Bantahan Dandhy atas Debunking Fritz Haryadi, Cek Faktanya
- Instagram / dandhy_laksono
VIVA – Aktivis kemanusiaan Dandhy Dwi Laksono ditangkap polisi pada Kamis malam, 26 September 2019. Dari salinan surat perintah penangkapan Dandhy ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok.” Dandhy dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE.
Kuasa hukum Dandhy, Alghifari Aqsa, mengatakan kliennya ditangkap karena “dianggap menyebarkan kebencian berdasarkan SARA melalui media elektronik, terkait kasus Papua.”
Sebelum ditangkap, melalui akun Twitter dan Facebook, Dandy kerap menuangkan isi pikirannya soal Papua. Tiga jam sebelum ditangkap, Dandhy juga masih mengkritisi Presiden Jokowi. Sedangkan tulisan soal Papua dicuitkan Dandhy pada 22 September 2019 lewat akun @Dandhy_Laksono. Berikut isinya:
JAYAPURA (foto 1) Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.
WAMENA (foto 2)
Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.
Tweet Dandhy lalu dijawab oleh Fritz Haryadi. Tanpa menyebut nama Dandhy, Fritz yang menyebut dirinya sebagai Penulis/debunker yang juga Sekretaris Lajnah Ta'lif wan-Nasyr (Lembaga Infokom) NU Papua, dan Ketua PW Pergunu (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) Papua.
Berikut ini tulisan lengkap Fritz yang dia unggah melalui akun facebooknya, https://www.facebook.com/fritz.haryadi/posts/10157557989609493:
DEBUNK TWIT HOAX AKTIVIS DDL TENTANG JAYAPURA & WAMENA
[Dikoreksi atas kesalahan spanduk ULMWP yang seharusnya UMUM]
[Koreksi ada pada debunk twit tentang Jayapura pada Fakta no. 1]
Yang saya debunk adalah twit 23 September dari seorang oknum aktivis tenar di Jakarta yang saya tidak pernah ingat namanya lebih dari sepertiga detik. Karena twit ini ybs ditangkap polisi; sayangnya hanya ditahan setengah hari. Mungkin hendak diangkat jadi Duta Anti Hoax. Twit tersebut bermuatan provokasi dan pembohongan. Berikut saya urai.
Twit saya bagi 2 bagian.
"JAYAPURA (foto 1). Mahasiswa yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas."
Fakta :
1) Mahasiswa eksodus itu bukan cuma buka posko tanpa nama. [Awal koreksi] Tadinya saya baca tulisan di kain besar yang ada digantung di pagar kampus Uncen Abepura, "Posko ULMWP", tapi setelah tulisan ini mengudara 1 hari 1 malam, seorang aktivis bernama Dandhy Dwi Laksono mengoreksi saya dengan foto obyek dimaksud. Ternyata saya salah baca, yang benar adalah "Posko UMUM Pelajar dan Mahasiswa Se-Papua". Jadi bukan United Liberation Movement for West Papua bentukan Benny Wenda yang sekarang menikmati suaka politik di London. [Akhir koreksi]
Mereka mencanangkan "Mogok Kuliah" bukan saja untuk mahasiswa Uncen tapi juga "Pelajar dan Mahasiswa se-Papua", "TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi", "SEKALI UNTUK SELAMANYA". Itu saya ketik huruf besar bukan karena saya baper; memang begitu font style di selebaran yang beredar di Jayapura sejak H-1.
Ini terlihat sekali terjemahan langsung dari "Once and For All".
2) Aparat bukan "angkut" mereka. Pilihan kata ini menimbulkan konotasi mereka ditangkap. Aparat mengantar pendemo pulang ke asrama-asrama dan kosan di Waena dan Sentani, dengan tumpangan gratis truk tentara.
3) Setiba di Expo Waena, pendemo minta turun karena mau orasi lagi di situ. Permintaan dituruti. Aparat istirahat di pinggir jalan. Lalu pendemo menyerang aparat.
4) "Ada yang tewas". Yang tewas itu Praka Zulkifli Al-Karim, dari Yonif 751/Raiders. Almarhum dibacok dan dikeroyok pendemo sampai mati.
5) Dengan tidak menyebut siapa yang tewas, pembuat twit membuka peluang konotasi bahwa yang tewas itu pendemo.
Kalau belum tahu siapa yang tewas, harusnya menahan diri; daripada mengabari setengah-setengah.
"WAMENA (foto 2). Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak."
Fakta :
1) "Sikap rasis guru" itu hoax. Pada hari H memang belum diketahui hoax atau tidak, tapi dengan mengumumkan informasi setengah matang seperti itu jelas provokasi. Sebab demonya sendiri justru bertujuan meminta keterangan dari Ibu Guru ybs tentang tuduhan yang beredar; jadi masih belum pasti.
Yang terungkap kemudian adalah pada 18 September 2019 oknum Ibu Guru SMA PGRI Wamena mengatakan di dalam kelas "Baca yang keras." Lalu beredar cerita dari mulut ke mulut bahwa Ibu Guru bilang "Kera cepat tulis."
Akhirnya memicu demo.
2) "Dihadapi aparat. Kota rusuh." Pilihan diksi ini mengirimkan pesan yang salah. Aparat memang standby di sekitar 200 siswa SMA PGRI Wamena yang berdemo, tapi nyatanya dengan personil terbatas tidak mampu menghentikan kerusuhan.
Sekarang kita sudah ketahui hasil kerusuhan itu total 33 mayat, kebanyakan dalam kondisi terbakar, 465 ruko, 165 rumah, 224 mobil, 150 motor, kantor DPRD, kantor Bupati, Bappeda, kantor PLN, SMA PGRI, SMA Yapis, STIKIP Yapis dibakar habis, dan 15 bangunan perkantoran lain rusak berat.
5.000 warga terpaksa mengungsi, atau istilah baku aktivis : displaced. Puluhan dokter minta dipulangkan karena trauma akibat Alm. dr. Soeto Marsetyo dibakar hidup-hidup.
Perusuh melakukan ini semua tanpa halangan berarti. Lalu apanya yang "dihadapi aparat" ? Kalau aksi seperti itu tidak dihadapi, apa mau dido'akan saja semoga capek sendiri ?
Di internet sempat berceceran kesaksian dari pihak-pihak yang mengaku sebagai saksi mata, bahwa pendemo rusuh akibat provokasi aparat yang konon berkali-kali melepaskan tembakan ke udara. Tapi inipun tidak bisa dijadikan pembenaran. Anak SMA mengaku emosi karena aparat lepas tembakan ke udara, itu namanya anak kurang ajar..
3) "Banyak yang luka tembak". Kalau pembuat twit ini jujur, atau minimal tidak sekedar menjadi penerus gagu dari aliansi produsen hoax di Papua, maka semestinya ia ketik "Banyak warga sipil yang mati dibakar hidup-hidup oleh perusuh."
Kami juga banyak saksi mata dari jaringan NU di lokasi kejadian, tapi pada hari H kami menahan diri. Menunggu informasi yang utuh dan bebas dari provokasi.
200 Anak SMA membakar habis 735 bangunan dalam tempo kurang dari 10 jam? Itu anak minum jamu apa? Jelas ada keterlibatan pihak lain. Dengan adanya kejadian di Jayapura di hari yang sama, maka layak jika ULMWP dan KNPB disoroti.
Demikian debunk saya sampaikan, semoga menjadi pengingat bagi aktivis untuk tidak gegabah dalam menyebar informasi yang belum jelas. Tiap huruf kebohongan bisa merenggut nyawa orang tidak bersalah, bahkan nyawa seorang dokter, yang jelas lebih susah dicari gantinya daripada rata-rata profesi. Kalau memang sengaja provokasi, hendaknya agak lebih pintar sedikit. Sekian dan sama-sama.
Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thoriq
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Penulis/debunker adalah Sekretaris Lajnah Ta'lif wan-Nasyr (Lembaga Infokom) NU Papua, dan Ketua PW Pergunu (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) Papua.
Verifikasi Fakta
Setelah tulisan Fritz beredar luas, Dandhy Dwi Laksono membantah tulisan tersebut. Melalui akun Facebook, Dandi memaparkan kejanggalan dari temuan Fritz. Menurut Dandhy, ada dua hal yang fatal dari upaya Fritz menjawab postingan Dandi. Pertama, posting Frtiz Haryadi ini tidak mengajukan foto untuk mendukung "fakta" yang ia klaim tentang spanduk bertuliskan "Posko UMLWP". Jadi Fritz tidak mengajukan fakta baru.
Kedua, Dandhy menanggapi postingan Fritz karena ia khawatir pengkambinghitaman dirinya dalam kasus Papua akan semakin menguat.
Melalui akun Facebooknya, Dandhy Dwi Laksono memberikan jawaban dengan rinci dan lugas. Selengkapnya seperti ini https://www.facebook.com/dandhy.laksono/posts/10157481521403618 :
SAYA MENJAWAB DEBUNK. Upaya mengkambinghitamkan saya sebagai penyebab konflik di Papua tak hanya dilakukan polisi, juga beberapa netizen. Salah satunya oleh Sdr Fritz Haryadi yang mengaku sebagai pengurus Lembaga Komunikasi NU di Papua.
Ada beberapa poin yang beliau tulis. Salah satunya tentang posting saya bahwa kericuhan di Jayapura pada 23 September 2019 (bukan Wamena) yang menewaskan 3 mahasiswa dan 1 personel TNI dimulai saat mahasiswa Papua yang eksodus (pulang kampung) dari beberapa kampus di Indonesia, hendak membuka posko di Universitas Cenderawasih.
Kalimat posting saya di Twitter:
"JAYAPURA (foto 1). Mahasiswa yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas."
(Hati-hati dengan kata Expo Waena dan Wamena. Ini dua hal dan lokasi yang jauh berbeda).
Dari kalimat ini, lalu Saudara Fritz Haryadi membuat apa yang ia sebut "Debunk Twit Hoax Aktivis DDL tentang Jayapura dan Wamena".
Ia pun menulis dengan gagah:
"Fakta :
1) Mahasiswa eksodis itu bukan cuma buka posko tanpa nama. Jelas ditulis di kain besar yang digantung di pagar kampus Uncen Abepura, "Posko ULMWP". United Liberation Movement for West Papua, bentukan Beny Wenda yang sekarang menikmati suaka politik di London. ... dst".
Tapi postingan yang diklaim sebagai "debunk twit hoax" (mengungkap kesalahan) ini justru mengandung hoax yang akut.
Pertama, posting Saudara Frtiz Haryadi ini tidak mengajukan foto untuk mendukung "fakta" yang ia klaim tentang spanduk bertuliskan "Posko UMLWP". Jadi ia hendak membahtah twit saya dengan klaimnya sendiri. Bukan dengan fakta baru.
Kedua, sebenarnya saya tak berniat menanggapi substansi perkara yang sudah menjadi urusan hukum dengan polisi ini di media sosial seperti ini. Namun karena ada beberapa posting lain yang sejenis, dan ekskalasi di Papua sedang meningkat, saya khawatir pengkambinghitaman ini akan semakin menguat.
Maka terpaksa saya tunjukkan foto yang memperkuat posting saya, bahwa itu memang posko mahasiswa yang eksodus, dan tidak ada kaitan dengan ULMWP (dua foto terlampir).
Ketiga, lalu dari mana Saudara Fritz Hariyadi menyimpulkan bahwa spanduk yang dipasang mahasiswa bertuliskan "Posko ULMWP"?
Saya menduga beliau hanya berspekulasi gara-gara melihat foto spanduk yang tulisannya terpotong seperti di foto 1 :)
Selintas memang seperti "Posko UML... Pelajar dan M... siswa Exsod..."
Dari potongan tak lengka itulah, barangkali Saudara Frtiz Hariyadi sebagai pengurus Lembaga Komunikasi NU di Papua, menyimpulkan menjadi "Posko ULMWP".
Tentu saja fatal. Pertama, tulisan aslinya adalah "POSKO UMUM". Sebagaimana bisa dilihat di foto 2 sebagai pembanding.
Kedua, kalaupun beliau terburu nafsu mengaitkan gerakan mahasiswa dengan organisasi ULMWP, foto spanduk ini pun tidak mendukung. Karena bagian yang terbaca adalah "U-M..." (dan sedikit huruf U yang terpotong dan terlihat seperti huruf L), bukan U - L - M seperti urutan singkatan dari ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).
Jadi sesungguhnya siapa yang menyebar hoax dan bahkan memfitnah mahasiswa?
Sekali lagi, ini detil-detil yang mestinya menjadi bahan saya menghadapi perkara hukum. Tapi pengkambinghitaman yang sistematis di media sosial tampaknya juga tak bisa diabaikan begitu saja dan perlu saya respon agar tidak menjadi fitnah.
Bukan hanya terhadap saya, terlebih terhadap mahasiswa dan semua manusia apapun latar belakang suku dan agamanya yang hidup di garis depan konflik seperti Papua.