Putri Gus Dur Resah gara-gara Pemilu Seolah Urusan Hidup-Mati

Putri sulung mendiang mantan presiden Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada, dalam perbincangan dengan wartawan usai forum Dialog Kebangsaan Seri V di Stasiun Tugu, Yogyakarta, Selasa malam, 19 Februari 2019.
Sumber :
  • VIVA/Cahyo Edi

VIVA – Putri sulung mendiang mantan presiden Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada, mengaku prihatin mengamati gejala sosial banyak politikus memanfaatkan sentimen agama untuk kepentingan politik kekuasaan dalam pemilu 2019.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Alissa menyadari, isu agama memang paling mudah dimanfaatkan untuk mendulang suara atau dukungan. Sebagian elite, katanya, menyimpangkan atau memelintir satu pemahaman tertentu dalam agama untuk membenarkan sikap politik mereka.

Politisasi agama itu, katanya, lantas dijadikan pembenar keputusan politik tertentu sekalian dilawankan dengan kelompok lain yang berbeda. "Itu yang disebut sebagai hate spin atau pelintiran kebencian," ujarnya dalam perbincangan dengan wartawan usai forum Dialog Kebangsaan Seri V di Stasiun Tugu, Yogyakarta, Selasa malam, 19 Februari 2019.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu menganggap bahwa pada dasarnya bukan fenomena baru ketika agama dikait-kaitkan dengan politik. Di masa sebelum kemerdekaan pun politisasi agama itu menjadi hal lumrah. Namun kala itu kepentingannya bukan politik praktis, melainkan politik kebangsaan demi kemerdekaan Indonesia.

Dia mencontohkan kala kakek buyutnya yang juga pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy'ari, memaklumatkan perang suci yang disebut Resolusi Jihad pada 1945. Seruan perang itu jelas didasarkan pada teks agama, Islam, tetapi tujuannya bukanlah merebut posisi atau jabatan presiden, melainkan menyelamatkan negara.

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Berbeda dengan gejala politisasi agama yang sekarang mengemuka yang, menurutnya, menjadi terlalu sempit hanya untuk memilih atau tidak memilih calon presiden tertentu. Sekarang, berjihad demi agama dimaknai berarti memilih kandidat tertentu. “Itu lho yang parah," katanya.

Betapa mudah masyarakat digerakkan dengan politisasi isu agama, menurutnya, karena pendidikan politik masih rendah. Kenyataan itu membuat masyarakat gampang digerakkan oleh politisi yang memanfaatkan sentimen agama.

"Sehingga urusannya masih menang-kalah, begitu saja. Padahal siapa pun pemenangnya akan diikat oleh konstitusi. Tapi itu tidak dipahami, sehingga [pemilu] seakan-akan [perkara] hidup-mati," ujarnya.

"Sementara sentimen masyarakat yang seperti itu," dia menambahkan, "justru dimanfaatkan oleh elite politik. Siapa yang berdosa? Yang berdosa adalah elite politik yang memanfaatkan sentimen emosional warga yang belum cukup pendidikan politiknya."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya