahu ada tangan lain yang lebih berhak membuatnya merasa lebih hangat. Dan itu bukan aku. Entah bagaimana ia bisa terbaring di sampingku seperti malam-malam lalu. Aku pun tak paham betul mengapa ia memilih terbaring di samping wanita yang jelas tak mampu memeluknya.

Menanti Buah Hati yang Tak Kunjung Hadir

Tak jarang ia mendesah panjang di sampingku. Seperti ada sesuatu yang tak mampu ia keluarkan. Dan aku pun hanya mampu menahan nafasku agar tak juga menghela nafas panjang di sampingnya. Kami hanya berbaring tanpa berkata. Tapi aku merasa ia sudah menyampaikan banyak keresahannya. Hanya dengan diam aku merasa bisa mengenalnya. Tapi mungkin ini hanya rasaku karena tak mampu membuatnya bicara ketika ada di sampingku.

Wanita mana yang mau melihat lelakinya terbaring di samping wanita lain? Tak ada. Tidak juga aku. Tapi lihat! Aku berbaring dengan lelaki yang selalu menyebut nama wanitanya dan bukan namaku. Ingin kusudahi rasa ini, tetapi entah apa yang membuatku selalu kembali memilih untuk berbaring di sampingnya dari pada pergi.

Oh, pagi, cukuplah kau bawakan aku semangkuk penyesalan setelah malam berlalu. Jangan kau pusingkan aku dengan rasa bersalah pada wanita baik yang menunggu lelaki, yang tak mampu kusebut lelakiku ini kembali setelah berbaring bersamaku. Oh pagi, bisakah kau ajak senja untuk menghampiriku pagi ini dan bawakan aku kekuatan untuk berlari dari lelaki tegap yang dengan mudahnya menjatuhkanku di sampingnya. Membuatku tak bergerak dan hanya menunggu ia untuk kembali kepada wanitanya.

Aku ingin senja membantuku berlari dari semua rasa yang tak mampu kuungkap. Membantuku agar mampu menolak kehadiran lelaki yang tak pernah mampu kusentuh. Aku menyerah pada malam. Tak mampu kuhilangkan hadirnya di sampingku. Malam terlalu kuat membungkamku untuk tetap diam ketika ia terbaring di sampingku. Dan pagi terlalu dingin dengan semangkuk penyesalannya.

Harapanku hanya senja. Kuharap senja lebih mengerti dan bersahabat padaku. Kelak, entah kapan, ia pasti melupakanku dan menganggapku tak pernah benar-benar hadir di malam harinya. Tapi pasti aku akan selalu mengingat bersama malam, betapa tenangnya ketika lelaki tegap ada di sampingku tanpa bersuara. Hanya degupan jantungku dan suara nafasnya yang mengisi ruang kosong malam itu. Dan pasti aku akan menangis bersama pagi, menyantap dengan tenang semangkuk penyesalan dan secangkir rindu yang menyesakkan.

Mungkin terdengar menyedihkan. Tapi aku tahu masa itu akan ada. Dan aku akan menikmatinya dengan air mata. Karena aku yang tetap membiarkan malam hadir bersamanya dan terbaring di sampingku hingga malam ini. (Tulisan ini dikirim oleh Poetry Galuh, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya