Menanti Panglima Baru TNI

Presiden Jokowi saat menjadi warga kehormatan TNI.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA.co.id -
Remaja Lebih Suka Garuda di Dadaku dari Garuda Pancasila
Tak lama lagi Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko memasuki masa pensiun. Moeldoko lahir di Kediri, Jawa Timur, 8 Juli 1957.

Resep Panglima TNI untuk Raih Cita-cita Tinggi

Masa pensiun ini sesuai dengan undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pasal 53, prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira, dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama.
Panglima TNI: Tantangan Terberat Indonesia Mulai Tahun 2043


Berdasarkan norma tersebut, pada 8 Juli 2015, Moeldoko akan berusia 58 tahun sehingga memasuki masa pensiun. Kondisi tersebut membuat Presiden Joko Widodo harus menyiapkan calon untuk menggantikannya.

Merujuk pada pasal 13 ayat 4 undang-undang tersebut, posisi Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan. Dengan demikian, ada tiga nama perwira tinggi TNI yang memenuhi syarat.

Mereka adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Ade Supandi dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Agus Supriyatna. Pada prosesnya nanti, Jokowi akan mengusulkan satu orang calon Panglima TNI untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Prasyarat Calon

Lembaga pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM), Imparsial, menilai pergantian itu memiliki makna penting, bukan hanya untuk TNI tapi juga bagi publik. Sebab, Panglima TNI baru akan menentukan wajah TNI ke depan.

"Pergantian ini bukan semata-mata sebagai pergantian sosok, melainkan juga harus dibarengi oleh kerangka untuk mendorong munculnya sosok Panglima TNI yang bisa mendorong TNI semakin profesional ke depan," kata Direktur Program Imparsial, Al Araf, di Jakarta, Kamis, 28 Mei 2015.

Imparsial meminta, Jokowi memperhatikan sejumlah prasyarat yang objektif terkait pengangkatan calon Panglima TNI. Prasyarat tersebut di antaranya, harus memiliki komitmen terhadap HAM dan tidak terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.

Selain itu, sosok yang akan diusung menjadi panglima juga harus memiliki komitmen terhadap kehidupan politik dan demokrasi serta mendukung agenda penuntasan reformasi TNI. Panglima baru juga harus tunduk pada aturan hukum dan tunduk pada otoritas sipil.

"Prasyarat tersebut tidak hanya didasarkan pada jenjang kepangkatan dan karir semata."

Imparsial juga meminta Jokowi agar memilih calon Panglima TNI yang mendukung dan mau melaksanakan agenda reformasi. Setidaknya ada dua agenda utama yaitu mendorong agenda restrukturisasi Komando Teritorial (Koter) dan menuntaskan agenda reformasi peradilan militer melalui perubahan Undang Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

"Eksistensi Koter perlu direstrukturisasi sehingga TNI memiliki postur (gelar kekuatan yang benar-benar bisa mendukung pelaksanaan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara)," ujar Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti dalam siaran persnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 5 Juni 2015.

Calon Panglima TNI yang bisa dipilih Jokowi, menurut Poengky, adalah yang bersedia menjalankan mandat TAP MPR Nomor VII/2000 dan UU TNI untuk melakukan reformasi peradilan militer. Sebab, pantauan Imparsial, peradilan militer praktiknya seringkali menjadi sarana impunitas bagi oknum anggota militer yang melakukan tindak pidana.


"Kalaupun ada hukuman, sanksi yang diberikan seringkali tidak maksimal dan tidak sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukannya," kata Poengky.


Adapun prasyarat objektif dalam pengangkatan calon Panglima TNI antara lain; berkomitmen terhadap HAM dan pemberantasan korupsi, tidak terlibat dalam kasus pelanggaran HAM dan kasus korupsi, berkomitmen terhadap kehidupa politik dan demokrasi, memiliki komitmen untuk mendukung agenda penuntasan reformasi TNI.


"Syarat terakhir adalah calon Panglima TNI harus tunduk pada aturan hukum dan tunduk pada otoritas sipil."


