Tsunami Tetap Mengancam Indonesia

Kapal nelayan melintas di perairan pantai dipasangi rambu peringatan tsunami, Desa Kampung Jawa, Banda Aceh, Aceh, Minggu (22/12/2019). Pemasangan rambu kawasan bencana tsunami di sejumlah lokasi pantai daerah itu merupakan peringatan bagi warga pesisir.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ampelsa

VIVA – Minggu, 26 Desember 2004, bencana gempa bumi dan tsunami akan terus dikenang sebagai sejarah kelam bagi masyarakat Aceh dan juga rakyat Indonesia. Dunia pun turut berduka. Tragedi itu tidak saja menjadi salah satu bencana alam terdahsyat yang pernah tercatat dalam sejarah nasional, namun juga menjadi peringatan (wake up call) bagi pemerintah dan masyarakat di Tanah Air bahwa betapa pentingnya untuk memahami mitigasi bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia rawan bencana alam, terutama yang berdampak besar seperti gempa dan tsunami. Ancaman tsunami bisa diprediksi setiap gempa bumi muncul, namun gempa tidak bisa diprediksi kapan datangnya.

Kalangan pengamat sudah mewanti-wanti, tsunami tidak bisa dicegah apalagi dihalau. Yang hanya bisa dilakukan adalah membuat langkah-langkah antisipastif agar kemunculannya di wilayah pesisir tidak sampai menimbulkan kerugian besar apalagi korban jiwa.

Fakta-fakta seperti itu lah yang harus terus disadarkan dan diantisipasi oleh pemerintah dan masyarakat dari waktu ke waktu dan ini selalu menjadi tantangan besar dengan segala permasalahan atau kompleksitas yang masing-masing muncul setiap kali bencana datang tiba-tiba, seperti yang dulu terjadi di Tanah Rencong.

Lima belas tahun lalu, Aceh awalnya diguncang gempa hebat. Guncangan gempa berskala 9,1–9,3 dalam skala kekuatan Moment dan IX (Violent) dalam skala intensitas Mercalli membuat warga Aceh berhamburan.

Gempa bumi tersebut berada di Samudera Hindia, yang disebabkan Lempeng Hindia terdorong ke dalam Lempeng Burma. Inilah yang membuat serangkaian tsunami yang menyebabkan lebih dari 166 ribu orang tewas atau hilang. Bukan hanya di Aceh saja, negara tetangga juga merasakan bencana tsunami tersebut dengan puluhan ribu korban jiwa.

Kini, 15 tahun sudah bencana tersebut berlalu. Tragedi tsunami ini masih dirasakan warga Aceh. Terutama bagi mereka yang kehilangan anggota keluarga, dan tidak pernah menemukan jasadnya.

Setiap tahunnya, ratusan warga Banda Aceh dan Aceh Besar selalu mendatangi kuburan massal yang berada di kawasan Ule Lheue, Banda Aceh.

Selain itu, peziarah juga mendatangi Museum Tsunami Aceh untuk mengenang tragedi yang menelan banyak korban jiwa. Bahkan, pemerintah Aceh menetapkan setiap tanggal 26 Desember sebagai hari libur.

Tsunami Aceh ini membuka fakta, bahwa kawasan Indonesia bagian barat ini bukan pertama kali dihantam bencana serupa. Peneliti Geologi mengungkapkan fakta jika sejak 7.500 tahun silam, Aceh diterjang tsunami berulang kali. Dan bencana yang sama pun menerjang kawasan Asia Tenggara.

Dalam sediman yang berada di sebuah gua di Aceh Besar merekam jejak tsunami. Gua ini pun diteliti ahli geologi dari Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh dan Universitas Teknologi Nanyang di Singapura serta Earth Observatory, Singapura.

Tujuannya jelas, sebagai masukan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dan mereka bisa melakukan antisipasi, jika bencana serupa terjadi.

Berbicara kepada reporter tvOne, Doni Monardo mengatakan jika bencana tersebut terlihat dalam empat lapisan sedimen batuan yang masing-masing berbeda usianya.

"Ada kurang lebih sekitar empat lapisan, dan setiap lapisan itu usianya berbeda-beda. Ada yang usianya 7.500 tahun. Ada yang usianya 5.400 tahun. Kemudian 3.300 tahun, 2.800 tahun dan kemudian yang terakhir 2004," ungkapnya.

Indonesia Rawan Tsunami

Bencana tsunami bukan hanya sekali dirasakan oleh masyarakat Indonesia sejak tahun 2004. Setidaknya tercatat ada beberapa bencana serupa, yang menelan banyak korban.

Tahun 2007 Bengkulu dihantam gelombang tsunami, tahun 2010 giliran Mentawai yang dihantam bencana yang sama. Aceh juga pernah dilanda tsunami kembali di tahun 2012. Selain kawasan Sumatera, Lombok dan Palu tahun 2018 merasakan hantaman gelombang tsunami yang menyebabkan banyak korban jiwa. Dan terakhir di penghujung 2018, Banten dan Lampung dihantam tsunami yang menewaskan ratusan orang.

Sementara itu berbicara kepada VIVAnews, kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kasbani mengungkapkan Indonesia rawan bencana gempa. Sebagai negara yang berada dalam wilayah Ring of Fire atau cincin api, Indonesia berada di atas lempeng dan sesar.

Sumber gempa megathrust.

"Indonesia berada di kawasan Ring of Fire. Kemudian berada di kawasan tektonik aktif, maka salah satu implikasinya adalah terjadinya gempa. Dan gempa ini mengikuti jalurnya tadi," ungkap Kasbani.

Tidak hanya kawasan Sumatera saja yang terancam bencana tsunami, Pulau Jawa pun terancam dengan adanya megathrust.

Pakar Tsunami Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Widjokongko, mengatakan kepada VIVA jika megathrust berpotensi menciptakan gempa dan tsunami dahsyat.

Sebelumnya, Widjo, membuat pemodelan bencana dengan fokus ke daerah Selatan Jawa dan menemukan gempa bermagnitudo 8,8 dan tsunami dengan tinggi 20 meter berpotensi terjadi di daerah itu.

Indonesia sendiri memiliki 16 segmen megathrust yang mencakup Pulau Sumatera, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), juga Laut Banda. Maka dari itu, daerah-daerah tersebut juga menghadapi ancaman serupa.

"Biasanya (gempa) terjadi di daerah subduksi atau pertemuan lempeng-lempeng. Kalau di Selatan Jawa, ya, pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang (bergerak) tujuh centimeter per tahun," ujar Widjo.

Data tersebut juga diperkuat oleh sebuah disertasi doktor dari Rahma Hanifa (2014) di Nagoya University yang berjudul "Interplate Earthquake Potential off Western Java, Indonesia, Based on GPS Data". Disertasi itu menyebutkan, zona megathrust selatan Jawa Barat dan Banten berpotensi memicu gempa dengan magnitudo 8,7.

Antisipasi Tsunami

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menyebutkan Indonesia kini memiliki sistem peringatan dini sehingga diharapkan dapat membantu masyarakat sekitar pesisir untuk segera mengamankan diri, ketika potensi gelombang tsunami muncul. "Kita punya sistem peringatan dini InaTEWS yang bekerja 24 jam," klaim Daryono.

Namun demikian, ia berharap masyarakat tidak membangun bangunan yang dekat dengan pantai. Dan penataan ruang harus dilakukan bail oleh pemerintah maupun masyarakat, untuk mengantisipasi bencana serupa.

Jokowi Resmikan 147 Bangunan yang Direhabilitasi Pasca Gempa di Sulawesi Barat

Dampak Tsunami Selat Sunda

"Penataan ruang harus dibenahi. Jangan membuat bangunan yang nempel-nempel di pantai, tapi agak menjauh dari pantai," jelas Daryono.

BMKG Sebut Erupsi Gunung Ruang di Sulut Berpotensi Tsunami: Ada Catatan Sejarahnya

Selain itu, Kepala PVMBG Kementerian ESDM, Kasbani mengungkapkan upaya pemerintah adalah dengan mengedukasi masyarakat akan bencana serupa.

"Tentunya dari sisi peningkatan kapasitas bagaimana kita memberikan pemahaman kepada masyarakat agar masyarakat bisa lebih peduli dalam antisipasi bencana," ucap Kasbani.

Gunung Ruang Erupsi, Pemkab Sitaro Tetapkan Tanggap Darurat Selama 14 Hari

Kasbani juga menyebutkan langkah pemerintah berikutnya, yaitu dengan mempersiapkan tanggul-tanggul yang bisa menghalau gelombang tsunami.

"Kemudian bagaimana kita mempersiapkan tanggul-tanggul untuk mengantisipasi tsunami. Itu kan juga perlu dipersiapkan," jelas Kasbani.

Namun demikian Kasbani mengimbau masyarakat untuk tidak berlebihan menanggapi isu bencana terutama gempa dan tsunami. Pemerintah sudah memetakan daerah mana yang berpotensi gempa maupun tsunami.

"Sebenarnya untuk memitigasi bencana baik itu gunung meletus, gempa, tsunami, sebenarnya kita sudah memetakan daerah mana yang dapat berpotensi gempa. Daerah mana yang bisa berpotensi tsunami atau tidak. Kalau yang tidak, ya masyarakat juga tak perlu khawatir. Wilayah yang berpotensi terjadi tsunami inilah jika terjadi gempa, paling tidak sudah bisa diantisipasi," katanya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya