Pestisida Nabati, Sebuah Solusi bagi Ekosistem

Ilustrasi/Petani di ladang sawah padi menyebarkan bubuk pestisida
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA – Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Tanahnya subur, kayu dan batu pun bisa menjadi tanaman, begitu kata seorang penyair dari salah satu band lawas Indonesia, Koes Plus.

Pestisida dari Bawang Putih, Ternyata Ampuh Basmi Hama Ulat

Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 tercatat bahwa persentase mata pencaharian terbesar kedua penduduk Indonesia pada bulan Februari tahun 2017 adalah dari sektor pertanian dan perkebunan sebesar 31,86 persen. Dan luas lahan perkebunan di Indonesia mencapai 11.876.881 ha (Pusat Data dan Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal – Kementerian Pertanian tahun 2014).

Dari data pekerja di sektor pertanian dan luas lahan perkebunan di Indonesia, maka dapat dibayangkan berapa banyak pupuk kimia seperti pestisida yang digunakan petani untuk menyuburkan tanaman pertanian mereka. Organisasi kesehatan dunia WHO, mengartikan pestisida sebagai bahan kimia yang digunakan untuk membasmi hama. Seperti serangga, tikus, jamur, dan rerumputan ilalang.

Pergilah Dinda Cintaku

Definisi hama diartikan sebagai makhluk hidup yang menjadi pesaing, penyebar penyakit, dan pengganggu semua sumber daya yang dibutuhkan oleh manusia (Basukriadi, 2017). Pestisida sendiri dikategorikan menjadi 24 macam menurut United States Environmental Protection Agency (EPA).

Beberapa jenis pestisida yang dimaksud yaitu, atraktan (bahan pemikat sebagai jebakan untuk serangga atau pengerat), disinfektan (membasmi mikrooganisme), fumigan (berwujud gas atau uap air untuk pembasmian hama di dalam ruang), insektisida (membasmi serangga), dan sebagainya. Insektisida merupakan kategori pestisida yang sering digunakan petani untuk melindungi tanaman, seperti tanaman kentang dan tomat dari serangan hama.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Para petani menilai, dengan menggunakan insektisida maka perlindungan terhadap tanaman dari serangan hama dapat efektif, baik tenaga dan biaya. Selain keuntungan yang ingin diperoleh, petani harus memperhatikan komposisi bahan aktif dan dosis penggunaan yang terdapat di produk pestisida untuk tanaman.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan daftar bahan aktif pada pestisida yang dilarang penggunaannya di semua bidang sebanyak 36 jenis. Salah satu diantaranya yaitu dikloro difenil trikoloetan (DDT). DDT termasuk ke dalam insektisida organoklorin yang ditemukan oleh ilmuwan Swiss bernama Paul Hermann Muller tahun 1948.

DDT marak digunakan pada saat Perang Dunia II untuk mengendalikan vektor penyakit malaria, tifus, kutu di tubuh, dan penyait pes. Setelah Perang Dunia II, petani menggunakan DDT untuk melindungi tanaman padi, gandum, dan jagung di Amerika Serikat dari serangan hama. Para petani beralasan menggunakan DDT sangat efektif dalam membasmi hama, tidak membutuhkan banyak biaya, dan tahan lama di lingkungan. Sehingga dapat menjaga tanaman mereka dalam waktu lama meskipun hanya dilakukan satu kali penyemprotan.

Bagi petani, menggunakan DDT banyak memberikan keuntungan dari segi ekonomi. Tetapi penggunaan DDT dalam jangka waktu lama membawa dampak buruk bagi ekosistem. Terutama pada rangkaian rantai makanan di alam.

Pada tahun 1950, dampak buruk dari penggunaan DDT terlihat dengan terjadinya penurunan populasi burung pelikan, elang tiram, dan elang yang merupakan populasi puncak dari jaring-jaring makanan. Penurunan populasi hewan tersebut disebabkan oleh bahan aktif DDT yang menurunkan kadar kalsium pada cangkang telur dari populasi burung tersebut. Dan menyebabkan telur tersebut pecah karena tidak mampu menahan tekanan dari tubuh induk burung yang mengeraminya. Pada tahun 1957, penggunaan DDT resmi dilarang penggunaannya oleh pemerintah Amerika Serikat.

Dampak buruk terhadap ekosistem yang ditimbulkan oleh pemakaian insektisida selain DDT sebenarnya masih banyak lagi. Seperti menimbulkan kekebalan terhadap populasi hama akan insektisida yang digunakan, memunculkan hama yang baru sebagai pengganti hama yang telah dibasmi sebelumnya, meracuni populasi hewan selain hama target sehingga terjadi pembasmian populasi ekosistem secara besar-besaran, tidak larut di dalam air sehingga proses penguraian bahan kimia harus melalui jalan yang panjang dan waktu yang lama, mencemari lingkungan abiotik sekitar, seperti air, tanah, dan udara.

Bagi manusia, secara tidak sadar racun kimia dari insektisida mengendap di tubuh manusia dalam waktu yang cukup lama. Bertahun-tahun bahan kimia mengendap di jaringan lemak manusia, dampaknya muncul penyakit kronis. Seperti kanker, gangguan saraf, gangguan genetik yang dapat diturunkan ke generasi selanjutnya, dan penyakit tidak menular lainnya.

Dari berbagai macam dampak buruk yang telah dibuktikan melalui penelitian, para ilmuwan perlahan-lahan menemukan titik terang sebagai langkah penghapusan keberadaan insektisida beracun yang digunakan oleh petani untuk melindungi tanamannya. Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai kandungan bahan aktif yang berfungsi sebagai pengusir hama, bahkan membunuh hama.

Bahan baku pembuatan pestisida nabati di Indonesia cukup banyak tersedia di alam. Tercatat bahwa di Indonesia, jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati tersebar dalam 235 famili dengan 2.400 jenis tanaman (Kardinan, 2011). Cengkeh (syzygium aromaticum) merupakan salah satu contoh tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan pestisida nabati yang efektif. Wiratno (2009) mengemukakan bahwa kandungan eugenol yang terkandung di cengkeh efektif mengendalikan nematode, jamur patogen, bakteri dan serangga hama.

Pestisida nabati merupakan bahan aktif yang ramah lingkungan. Tidak menimbulkan keracunan pada tumbuhan, tidak menimbulkan kekebalan pada hama, dan tidak kalah efektif dengan pestisida kimia dalam membasmi hama.

Bagi petani, penggunaan pestisida membawa berbagai macam keuntungan dalam mengatur biaya perawatan tanaman dan menghadapi masalah ekspor komoditas hasil pertanian. Seperti, hambatan non tarif Phytosanitary dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang salah satu isinya adalah masalah pembatasan maksimum kandungan residu pestisida (Maximum Residue Level) pada produk ekspor pertanian.

Penerapan peraturan ekspor ini memiliki risiko bagi petani. Diantaranya embargo (larangan ekspor), automatic detention (penahanan sementara), mandatory treatment (perlakuan khusus), dan pengenaan denda dalam bentuk pengurangan harga. Dengan penggunaan pestisida nabati dan menekan penggunaan pestisida sintesis, maka risiko tersebut dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. (Tulisan ini dikirim oleh Rizqy Fauzi, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya