Rilis Cepat Quick Count, Lembaga Survei Jamin Tak Pengaruhi Pemilih

Quick count/Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bobby Agung Prasetyo

VIVA – Lembaga-lembaga survei yang tergabung dalam Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia atau AROPI, menjamin hasil hitung cepat atau quick count yang dirilis begitu cepat usai pemungutan suara Pemilu 2019, tidak akan memengaruhi para pemilih.

Poltracking Dinilai Lembaga Survei Paling Akurat Prediksi Hasil Pileg 2024

Menurut Ketua Umum AROPI, Sunarto, hal itu karena hasil quick count sendiri baru akan dirilis melalui media-media, begitu tempat pemungutan suara (TPS-TPS) memang dipastikan telah tutup di hari pemungutan suara pada 17 April 2019.

"Kalau yang namanya penggiringan opini itu, baru terjadi jika proses penghitungan suara lewat quick count ditunjukkan memang untuk memengaruhi orang yang belum mencoblos. Tetapi, hasil quick count kan baru akan ditampilkan, saat TPS sudah ditutup," ujar Sunarto, usai mengajukan gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat 15 Maret 2019.

LSI Denny JA Dinilai Paling Akurat Terkait Quick Count Hasil Pilpres 2024

Sementara itu, Pasal 449 ayat (5) UU No 7/2017, mengatur hasil quick count baru bisa diumumkan dua jam, setelah TPS-TPS di Indonesia bagian barat ditutup. 

Sunarto berpandangan, hal tersebut membatasi hak rakyat untuk bisa segera mengetahui proyeksi hasil Pemilu yang akan menentukan pasangan kepala negara periode 2019-2024.

Selisih Quick Count LSI Denny JA dengan Real Count KPU Hanya 0,07 Persen

"Kita tahu bahwa Pemilu ini kan proses rekapnya akan panjang. Karena itu, dibutuhkan transparansi, akuntabilitas, percepatan informasi, sehingga informasi hasil quick count itu bisa menjadi pembanding, dan informasi itu adalah hak bagi publik," ujar Sunarto.

Sunarto menyampaikan, hal serupa merupakan alasan pula bagi AROPI mengajukan gugatan atas ketentuan pengumuman hasil quick count di UU Pemilu.

Ia menegaskan, aturan serupa juga kerap dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi, setiap kali muncul dalam UU yang menjadi dasar hukum dua Pemilu terakhir, yaitu 2009 dan 2014.

"Kalau aturan ini muncul lagi, di pasal-pasal itu, itu setback. Mundur ke belakang. Sepuluh tahun yang lalu, tidak apa-apa. Lima tahun yang lalu, tidak apa-apa. Kenapa sekarang muncul lagi? Harusnya batal demi hukum," ujar Sunarto. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya