Benih Oligarki di Parlemen

Pelantikan Pimpinan MPR periode 2019-2024
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA –Hiruk-pikuk kepemimpinan di parlemen berakhir sudah. Dengan terpilihnya Bambang Soesatyo sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka seluruh struktur kepemimpinan di parlemen sudah terbentuk.  Sidang paripurna MPR RI sepakat dengan musyawarah mufakat menyetujui Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR RI periode 2019-2024.

Junjung Tinggi Reformasi Birokrasi, Sekretariat Jenderal DPR RI Lantik Dua Pejabat Tinggi Madya

Dipilihnya Bamsoet, sapaan akrab Bambang, bukan tanpa dinamika. Walau didukung mayoritas fraksi di
MPR, toh nyatanya bukan tanpa pesaing. Ahmad Muzani, anggota Fraksi Gerindra di MPR tampil sebagai pesaing kuat Bamsoet. Sampai sidang paripurna digelar, Gerindra tetap ngotot mengajukan Muzani sebagai Ketua MPR RI. 

Gerindra bahkan sudah siap dengan skenario voting. Walaupun di atas kertas dukungan mayoritas fraksi di MPR mengerucut pada Bamsoet. Tapi di menit-menit akhir ini lah campur tangan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mencairkan kebekuan di MPR.

Survei PWS: Kepuasan Rakyat Terhadap Kinerja Jokowi-Maruf Turun

Dua tokoh sentral dalam politik Indonesia itu turun gunung. Prabowo sempat berkonsultasi dengan Megawati soal dinamika Ketua MPR. Prabowo awalnya tetap minta kursi Ketua MPR dari Gerindra, tapi Megawati minta Prabowo bisa menerima proses ini dengan baik dan menjaga marwah MPR dengan musyawarah untuk mufakat. 

Prabowo-Megawati sepakat, demi kepentingan yang lebih besar, Gerindra 'mundur teratur' dari pencalonan Ketua MPR. Prabowo perintahkan Ahmad Muzani mundur dari pencalonan Ketua MPR RI. Sidang Paripurna MPR akhirnya mengukuhkan Bamsoet sebagai Ketua MPR RI.

Sentil Parpol Oposisi Melempem, Fahri: Mending Nonton Wonder Woman

"Akhirnya beliau (Prabowo) ambil keputusan demi kepentingan lebih besar. Ya sudah kamu tidak usah meneruskan pencalonan sebagai ketua MPR," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Kamis, 3 Oktober 2019.

Selain Bamsoet, ada sembilan Wakil Ketua MPR yang juga dilantik yaitu Ahmad Basarah (PDIP), Ahmad Muzani (Gerindra), Lestari Moerdijat (Nasdem), Jazilul Fawaid (PKB), Syarief Hasan (Demokrat) Hidayat Nurwahid (PKS),  Zulkifli Hasan (PAN), Arsul Sani (PPP), Fadel Muhammad (DPD).

Dinamika pemilihan Ketua MPR dinilai lebih alot dibanding DPR dan DPD. Pemilihan Ketua DPR lebih smooth, nyaris tanpa gejolak yang berarti. Komposisi kursi pimpinan DPR RI dibuat secara proporsional. Lima partai dengan perolehan kursi terbanyak, itu yang dapat 'jatah' pimpinan DPR RI.

PDIP yang tampil sebagai pemenang Pemilu 2019, mendapuk kadernya Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI. Sedangkan empat wakilnya yaitu Aziz Syamsudin (Golkar), Sufmi Dasco Ahad (Gerindra),  Rahmat Gobel (Nasdem), dan Muhaimin Iskandar (PKB). Kelimanya dilantik dalam sidang paripurna DPR RI Selasa malam, 1 Oktober 2019.

Sementara pemilihan pimpinan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI juga relatif ' terkendali'. Walau ada perdebatan sengit di antara para senator untuk menentukan pemimpin mereka lima tahun mendatang. Akhirnya, disepakati para kandidat ketua diambil dari tiap satu perwakilan sub wilayah untuk dijadikan calon.

Sultan Bahtiar Najamuddin mewakili sub wilayah Barat I, sedangkan La Nyalla Mattaliti mewakili sub wilayah Barat II. Sementara Mahyudin mewakili sub wilayah Timur I, dan Nono Sampono wakil sub wilayah Timur II.

Penentuan pemilihan melalui mekanisme musyawarah mufakat tak disepakati. Akhirnya diputuskan voting, dimana La Nyalla Mattaliti, senator asal Jawa Timur, mendapat suara terbanyak dibanding tiga pesaingnya, yaitu Sultan Bachtiar Najamuddin, Mahyudin, dan Nono Sampono.

Ketua Pemuda Pancasila Jawa Timur itu meraih 47 suara, diikuti Nono Sampono 40 suara, Mahyudin 28 suara dan Sultan Bachtiar mendapatkan 18 suara. Pimpinan DPD RI pun terbentuk dan disahkan dalam sidang paripurna DPD RI, Selasa malam, 1 Oktober 2019.

"Berdasarkan voting, yang tertinggi dengan persetujuan sidang paripurna yaitu Ketua La Nyalla Mattalitti, Wakil Ketua I Nono Sampono, Wakil Ketua II Mahyudin, Wakil Ketua III Sultan Bachtiar," kata pimpinan sidang sementara Sabam Sirait dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa malam 1 Oktober 2019.

Oligarki Politik

Terpilihnya Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR RI ini 'melengkapi' kekuasaan partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin di parlemen. Sebelumnya, politikus PDIP Puan Maharani didapuk sebagai Ketua DPR RI, sedangkan kursi Ketua DPD RI dijabat La Nyalla Mattaliti, yang merupakan pendukung Jokowi di Pemilu 2019 lalu.

Komposisi kursi pimpinan ini seperti menegaskan peta kekuatan politik di Senayan akan monolitik dan minim oposisi. 'The Winner Takes All', setidaknya itu adalah ungkapan yang bisa menggambarkan kekuatan politik pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk lima tahun mendatang (2019-2024). Pemerintahan digenggam, parlemen pun dikuasai. 

Dominasi partai koalisi Jokowi-Ma'ruf di parlemen ini dikhawatirkan akan melanggengkan praktik oligarki politik di Indonesia. Dimana keputusan-keputusan penting di Republik ini, hanya ditentukan oleh segelintir elite yang menguasai partai. 

Secara hitung-hitungan, partai koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf menguasai 60 persen kursi di parlemen. Kekuatan partai pendukung Jokowi-Ma'ruf dimotori PDIP (128 kursi), Golkar (85 kursi), Nasdem (59 kursi), PKB (58 kursi) dan PPP (19 kursi).

Tersisa 40 persen kekuatan partai non-pendukung Jokowi-Ma'ruf, yakni Gerindra (78 kursi), Demokrat (54 kursi), PKS (50 kursi) dan PAN (44 kursi). Jumlah kekuatan ini masih berpotensi goyah, jika ada partai di tengah jalan tiba-tiba 'menyerah' merapat ke koalisi Jokowi-Ma'ruf. 

Dengan komposisi timpang di parlemen ini, praktis dinamika politik di parlemen relatif lebih smooth dibanding periode DPR sebelumnya. Karena baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif dikuasai mesin politik yang sama.  

Di sisi lain, kekuatan partai non-koalisi Jokowi-Ma'ruf nyaris tak bertaring. Bahkan, tak ada lagi penegas partai oposisi pemerintah, karena Prabowo Subianto, sebagai penantang Jokowi di Pilpres 2019 lalu, sudah membubarkan partai-partai koalisinya. 

"Saat ini tidak ada lagi partai politik yang siap jadi oposisi. Satu-satunya partai yang tegas jadi oposisi kan cuma PKS," kata pengamat politik, Adi Prayitno kepada VIVAnews, Kamis, 3 Oktober 2019.

Kekuatan partai pengusung Jokowi-Ma'ruf di parlemen sudah tak terbendung. Pemilik mayoritas kursi di DPR adalah PDIP, kemudian Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PKB. Mayoritasnya adalah partai pengusung Jokowi, minus Gerindra. 

Komposisi pimpinan DPR RI juga dikuasai elite partai pendukung pemerintah, tersisa Sufmi Dasco Ahmad, perwakilan dari Gerindra. Berbeda dengan periode pimpinan DPR sebelumnya, dimana kursi pimpinan DPR RI terdapat figur-figur oposan yang 'galak', seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon. "Bisa dipastikan ini akan jadi kabar buruk oposisi di parlemen," ujarnya.

Yang dikhawatirkan lagi, adalah jika parlemen yang dikuasai koalisi pemerintah ini hanya menjadi  lembaga 'tukang stempel' pemerintah. Segala keinginan pemerintah di Senayan seolah berjalan mulus, tanpa dinamika.

Setidaknya itu gambaran politikus Gerindra, Desmon J Mahesa terhadap evaluasi kepemimpinan DPR di bawah Bamsoet, yang memimpin DPR selama 1 tahun 9 bulan. Bamsoet, yang kini memimpin MPR RI dianggap hanya me-legitimate kepentingan-kepentingan pemerintahan Jokowi-JK. 

"Itu yang paling menggelikan hari ini Ketua DPR lalu. Walaupun Fahri Hamzah ngomongnya (kritis), tapi suara itu, suara DPR sebagai kelembagaan atau personalnya Fadli Zon, Fahri Hamzah," ujar Desmond di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 2 Oktober 2019.

Oposisi Ekstra Parlemen

Kekhawatiran kekuatan koalisi Jokowi-Ma'ruf di parlemen akan menciptakan ruang-ruang kompromi dengan pemerintah, ditambah mandulnya oposisi di parlemen, maka gerakan-gerakan oposisi ekstra parlemen diprediksi akan bermunculan.

Menurut Pengamat politik dari UIN Syarief Hidayatullah, Adi Prayitno, jika oposisi di parlemen itu mati, maka posisi jalanan akan meluber kemana-mana. Itu sudah dibuktikan melalui aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi beberapa hari terkahir di seluruh Indonesia.

"Oposisi ekstra parlementer ini akan bermunculan secara sporadis mengkritisi kinerja pemerintah, mengkritisi kinerja DPR yang cenderung sami'na wa atho'na (mendengar dan patuh dengan pemerintah)," terang Adi.

Adi menilai, keseimbangan politik di parlemen akan sulit terjadi, karena mayoritas dikuasai partai pendukung penguasa. Namun, dalam sistem presidensialisme multipartai ekstrim seperti Indonesia, ada kecenderungan oposisi justru muncul dari internal koalisi 

Berkaca pada periode kedua pemerintahan SBY, dimana partai koalisi pemerintah saat itu juga sangat dominan menguasai parlemen, tapi di tengah jalan muncul partai-partai pendukung SBY, seperti Golkar dan PKS, yang menjadi oposisi di internal koalisi, banyak kritik dan menolak kebijakan SBY. 

"Persoalannya apakah oposisi dari dalam ini bisa dilakukan oleh partai koalisi Jokowi atau tidak, wallahualam," kata Adi.  

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak masalah kursi pimpinan parlemen di Senayan – mulai dari DPR hingga MPR – dikuasai partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Menurut Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, realita yang terjadi di parlemen saat ini memang demikian.

"Pemilu serentak memang diharapkan menghasilkan pemerintahan yang kuat. Buat PKS tidak masalah. Memang itu aturan main yang tertulis," kata Mardani saat dihubungi, Jumat, 4 Oktober 2019.

Ia memastikan, PKS akan optimal menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif. Lalu juga akan tajam mengkritik sekaligus memberi solusi. "Mulai sekarang kami akan tajam mengkritik dan lugas memberi solusi. Biar ada check and balances system," kata Mardani.

Bagi PKS, kata Mardani, menjadi oposisi pemerintah itu berat. Hanya mereka yang kuat saja yang mampu melakukannya. Sejak awal, PKS siap menjadi oposisi kritis dan konstruktif. Bila semua saluran mampet, maka demokrasi akan mencari jalan keluarnya sendiri.

"Suara hati akan selalu mencari jalan untuk keluar. Apalagi kalau saluran resmi dan legalnya macet," ungkapnya.

Senada, Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Daulay juga menegaskan posisi PAN sebagai partai oposisi konstruktif. PAN akan mendukung jika yang dilakukan pemerintah benar, sebaliknya PAN akan mengkritisi pemerintah kalau yang dilakukan pemerintah tidak benar.

"Itu semuanya juga untuk kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat. Jadi, kita akan berada pada posisi seperti itu," ujarnya. [mus]
 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya