Menyoal Aklamasi di Pilkada Serentak

PDIP Pastikan Usung Risma-Whisnu di Pilkada Kota Surabaya
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Zumrotul Abidin

VIVA.co.id - Gaung pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang dijadwalkan digelar tahun ini mulai ditabuh. Sejumlah partai politik menyiapkan diri untuk menghadapi pesta demokrasi lima tahunan ini.

50% Hasil Pilkada Serentak Disengketakan ke MK

Sebagian parpol sudah mantap dengan calon pilihannya, sebagian lain masih menimbang-nimbang calon yang akan diusung.

Seperti halnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sudah mantap mengusung kembali Tri Rismaharini sebagai calon wali kota Surabaya. Risma akan dipasangkan dengan Ketua DPC PDIP Kota Surabaya, Wisnu Sakti Buana, yang tak lain adalah wakil wali kota Surabaya. Keduanya merupakan pasangan incumbent.

Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristyanto, memastikan, partai berlambang kepala banteng itu akan mengusung Risma-Wisnu pada Pilkada Kota Surabaya pada Desember 2015. Kepastian itu diperoleh atas rekomendasi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang memutuskan akan mengusung Risma-Wisnu di Pilkada Kota Surabaya.

"Rekomendasi tinggal legal formal. Kalau bulan Ramadhan itu lebih baik untuk kami keluarkan," kata Hasto di sela menghadari Jalan Sehat dalam rangka Juni Bulan Bung Karno di Taman Bungkul, Surabaya, Minggu, 14 Juni 2014.

Keputusan DPP PDIP kembali mengusung Risma di Pilkada Kota Surabaya didasarkan hasil evaluasi partai terhadap model pemerintahan di bawah kepemimpinan Risma-Wisnu saat ini, bisa menyatu dengan rakyat Surabaya. Di samping itu, ada masukan dari struktural partai dan masyarakat yang ingin Risma kembali memimpin Surabaya.

"Adanya aspek kesatupaduan kepemimpinan, sehingga kami tetap memajukan pasangan Risma-Wisnu untuk memimpin kembali Surabaya," ujar Hasto.

Namun, di tengah proses rekrutmen partai politik terhadap calon kepala daerah Kota Surabaya bergulir, calon yang diusung PDIP sebagai pasangan Risma, Wisnu Sakti Buana sesumbar di depan pimpinan partai politik di Surabaya dengan membuka wacana mengusung satu pasangan calon untuk Pilkada Kota Surabaya 2015.

Calon yang dimaksud Wisnu adalah calon yang diusung PDIP, Tri Rismaharini dan dia sendiri. Menurut dia, bila gagasan ini terwujud, bisa menghemat dana pilkada sebesar Rp71 miliar. Selain itu, tidak adanya calon dari jalur independen yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), memungkinkan hanya ada satu pasang kandidat.

"Ini pertemuan awal. Kalau semua parpol setuju merekomendasi satu pasangan calon yang sama (Risma-Wisnu), kenapa dipaksakan untuk voting (pemungutan suara) di pilkada. Kalau bisa dimusyawarahkan mengapa harus voting," kata Wisnu, Selasa, 16 Juni 2015.

Ketua DPC PDIP Surabaya ini menyadari bahwa wacana yang dia gulirkan itu melanggar konstitusi. Karena, UU mensyaratkan untuk bisa digelar pilkada harus minimal ada dua pasangan calon.

Namun, PDIP juga menilai bahwa demokrasi Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat adalah aturan yang lebih tinggi dalam undang-undang.

"Sudah tidak saatnya memunculkan calon bayangan. Itu sama saja menghadirkan ludruk (drama komedi tradisional Jawa Timur) di tengah rakyat. Kalau tidak ada calon lagi, ya, kita musyawarah mufakat," ujarnya.

Wisnu yang juga wakil wali kota Surabaya itu mengklaim, jika wacana musyawarah mufakat untuk mengusung hanya satu pasangan calon itu berhasil, tidak ada lagi pilkada. Dengan begitu, dana pilkada sebesar Rp71 miliar bisa dihemat untuk kesejahteraan masyarakat.

"Belanda Masih Jauh"


Namun demikian, wacana yang digulirkan Wisnu itu belum sepenuhnya bisa diterima partai politik di Surabaya. Parpol seperti PAN, Gerindra, PKB, PKS, Golkar, Demokrat, Hanura, dan Nasdem masih akan mendiskusikan wacana tersebut dengan pimpinan pusat masing-masing.

"Sebab, ini masih wacana. Belum ada keputusan. Komunikasi ini masih tahap penjajakan," kata Ketua PKS Surabaya, Ibnu Shobir, yang turut hadir dalam pertemuan itu.

Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Timur, Soepriyatno, menilai, wacana yang digulirkan Wisnu masih terlalu dini. Lagi pula, wacana tersebut jelas menyalahi peraturan perundang-undangan, di mana pilkada mensyaratkan adanya paling sedikit dua pasangan calon.

"Pokoknya sampai dua pasang, bisa dari independen atau partai. Pokoknya tetep ada dua pasang. Aklamasi itu nggak bisa," ujar Soepriyono kepada VIVA.co.id, Rabu, 17 Juni 2015.

Menurut Soepriyatno, Partai Gerindra saat ini masih melakukan penjaringan dan penjajakan calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya bersama dengan partai politik lainnya. Gerindra bahkan mengklaim, telah memiliki 8 orang nama yang akan diusulkan menjadi calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya.

"Kalau kata orang Surabaya itu, 'Belanda masih jauh bung!'. (PDIP) Jangan menyombongkan diri dulu lah," tuturnya.

Kendati begitu, Soepriyatno mengatakan, dalam Pilkada Surabaya ini Partai Gerindra selalu membuka opsi berkoalisi dengan partai lain dalam mengusung calon, termasuk PDIP. Tapi sebaliknya, bila nantinya mengusung calon sendiri, Gerindra harus memastikan elektabilitas calon yang diusung.

"Kami harus fight ya, cari lawan yang setara dengan Wali Kota Risma, kalau mau jadi lawan," katanya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, juga menganggap wacana ketua DPC PDIP Surabaya yang mengusulkan Pilkada Kota Surabaya diikuti satu pasang calon saja demi menghemat anggaran melawan konstitusi atau undang-undang.

Arief Budiman menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah jelas disebutkan pemilihan kepala daerah sekurang-kurangnya harus diikuti dua pasangan calon.

KPU lantas menerjemahkan klausul dalam undang-undang itu dalam peraturan KPU yang pada pokoknya pilkada harus diikuti paling sedikit dua pasang calon. Bila sampai batas waktu tertentu hanya ada satu pasang calon yang mendaftar, KPU wajib membuka kembali kesempatan untuk pendaftaran sampai didapat sedikitnya dua pasang calon.

"Apabila sampai masa akhir pendaftaran hanya ada satu pasangan calon, KPU akan melakukan perpanjangan. Masa perpanjangan itu akan dilaporkan kepada menteri dalam negeri," ujar Arief ditemui VIVA.co.id di Surabaya, Selasa malam, 16 Juni 2015.

Gagasan Alternatif


Arief menegaskan, jika ada kekuatan politik yang tetap berkukuh menggulirkan hanya ingin satu pasangan calon, itu bisa dimasukkan sebagai tindakan di luar hukum. Jika proses pilkada tidak sesuai aturan hukum, proses itu tidak bisa disebut pilkada.

Begitu pun jika tidak ada dua pasangan calon sampai pendaftaran ditutup, KPU akan membuka masa pendaftaran paling lama tiga hari. Jika masih tidak ada, dilakukan perpanjangan lagi.

"Masa pendaftarannya tiga hari. Waktunya tidak boleh terlalu jauh. Kalau tidak dapat dua calon, mekanismenya harus diperpanjang lagi. Kalau bukan dua pasangan calon maka bukan pilkada namanya," ujar Arief.

Dia juga mencontohkan, peristiwa itu pernah terjadi di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Kala itu, di daerah tersebut juga tidak muncul dua pasangan calon, lantas KPU melakukan perpanjangan masa pendaftaran sampai akhirnya ada dua pasangan calon.

Mantan komisioner KPU Jawa Timur itu mengimbau agar di Surabaya muncul sekurang-kurangnya dua calon dalam Pilkada 2015. Tujuannya biar pilkada cepat selesai dan segera memiliki kepala daerah baru serta pembangunan segera dilanjutkan.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, justru berpendapat sebaliknya. Dia menyatakan wacana pilkada boleh diikuti satu pasang calon layak dikaji. Alasannya, pertama, demi menghemat anggaran karena tak perlu pemungutan suara alias aklamasi.

Kedua, menghindari keberadaan calon boneka atau kandidat yang direkayasa dicalonkan hanya demi memenuhi amanat undang-undang.

"Saya menilai, ini gagasan alternatif untuk antisipasi jika benar-benar hanya ada satu pasangan calon di Surabaya. Gagasan ini patut diapresiasi jika tujuannya baik untuk menghemat anggaran rakyat," ujar Haryadi kepada VIVA.co.id, Rabu, 17 Juni 2015.

Menurut Hariyadi, kalau memang di suatu daerah hanya ada satu pasang calon yang mendaftar, tak perlu dipaksakan sampai ada paling sedikit dua pasang. Jika dipaksakan, berpotensi muncul calon boneka yang didaftarkan cuma demi memenuhi perintah undang-undang. Calon boneka atau lawan pura-pura itu pun akan menghabiskan anggaran.

Wacana itu, kata Haryadi, dimaksudkan bisa berkembang secara nasional. Hal itu merupakan upaya Wisnu mengantisipasi bila benar hanya ada satu pasangan calon (Risma-Wisnu), lebih baik aklamasi daripada harus mengeluarkan biaya begitu besar untuk pilkada.

"Belum lagi, kalau harus menghadirkan calon bayangan yang seolah-olah jadi lawan, pasti juga keluarkan biaya besar. Belum lagi partai-partai yang lain pasti minta partisipasi," tutur Haryadi.

Gagasan itu cukup masuk akal bila dimaksudkan untuk mengakomodasi daerah-daerah yang tidak ada pesaingnya. Namun, tentu tidak boleh dipaksakan untuk diterapkan di Pilkada Kota Surabaya 2015.

"Tugas Wisnu sekarang mendorong gagasan itu menjadi perubahan undang-undang. Maka harus disalurkan saja ke pembuat undang-undang. Tentunya, Wisnu juga harus mencoba meyakinkan partainya tentang diskursus ini. Anggota DPR dari PDIP terlebih dahulu yang harus dimintai tolong," dia menambahkan.

Minus Calon Independen

Pada pertemuannya dengan elite partai politik di Surabaya, Wisnu juga membahas bahwa partai politik masih menjadi legitimasi demokrasi. Sebab, pembukaan calon perseorangan yang ditutup pada 15 Juni 2015, telah membuktikan tidak ada satu pun pasangan calon perseorangan yang mendaftar.

"Ini kesempatan semua parpol menegakkan supremasi bahwa parpol tonggaknya demokrasi. Terbukti, calon independen di Surabaya tidak ada," kata Wisnu.

Ketua KPU Kota Surabaya, Robiyan Arifin, mengaku calon perseorangan (nonpartai politik) dalam pemilihan wali kota Surabaya nihil. Menurut dia, hingga batas akhir pendaftaran calon independen pada Senin, 15 Juni 2015, tidak ada satu pun calon perseorangan yang mendaftar.

Padahal, KPU Kota Surabaya telah membuka penyerahan dokumen dukungan calon perseorangan Pilkada Kota Surabaya sejak Kamis 11 Juni 2015. Semula, KPU Surabaya optimistis akan ada calon perseorangan yang bakal mendaftar dalam Pilwali Kota Surabaya 2015. Ini karena Pilwali tahun 2010 juga diikuti satu pasangan calon independen.

"Ternyata tahun ini sepi peminat," ucap Robiyan Arifin.

Sepinya peminat jalur independen di Pilkada serentak tahun 2015 ini tak lepas dari betapa sulitnya perjuangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan atau independen. Bagi calon di daerah, mereka harus naik turun gunung dari kampung ke kampung mengumpulkan KTP dan surat keterangan domisili desa sebagai syarat administrasi.

Marsel Sudirman, salah satu calon bupati dari jalur perseorangan kepada VIVA.co.id, Minggu malam 14 Juni 2015, mengungkapkan betapa susahnya dia dan tim kerjanya menghimpun KTP di 162 desa di 11 kecamatan di Manggarai, NTT. Kata dia, waktu pengumpulan data dukungan bahkan menghabiskan waktu hingga setahun.

"Kerja berdarah-darah hampir setahun berhasil mendapatkan data dukungan  mencapai 35 ribu KTP dan surat keterangan domisili," kata Marsel Sudirman, prajurit TNI berpangkat Mayor Infanteri itu.

Meski sudah melewati ambang batas dukungan yakni 8,5 persen dari jumlah penduduk atau setara 26.836 KTP dan surat domisili, namun sejumlah pekerjaan berat masih harus dikelarkan.

"Dari mulai penggandaan data dukungan rangkap tiga yang bisa mencapai 100-an ribu eksemplar, lalu data dukungan di-posting satu per satu ke dalam dua format aplikasi KPU ditambah penempelan materai Rp6.000 di hampir 1.000 dokumen penting. Untuk mengerjakan itu, kami mengerahkan 50 relawan," ujar Mayor Marsel, begitu ia disapa.

Juru bicara KPU Kabupaten Manggarai, Apolonaris Rokefeler, mengatakan, waktu yang disediakan bagi kandidat independen untuk menyerahkan dokumen hanya tiga hari. Selanjutnya, dokumen data dukungan dari kandidat independen masih akan diverifikasi lagi.

"Kalau masih ada kekurangan, KPU memberi waktu 14 hari untuk perbaikan," kata Apol. Jika sudah dinyatakan lengkap, mereka yang dari independen akan mendaftar ke KPUD bersama dengan pasangan calon dari parpol pada 26-28 Juli.

TNI-Polri Maju Pilkada Diusulkan Cukup Ajukan Cuti
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Ahok Maju Lewat Parpol, Bagaimana Nasib 1 Juta KTP?

Relawan mengaku tetap mendukung Ahok.

img_title
VIVA.co.id
28 Juli 2016