Sementara itu, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, berpendapat Jokowi tak perlu meminta masukan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk memilih Panglima TNI.


"Tidak usah, Presiden yang pakai kok. Kalau ada apa-apa, Presiden yang tanggung jawab," kata Ryamizard di Istana Bogor, Jawa barat, Jumat 5 Juni 2015.


Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Tedjo Edhy P., juga menilai Presiden tak perlu meminta pertimbangan PPATK dan Komnas HAM karena nantinya calon panglima TNI akan dibawa ke DPR.


"Selama ini kan mereka sudah ajukan LHKPN ke KPK juga sudah," kata Tedjo.


Jabatan Bergilir


Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan) Salim Said berharap Jokowi memilih Panglima TNI dari Angkatan Udara. Alasannya, agar ada rotasi antara Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Darat.


"Kemarin AD sudah dua kali, AL sudah. Sekarang saya sarankan yang diangkat AU, ya supaya kebagian dalam rangka menjaga keutuhan tentara kita," kata Salim usai bertemu dengan Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 4 Juni 2015.


Menurutnya, pemilihan Panglima TNI dari Angkatan Udara ini tak akan mempengaruhi program pemerintah yang fokus pada kemaritiman.


"Ya kan beberapa tahun lagi kan bisa (dari AL). Ini kan panglima itu biasanya tidak 5 tahun, biasanya dekat pensiun 2 tahun ganti, jadi bisa saja. Kayak Moeldoko 2 tahun. Jadi saya kira bisa," ujar dia.


Imparsial juga turut mengingatkan Jokowi untuk memperhatikan Pasal 13 ayat 4 Undang Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur jabatan Panglima TNI yang bisa dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari masing masing angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.


"Jika mengacu pada pasal ini maka dalam pergantian Panglima TNI kali ini Presiden semestinya memberikan ruang bagi Matra Udara untuk mendapat giliran menduduki jabatan Panglima TNI dengan catatan prasyarat-prasyarat objektif terpenuhi," kata Poengky Indarti.


Dorongan agar Jokowi memenuhi aturan pasal 13 ayat 4 UU 34/2004 tentang TNI yang mengatur bahwa Panglima TNI dijabat oleh perwira tinggi aktif yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan dan dapat dijabat secara bergantian juga disampaikan oleh politisi Partai demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin.


"Mengacu pada pasal di atas kalau sebelumnya dijabat oleh Laksamana Agus kemudian diserah terimakan kepada Jenderal Moeldoko, maka giliran berikutnya adalah KSAU sekarang ini," katanya melalui pesan elektronik, Jumat 5 Juni 2015.


Hasanuddin menjelaskan, UU mengatur bahwa Panglima TNI diangkat dan diberhentikan Presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Pemberian persetujuan itu dilakukan paling lambat 20 hari sejak diterima oleh DPR .


"Dilihat dari aturan di atas dan faktanya bahwa DPR akan reses mulai tanggal 10 Juli sampai awal Agustus maka 20 hari sebelum tanggal 10 Juli atau paling lambat tanggal 19 Juni presiden sudah harus menyerahkan nama calon panglima TNI ke DPR untuk dilakukan uji kelayakan," kata Hasanuddin.


Dengan jadwal ini maka pelantikan Panglima TNI dapat dilaksanakan pada akhir Juli, sebelum panglima lama masuk masa pensiunnya.


Berbeda dengan Salim Said, Imparsial dan Hasanuddin, Ketua DPP Gerindra Desmond J Mahesa justru menjagokan Angkatan Darat untuk kembali memimpin. Apa alasannya?


"Sepertinya KSAD yang cocok menjadi Panglima TNI. Dia lebih senior daripada kepala staf angkatan yang lain," kata Desmond di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 4 Juni 2015.


Selain itu, Desmond melihat KSAD mempunyai kecakapan lebih daripada kepala staf yang lain.


"KSAD lebih merakyat, lebih cerdas kelihatannya," kata Desmond.


Meski mengakui adanya rotasi angkatan dalam jabatan Panglima TNI, Wakil Ketua Komisi III DPR ini melihat bukan sebuah aturan baku. Semua aturan itu bisa berubah.


"Rotasi angkatan itu hanya tradisi baru di TNI. Tergantung presiden akan melakukan itu atau tidak," katanya.


Ia menjelaskan sesuai Undang Undang TNI, Presiden mengajukan nama Panglima TNI. Selanjutnya DPR akan memberikan persetujuan nama Panglima TNI yang diajukan.


Sementara itu, Menteri Tedjo Edhy mengungkapkan, dalam aturan tak tertulis, ada tradisi rotasi, darat laut lalu darat udara. Alasannya karena Angkatan Darat banyak.


"Tetapi itu bukan harga mati, semuanya tergantung kewenangan presiden. Kalau lihat kemampuan tiga-tiganya sama saja," kata Tedjo.


Namun, dia mengakui memang hanya tiga calon yang berhak menjadi Panglima, mereka adalah Kepala Staf Angkatan Udara, Kepala Staf Angkatan Darat dan Kepala Staf Angkatan Laut.


"Ada tiga yang diajukan, lalu maju ke Presiden, lalu Presiden lihat mana yang titik berat penugasannya apa?" ujar dia.


Meski prioritas pembangunan di kemaritiman, lanjut Tedjo, bukan berarti yang ditunjuk menjadi Panglima adalah Kepala Staf Angkatan Laut.


"Kalau KSAD dan KSAU punya visi dan misi kemaritiman ya boleh," kata dia.


Tedjo menjelaskan, sebenarnya yang berhak dicalonkan menjadi Panglima adalah tiga kepala staf angkatan dan mantan kepala staf tetapi yang masih aktif. Namun, tidak ada lagi mantan kepala staf yang masih aktif, sehingga hanya tiga kepala staf saja yang bisa menjadi Panglima.


"Kita tunggu saja siapa yang ditunjuk," ujar dia.


Berdasarkan catatan
VIVA.co.id,
dari tiga calon yang ada, baru Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Ade Supandi, yang pernah menyatakan kesiapannya.


"Saya siap kalau dipercaya," ujar Ade di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa, 5 Mei 2015.


Ade menuturkan, siapa pun berhak menempati posisi orang nomor satu di korps militer itu termasuk dirinya. Karena pada prinsipnya, pengangkatan menjadi Panglima tidak tergantung berdasarkan giliran per kepala staf angkatan.


Namun, pencalonan tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, disebutkan bahwa penunjukan merupakan hak prerogatif Presiden.


"Tidak mesti giliran, kan ada UU Nomor 34 soal itu," ujarnya menjelaskan.


Lantas bagaimana sikap Jokowi mengenai persoalan tersebut?


Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto mengakui saat ini ada tiga kandidat yang akan menjadi Panglima TNI yaitu para kepala staf angkatan. Namun, Presiden belum tentu memilih prajurit Angkatan Udara sebagai Panglima TNI sebagai bentuk giliran.


Menurutnya, dalam syarat UU memang harus ada rotasi, tetapi tidak ada keharusan harus berurutan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.


"Tapi tergantung politik pertahanan dari Presiden," ujar dia.


Jangan Gaduh


Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq berharap pemilihan Panglima TNI tidak menimbulkan kontroversi dan kegaduhan baru. Oleh karena itu, Mahfudz meminta Jokowi tidak terburu-buru menyerahkan nama calon Panglima TNI ke DPR.


"Presiden masih bisa menyerahkan nama sampai bulan Juli. Jangan terburu-buru," kata Mahfudz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 8 Juni 2015.


Mahfudz menjelaskann Jokowi tinggal mengikuti Undang-undang TNI dan masukan dari Wanjakti. Termasuk tradisi rotasi matra sebagai Panglima TNI yang dimulai sejak era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Sesuai Undang-undang, Panglima TNI harus menjabat kepala staf angkatan atau pernah menjabat. Dengan peraturan perundangan itu, semua kepala staf mempunyai peluang yang sama.


"Saya melihat para kepala staf yang ada sekarang punya kompetensi, punya
track record
. Punya kemampuan relatif berimbang," ujar Mahfudz.


Politisi PKS ini menjelaskan dengan konsep trimatra terpadu sebenarnya tidak ada persoalan Panglima TNI yang baru berasal dari matra darat, laut atau udara.


"Siapa pun calon Panglima TNI, tetap akan punya kemampuan menjalankan trimatra terpadu itu," tuturnya.


Mahfudz menegaskan semua itu sebagai hak prerogatif Presiden. DPR hanya menerima nama yang diajukan oleh Presiden. Ia hanya mengingatkan Presiden untuk berhati-hati melakukan seleksi nama Panglima TNI.


"Prinsipnya Presiden dan semua unsur tidak menimbulkan kontroversi dalam pemilihan Panglima TNI dan tidak menimbulkan kebisingan yang tidak perlu. Kontroversi akan merugikan negara dan akan ganggu wibawa TNI," katanya.


Makin Berat


Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengingatkan Panglima TNI yang baru mempunyai tugas yang berat. Oleh karena itu, dia meminta Jokowi untuk hati-hati dalam memilih calon.


"Tantangan Panglima TNI ke depan makin besar. Saya melihat potensi konflik yang ada di tingkat regional itu makin tumbuh," ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 1 Mei 2015.


Meski demikian, Fadli tidak mempermasalahkan apakah pengganti Panglima TNI berasal dari Angkatan Darat, Angkatan Laut atau Angkatan Udara. Baginya, yang terpenting sosok Panglima TNI harus memiliki dua kriteria.


Pertama, harus bisa mengayomi semua personel dari ketiga angkatan (matra) tersebut. Kedua, Panglima TNI harus mampu menjalin komunikasi dengan aparat lain seperti kepolisian.


"Dengan adanya kemampuan mengayomi semua matra, ke depan Panglima TNI bisa mencegah terjadinya gesekan antar sesama anggota TNI. Selain itu, dengan kemampuan mengayomi solidaritas TNI, maka akan menguatkan profesionalisme TNI," kata Fadli.


Tak hanya itu, Fadli juga berharap agar Panglima TNI yang baru bisa menghindari bentrok dengan Polri yang kerap berulang. Menjadi tugas calon terpilih nanti untuk berkomunikasi dengan kepolisian karena tugas kedua institusi tersebut yaitu pertahanan dan keamanan tidak dapat dipisahkan.


Senada dengan koleganya, anggota Komisi I DPR Ahmad Muzani mengatakan tantangan bagi Panglima TNI yang baru adalah penyelesaian masalah konflik TNI-Polri yang selalu terulang. Sejauh ini, belum ada langkah tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.


"Ya kita minta jaminan Panglima TNI, itu problem berulang di berbagai tempat, di Batam, Sumsel dan wilayah lainya. Karena itu harus dipikirkan penyelesaian persoalan ini agar tidak berulang," katanya.


Sekretaris Jenderal Partai Gerindra ini menambahkan, Panglima TNI ke depan harus mampu menjadikan TNI semakin kuat, profesional dan dihormati. Menurut dia, sebagai benteng negara ada tiga hal yang harus dibenahi TNI.


"Pertama, terkait modernisasi alutsista. Kedua, latihan secara reguler. Ketiga, peningkatan kesejahteraan anggota TNI dan keluarga, sehingga saat membela negara nanti mereka tidak berpikir hal lain," katanya menjelaskan.


Mengenai apakah Panglima TNI nanti dari AD, AL atau AU, Muzani tidak mempermasalahkan. Pasalnya, itu hak prerogatif Presiden.


"Itu tidak diatur dalam Undang Undang TNI."


Sementara, politisi PDIP, TB Hasanuddin, menambahkan bahwa tugas Panglima yang akan datang setidakya ada empat poin. Pertama, meningkatkan disiplin dan profesionalisme prajurit, kedua melanjutkan pengembangan alutsista melalui program MEF, ketiga, meningkatkan kesejahteraan prajurit dan keempat, menyelesaikan masalah sengketa tanah dengan rakyat. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya