Tonny Mendapat Kedamaian Hidup di Klenteng Hok King Tjoen

Klenteng Hok King Tjoen, Juwana, tempat pengabdian Tonny.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Tonny, demikian panggilan lelaki Tionghoa bermarga Tan yang berusia 58 tahun ini. Pekerjaannya sebagai Biokhong (juru kunci) Klenteng Hok King Tjun (HKT) di Demakan, Juwana, Pati, Jawa Tengah.

Pergilah Dinda Cintaku

Orang tak menyangka jika dia dulu adalah seorang tauke (saudagar) sarang burung walet di Surabaya. Setelah bisnisnya mundur, keluarganya ikut hancur. Lalu Tonny menjalani sisa hidupnya di hari tua dengan mengembara dari vihara ke vihara lain. Akhirnya, selama 10 tahun ini ia terdampar di Klenteng HKT sebagai Biokhong.

Waktu ditemui di Klenteng 'HKT', terbata-bata Tonny mengisahkan hidup masa lalunya. Dimulai dari puluhan tahun silam, nama Tonny sangat terkenal di Pasar Tunjungan Surabaya. Dia tersohor sebagai tauke sarang burung walet dan kaya raya. Sikapnya yang dermawan dan selalu memberi uang pada setiap orang yang menyapanya, membuat nama Tonny kian populer di pasar terbesar di Surabaya ketika itu.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Tak tahunya, sikap itu merupakan awal dari kehancuran hidupnya. Berulang kali istri dan tiga anaknya yang telah beranjak dewasa menegur Tonny agar tidak terlalu boros, membagi-bagi uang pada orang lain. Anehnya, semakin ditegur keluarganya, Tonny semakin dermawan. Percekcokan sering terjadi antara Tonny dengan istri dan anak-anaknya. Ketidakharmonisan dalam keluarga berdampak pada bisnis Tonny.

Sebagaimana kepercayaan orang Tionghoa, perselisihan dalam keluarga merupakan pangkal kesialan dalam hidup. Kebiasaannya hidup bermewah-mewah ditandai dengan hobi makan-makan mentraktir teman-temannya di restoran. Ditambah perilaku royalnya membagi uang tanpa ukuran pada para handai taulan. Akhirnya menghantarkan Tonny pada kebangkrutan. Dia mulai banyak utang dalam usaha menegakkan bisnisnya.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Lama-lama utangnya menumpuk, menggunung tak terbendung. Harta benda berharga dijualnya untuk menombok dagangan. Sampai akhirnya rumah tempat tinggal pun ikut terjual. Klimaks ambruknya bisnis Tonny adalah ketika istrinya tidak mau lagi melanjutkan berumah tangga dengannya. Sang istri pulang kampung ke kota asalnya di Jember. Tonny berupaya menyusul untuk melumerkan hati istri dan anak-anaknya, namun dia tetap ditolak keluarganya.

Putus asa dan frustrasi menyelimuti diri lelaki itu. Seakan hidupnya tak lagi mempunyai pijakan. Dengan membawa kegalauan hatinya, Tonny kemudian mengembara ke manapun tanpa tujuan. Yang dia cari hanya kedamaian hidup. “Saya pernah bertahun-tahun berdiam di Yogyakarta,” tutur Tonny. Di kota itu dia tinggal sekaligus mengabdikan diri di sebuah vihara, lalu pindah ke sebuah klenteng.

Di vihara dan klenteng itu, dia benar-benar mengabdikan hidupnya dengan cara bekerja apa saja yang bisa dikerjakan demi kebaikan tempat ibadah tersebut. Sama sekali tanpa upah, kecuali makan-minum dan kebutuhan hidup minimal lainnya yang dicukupi oleh vihara/klenteng. Di Yogyakarta, ternyata kedamaian hidup belum didapatnya. Tonny lantas memberanikan diri mengembara ke Jakarta. Tinggal di klenteng kawasan Glodok, bertugas sebagai Biokhong.

Dari tugas itu dia tak digaji, tapi sedikit uang acap digenggamnya, pemberian dari tamu klenteng. Uang itu bisa dimanfaatkan untuk membeli sabun mandi dan cuci. Jika ada kelebihan, dapat dipakai membeli rokok. Di Jakarta, ternyata dia merasa nuraninya belum damai dan mulai berpikir perlunya menekuni “Ajaran Sang Maha Budha”, agar kedamaian hidup diperolehnya.

Tekad mendalami Ajaran Sang Budha demi mendapat kedamaian hidup diwujudkan dengan pindahnya Tonny ke vihara besar di Bogor. Di vihara itu, di bawah arahan seorang Bante/Biksu, dia mulai tekun menerima ajaran Sang Budha dan sambil bekerja tanpa pamrih. “Empat tahun lebih di Bogor, sebelum akhirnya hijrah ke Klenteng Hian Thian Shang Tee (HTST) di Welahan, Jepara, Jawa Tengah”, kata Tonny.

Klenteng dengan tuan rumah Khongco (Suci) Hian Thian Siang Tee atau Dewa Pengobatan ini sengaja dipilihnya. Karena Khongco tersebut dikenal sakti dan murah hati, menolong siapapun yang sedang menderita sakit jasmani maupun rohani. Kurang setahun bekerja tanpa upah sebagai biokhong di Klenteng HTST Welahan,Jepara, suatu saat pengurus klenteng minta Tonny pindah ke Klenteng HKT Juwana, Pati, sekaligus menjaga patung Khongco Kwan Tek See Koen (Kwan Khong), yang dipindahkan dari Klenteng Welahan ke Klenteng Juwana. Tidak ada alasan lain untuk menolak, kecuali melaksanakan permintaan itu dengan sepenuh hati.

Sebagai biokhong di Klenteng HKT Juwana, Tonny bukannya mendapat kedamaian hidup. Sebaliknya justru ia merasa batinnya tersiksa, meskipun setiap bulan didapat honor ratusan ribu rupiah. Di klenteng itu, dirinya seakan seperti petapa. Sehari-hari sendirian tanpa kawan dan tak punya kenalan. Sedangkan pengunjung klenteng, tiap bulan bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

Setiap malam pikirannya menerawang ke mana-mana, mencari peluang untuk bisa keluar, lepas dari klenteng yang dijaga dan dirawatnya itu. Belum lagi upaya keluar dari klenteng didapatkan, suatu hari terjadi kehebohan. Patung Khongco Kwan Khong hilang dari altar Klenteng HKT Juwana. Patung kuno atau antik asli daratan Tiongkok berusia 400 tahun itu dicuri orang tanpa diketahui biokhong, Tonny. Padahal nilai kesucian dan nilai material patung itu sangat tinggi.

Polisi datang menggelandang Tonny ke kantor Polisi. Sehari-semalam Tonny diinterogasi, dicecar pertanyaan menyudutkan. Beruntung polisi akhirnya melepas Tonny kendati patung itu hingga kini tak pernah ditemukan. Dari peristiwa yang nyaris menghantarkan dirinya ke balik terali besi bui itu, Tonny mendapat hikmah yang dalam. Dia mulai memahami tentang makna pengabdian pada para arwah suci dan para dewa suci.

Seharusnya memang tanpa syarat apapun, kecuali kepasrahan diri disertai dengan nurani sumarah. Pasrah-sumarah melayani para Kim-sien, arca-arca suci sesembahan para umat yang bersembahyang di klenteng. “Setelah saya menyadari itu, sekarang tak ada angan-angan pergi dari Klenteng HKT ini. Saya sudah mendapat kedamaian hidup di sini,” ucap Tonny menutup pembicaraan. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya