Bergabung dengan TPP, RI Untung atau Buntung?

Sumber :
  • REUTERS / Jonathan Ernst

VIVA.co.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengisyaratkan persetujuan Indonesia akan berpartisipasi dalam Trans Pacific Partnership (TPP) saat pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, di Gedung Putih pada Rabu, 27 Oktober 2015.

Tiap Tahun, USD18,7 Miliar Devisa Ekspor Indonesia Menguap

Hal itu menimbulkan polemik di dalam negeri mengenai untung dan ruginya Indonesia bergabung dalam TPP.

Menurut Jokowi, bergabungnya Indonesia dalam TPP dilakukan untuk memodernisasi aktivitas ekonomi Indonesia. Presiden juga menyatakan Indonesia adalah negara terbuka dan ekonomi terbesar di Asia Pasifik dengan populasi 250 juta jiwa.

“Birokrasi yang menghambat sudah seharusnya dihilangkan. Kemudahan berusaha di Indonesia kini menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia,” kata Jokowi  dalam pidatonya di Amerika.

Kabar inisiatif Jokowi untuk bergabung dalam kelompok kerja sama perdagangan  bebas tersebut disambut baik oleh AS. Namun kritikan tajam datang langsung dari Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam akun Twitternya, SBY pun ikut berkomentar terkait rencana Indonesia 
tersebut. SBY menyampaikan banyak hal terkait TPP yang kini sedang didorong oleh Jokowi.

Menurut SBY, TPP sesungguhnya merupakan program kerja sama ekonomi yang baik. Hanya saja, menurut SBY, kerja sama ini menuntut kesiapan Indonesia.

Dahulu, SBY mengakui pernah ditawari untuk masuk dalam kerja sama perdagangan liberal yang dimotori AS itu. Hanya saja, kala itu, ia menilai Indonesia belum tepat untuk bergabung.

Karena itu, ia memilih menolak dan menggabungkan Indonesia dalam Kerja Sama Ekonomi Regional Komprehensif (RCEP).

Menurut dia, TPP merupakan liberalisasi ekonomi dan investasi di negara pengikutnya.

"Sebenarnya TPP baik, jika negara anggotanya 'siap', kepentingannya diwadahi dan benar-benar memberikan keuntungan bersama. Jika Indonesia merasa belum siap dan dipaksa masuk TPP, maka justru negara kita akan dirugikan. Begitulah 'hukum  globalisasi," tulisnya.

SBY pun mengungkapkan alasannya, mengapa ketika masa akhir kepemimpinannya belum memutuskan Indonesia masuk TPP.

Pertama, Indonesia sedang meningkatkan kesiapan untuk Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kedua, Indonesia juga harus "untung" dalam China-ASEAN Free Trade Agreement. Rakyat khawatir kalau tak siap dan merugi dalam dua kerja sama ini.

Ketiga, Indonesia sedang ikut negosiasi RCEP kerja sama ekonomi ASEAN plus Tiongkok, Jepang dan Korea. Jangan sampai Indonesia juga tak siap.

Keempat, ekomomi Singapura, Malaysia, Brunei, dan Vietnam (yang masuk TPP),  "berorientasi ekspor". Indonesia tidak.

"Pasar domestik kita besar. Jika tak siap, justru pasar kita akan kebanjiran barang dan jasa negara lain. Sementara itu, ekspor kita tak bisa bersaing di luar negeri," katanya.

Kelima, sudah ada APEC yang juga merupakan wadah kerja sama ekonomi Asia Pasifik. Karenanya, dulu TPP belum jadi prioritas utama.

"Tetapi, Presiden Jokowi punya hak dan bisa saja ubah posisi kita, dan putuskan bergabung ke TPP, mungkin beliau sudah berjanji di Amerika," ungkapnya.



Melanggar Konstitusi

Indonesia Makin Tertinggal di Era Perdagangan Bebas

Tidak hanya SBY yang berkomentar keras atas rencana Indonesia bergabung dengan TPP. Banyak pengamat melihat TPP melanggar konstitusi dan hanya akan merugikan Indonesia.

Ketentuan Trans Pacific Partnership (TPP) dianggap bertentangan dengan konstitusi. Khususnya terkait dengan kedaulatan negara atas penguasaan dan pengelolaan perekonomian nasional yang diatur dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar RI.

Manajer Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menjelaskan, TPP memiliki 29 bab ketentuan liberalisasi perekonomian yang di dalamnya disusun sesuai dengan standar dan kepentingan AS.

Bahkan, cakupan aturannya sangat luas dan komprehensif. TPP berpotensi menghilangkan kedaulatan negara atas pengelolaan perekonomian nasional dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat.

“TPP telah menghilangkan kontrol negara atas sektor publik yang strategis bagi masyarakat dengan meminta untuk menghapus daftar negatif investasi di sektor ini. Bahkan, TPP hendak memasung peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mengelola sumber kekayaan nasional," katanya.

Dijelaskan Rachmi, dukungan pemerintah yang besar terhadap BUMN dianggap telah menciptakan kompetisi yang tidak adil, sehingga TPP melarang segala bentuk dukungan untuk BUMN.

Rachmi menerangkan bahwa TPP akan membuka akses perusahaan asing kepada kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai triliunan dolar AS dari serapan APBN.

“Ini bisnis yang menggiurkan bagi korporasi AS, sehingga TPP menerapkan aturan non-diskriminasi dan national treatment bagi perusahaan asing dalam kegiatan ini," kata dia.

TPP juga berpotensi menghilangkan akses masyarakat terhadap obat-obatan murah serta hilangnya kedaulatan pangan akibat kriminalisasi petani kecil akibat aktivitas budidaya tanaman.

Ekonom Senior Insitute for Development for Economic and Finance (Indef) Didik J Rachbini, mengatakan, pemerintah harus berpikir ulang sebelum menyatakan benar-benar bergabung dalam TPP.

"Itu harus dikaji lebih dalam, karena TPP itu arus mainstream di internasional," kata Didik kepada VIVA.co.id, di Jakarta, Selasa 3 November 2015.

Menurut Didik, jika bergabung, kemungkinan ada masalah baru kembali terhadap ekonomi.

"Indonesia itu sekarang menghadapi liberalisasi di ASEAN untuk jasa-jasa dan keahlian. Ini, kita kerepotan juga liberalisasi dengan China," ujar Didik.

Hadapi Perdagangan Bebas Eropa, RI Kurang Berani



Indonesia Belum Siap

Rencana bergabungnya Indonesia dengan Trans Pacific Partnership (TPP), ternyata dianggap sebagai langkah yang belum siap oleh Kementerian Perindustrian.

Sekretaris Jenderal Kemenperin, Syarif Hidayat, mengatakan pesimisme itu didasari karena penghapusan menggunakan bahan baku lokal menjadi kendala industri-industri dalam negeri untuk bisa bersaing dalam arus liberalisasi.

"Contohnya, untuk bisa bersaing tentunya bahan baku yang kita miliki bisa didapatkan dengan mudah oleh industri dan dengan harga yang relatif murah agar bisa bersaing," ujar Syarif.

Menurut Syarif, masih butuh waktu agar industri lokal siap dan bergabung dengan TPP. Karena, menurut dia, untuk bergabung dengan TPP, pemerintah harus memperkuat industri dalam negeri terlebih dahulu.

Ia menambahkan bahwa yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah memperkuat  industri dalam negeri agar industri lokal mampu bersaing dan mampu mendobrak dominasi industri global.

Syarif menjelaskan, Indonesia saat ini tak memerlukan kerja sama perdagangan global yang justru menindas industri lokal.

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk bergabung dengan Trans Pasific Partnership (TPP) pun dianggap kurang pas oleh ekonom Ichsanudin Noorsy. Dia menilai, untuk bersaing dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saja Indonesia belum tentu bisa mengimbangi.

Menurut Noorsy, Indonesia dinilai masih kalah dengan negara-negara tetangga. "Hadapi MEA 2015 saja kita belum tentu bisa, apalagi TPP," kata Noorsy.

Noorsy mengatakan, TPP bahkan dikritik oleh masyarakat di negara-negara kapitalis, termasuk di Amerika Serikat, karena hanya akan menguntungkan pemain-pemain besar.

"Di Amerika sendiri TPP itu ditolak oleh Partai Republik, karena hanya menguntungkan segelintir orang saja dari kerja sama ini," ujarnya.

Menurut Noorsy, TPP adalah bagian dari sebuah liberalisme dalam perdagangan bebas. Ia menilai bergabungnya Indonesia ke TPP tidak akan menguntungkan masyarakat menengah ke bawah.

AS: TPP Beri Keuntungan

Sementara itu, AS menyambut baik keinginan Jokowi agar Indonesia bergabung dalam TPP.

Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Robert O' Blake, mengatakan, negaranya sangat mengapresiasi keinginan Presiden Joko Widodo untuk bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP).

Blake mengatakan, jika bergabung dengan TPP, maka itu akan memberikan keuntungan besar pada Indonesia.

"TPP adalah kebijakan Presiden Obama tentang rebalance to Asia. Kami menyambut baik keinginan Indonesia yang disampaikan Presiden Jokowi saat kunjungannya ke Amerika Serikat," kata Blake.

Menurut Blake, jika bergabung, TPP akan membuka kesempatan pasar yang besar untuk Indonesia.

Saat ini, ada 12 negara bergabung dalam TPP, termasuk Australia, Kanada, Jepang, Meksiko, Vietnam, dan AS. TPP telah menciptakan kawasan perdagangan bebas terbesar di dunia. TPP tidak melibatkan China, menyiratkan persaingan antara China dan AS.

Bergabungnya Indonesia dengan TPP, berarti membuka pintu perdagangan bebas dan sejumlah sektor industri bagi investasi asing.

Perwakilan perdagangan AS, Michael Froman, mengatakan ada banyak yang harus dikerjakan Indonesia, yakni memangkas birokrasi, meniadakan sejumlah penghalang, seperti persyaratan keberadaan konten lokal dan produk-produk asing.

Kemudian, menghilangkan pembatasan impor dan ekspor, serta melindungi hak intelektual.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya