Ridwan Kamil Lawan Tanding Ahok?

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Sumber :
  • ANTARA/Widodo S. Jusuf
VIVA.co.id - Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung, menimbang-nimbang peluang sebagai calon gubernur DKI Jakarta dalam pilkada serentak pada tahun 2017. Pernyataan politiknya tak lagi normatif yang menunjukkan sikap melihat-lihat situasi atau peluang.
Djarot Harap Pendemo Tak Rusak Taman Kota
 
Emil, begitu dia akrab disapa, mulai menampakkan hasrat berminat menantang sang petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dia memang belum memutuskan bersedia atau menolak maju dalam pilkada paling bergengsi dan prestisius di Indonesia itu. Namun dia bilang akan mengumumkan sikap atas keputusan bersedia atau tidak pada Senin, 29 Februari 2016.
Blusukan di Mampang, Sandi Dicegat Kiai Berjubah
 
Pria yang sebelumnya menjadi arsitek dan dosen tidak tetap pada Institut Teknologi Bandung mengaku masih memerlukan berkonsultasi untuk meminta saran dan masukan dengan sejumlah tokoh nasional. Dia juga berterus terang memerlukan waktu untuk istikharah atau salat sunah meminta petunjuk Allah.
Ridwan Kamil Tak Larang Warganya Ikut Demo Ahok
 
"Ini (sekarang) lagi detik-detik terakhir, istilahnya. Nanti malam istikharah (salat sunah untuk meminta petunjuk kepada Allah),” kata Emil kepada wartawan saat ditemui dalam acara Smesco-Marketeers Creativity Day: Soul of Bandung di Jakarta pada Minggu, 28 Februari 2016.
 
Malam sebelumnya, Emil membuat jajak pendapat ala kadarnya melalui akun resmi Facebook-nya. Dia mengaku sudah selama dua bulan terakhir intensif bersilaturahmi dengan banyak tokoh, terutama mereka yang mendorong-dorongnya maju sebagai calon gubernur Jakarta.
 
Dia berujar sudah saatnya pula meminta saran publik, terutama 1,6 juta pengguna Facebook di Indonesia. Dia menulis pesan pada dinding Facebook-nya: “Perlukah saya pergi ke Jakarta untuk ikut pilkada gubernur DKI 2017? Mohon alasannya. Hatur nuhun.”
 
Unggahan itu direspons lebih 48 ribu komentar. Sebagian berkomentar tak setuju Emil coba-coba peruntungan dalam Pilkada DKI Jakarta. Ada yang menyarankan Emil lebih dahulu menuntaskan tugasnya sebagai Wali Kota Bandung sampai tahun 2018. Lagi pula masih banyak masalah di Bandung yang perlu diselesaikan. Ada juga yang menganjurkannya bertarung saja dalam Pilkada Jawa Barat pada 2018.
 
Ogah Wakil Gubernur
 
Hasrat Emil untuk menjadi pemimpin Ibu Kota itu tersirat samar-samar tapi jelas maksudnya dari pernyataannya yang mengaku ogah kalau dicalonkan dalam posisi sebagai wakil gubernur. “Kalau orang nomor dua (posisi calon wakil gubernur), enggaklah," katanya dalam kesempatan di Jakarta itu.
 
Emil menganggap posisi wakil ibarat ban serep atau pelengkap, sehingga tak strategis dan tak memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan kebijakan. "Dalam republik ini, orang nomor dua itu bukan yang ambil keputusan. Agak enggak strategis, kecuali di level nasional (presiden dan wakil presiden). Kalau untuk daerah, saya enggak tertarik," ujarnya.
 
Sang Wali Kota berargumentasi bahwa pemimpin yang didukung rakyat akan merasa lebih leluasa menentukan kebijakan. Tak tepat kalau seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya lalu bertukar posisi menjadi wakil. Gagasan atau terobosan sebaik apa pun bakal lebih banyak terhambat urusan sepele, yakni harus atas persetujuan sang gubernur.
 
Emil pernah membanggga-banggakan capaian sebagai buah keleluasaan kewenangan selama menjadi Wali Kota Bandung, misalnya, pembangunan bidang infrastruktur, yang lebih baik daripada sebelumnya. Perbaikan jalan, gorong-gorong, trotoar dan ruang terbuka telah dilakukan meski belum rampung semua.
 
Capaian nonfisik adalah perbaikan birokrasi, yang Emil klaim lebih tertata sekarang. Hal itu dibuktikan dengan indeks persepsi korupsi Kota Bandung yang rendah berdasarkan hasil riset yang dirilis Transparency International (TI) pada September 2015. Bandung mendapatkan skor 39, paling rendah di antara sebelas kota di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, dan lain-lain.
 
Emil juga mengklaim pertumbuhan usaha kecil menengah (UKM) di Kota Bandung lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi secara nasional. Pertumbuhan UKM di Bandung mencapai 7,8 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,7 persen.
 
Capaian tinggi itu karena pemerintahannya masuk ke semua bagian bisnis UKM, yaitu hulu, menengah, dan hilir. Di sektor hulu, ada bank perkreditan rakyat (BPR) yang memberikan pinjaman kredit tanpa agunan, yaitu kredit Melati, yang merupakan akronim dari melawan rentenir. Ada enam ribu UKM yang telah menikmati fasilitas kredit sebesar Rp30 juta tanpa agunan.
 
Pemerintah Kota Bandung pun turut memfasilitasi pemasaran produk UKM pada sektor hilir. Misalnya, Pemerintah Kota mempopulerkan slogan Little Bandung untuk produk UKM yang dipasarkan di mancanegara. Produk-produk UKM jenis itu dipasarkan dengan memanfaatkan internet atau online. Facebook bahkan menjadikan Kota Bandung sebagai percontohan pemanfaatan media online untuk bisnis yang dikembangkan UKM.
 
Bandung, kata Emil, pun selangkah lebih maju daripada Jakarta dalam hal pembangunan sistem transportasi massal yang modern. Dia mencibir Jakarta yang masih berkutat dalam sengkarut moda transportasi bus Metro Mini, yang usang dan sering terjadi kecelakaan. Bandung sudah mengoperasikan busway, seperti Transjakarta di Jakarta, segera membangun light rail transit (LRT) dan cable car.
 
“Jadi, di Bandung sudah satu langkah lebih depan lagi mewujudkan transportasi modern yang baru," kata Emil di Istana Negara pada 23 Desember 2015.
 
Selanjutnya... Peluang Emil
 
Peluang
 
Sedikitnya ada delapan nama tokoh yang masuk dalam bursa kandidat gubernur Jakarta, antara lain, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Tri Rismaharini alias Risma (Wali Kota Surabaya), Sandiaga Uno (pengusaha, politikus Partai Gerindra), Tantowi Yahya (politikus/legislator Partai Golkar), Adhyaksa Dault (mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga), Yusril Ihza Mahendra (pengacara/mantan Menteri Hukum) dan HAM), Ganjar Pranowo (politikus PDIP dan Gubernur Jawa Tengah), dan Ridwan Kamil.
 
Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pernah mensurvei tingkat penerimaan publik pada kandidat-kandidat itu. Risma, menurut hasil survei itu, paling disukai publik. Sebanyak 85,54 persen responden akan memilih Risma jika dia mau menjadi calon gubernur Jakarta. Pada posisi kedua dan ketiga adalah Emil dan Ahok, masing-masing mendapatkan dukungan 85,02 persen dan 71,39 persen.
 
Tetapi Risma sudah tegas-tegas menolak untuk dicalonkan. Dia ingin berkonsentrasi memimpin Surabaya dan tak sedikit pun berpikir mencalonkan dalam Pilkada DKI. “Yang di sini (Surabaya) saja saya belum dilantik, kok, sudah mau ke Jakarta,” ujar Risma dalam konferensi pers di Surabaya pada Minggu, 14 Februari 2016.
 
Anggap saja Risma dicoret dalam bursa karena sudah terang-terangan menolak. Ada dua kandidat terunggul menurut survei, yakni Emil dan Ahok. Popularitas Ahok sebenarnya paling tinggi, tetapi kesukaan publik kalah daripada Emil. Ahok dinilai sebagai pemimpin yang blakblakan dan bahkan cenderung temperamental. Emil adalah pemimpin yang berwatak rendah hati, santun, kalem, namun cerdas dan telaten.
 
Pengamat politik pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menilai wajar hasil survei CSIS yang menempatkan elektabilitas Emil di atas Ahok. Karakter Emil bisa lebih diterima pemilih ketimbang Ahok, meski faktanya tak sedikit pula masyarakat yang mengapresiasi dan memuji gaya koboi Ahok.
 
Emil, kata Zuhro, juga sudah menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin di Bandung, misalnya, penataan kota, sistem transportasi, reformasi birokrasi, dan upaya pemberantasan korupsi. Itu adalah modal besar bagi Emil kalau memang berniat maju dalam Pilkada Jakarta.
 
“Ridwan Kamil bisa muncul sebagai lawan tanding yang setara kalau dia mampu menegaskan keberpihakannya dalam pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi Pemerintah Provinsi DKI,” kata Zuhro kepada VIVA.co.id pada Minggu, 28 Februari 2016.
 
Zuhro mengabaikan sedikit kapasitas Emil dalam hal mengatasi masalah besar dan utama di Jakarta, misalnya, kemacetan lalu lintas dan bencana banjir. Dia mengingatkan bahwa tak satu pun gubernur Jakarta, termasuk Joko Widodo alias Jokowi, yang dapat disebut berhasil mengatasi kedua masalah itu.
 
Menurutnya, kedua masalah itu memang masih menjadi pekerjaan besar, tidak hanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melainkan juga pemerintah pusat. Tetapi, katanya, “kedua isu tersebut tak perlu ditonjol-tonjolkan lagi karena tak akan mampu dibuktikan.”
 
Pada pokoknya, kata Zuhro, Emil layak diajukan sebagai calon gubernur Jakarta, sebagai penantang yang dianggap sebanding untuk Ahok. “Ridwan Kamil bisa dipromosikan sebaga cagub DKI bila ada koalisi partai politik yang serius mengusungnya.”
 
Peluang Emil, kalau pun memang bersedia mencalonkan, harus diusung partai politik atau gabungan partai politik. Kansnya kecil atau sulit kalau memaksakan maju melalui jalur perseorangan, terutama karena Ahok jauh lebih siap; sudah banyak komunitas masyarakat di Jakarta yang siap mendukung jika tak ada partai politik yang bersedia mencalonkan.
 
Masalahnya ialah belum ada satu pun partai politik yang secara terbuka atau terang-terangan siap mencalonkan Emil. Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai yang mengusung Emil di Pilkada Kota Bandung pada 2013, pernah menyatakan siap berkoalisi lagi di Jakarta. Tetapi itu baru sebatas ungkapan informal, bukan keputusan resmi masing-masing partai.
 
Ketua Partai Gerindra DKI Jakarta, Mohammad Taufik, menyebut sosok Emil mampu menyatukan partainya dengan PKS. "RK (Ridwan Kami) itu perekat semua partai," katanya di Jakarta pada 27 Januari 2016.
 
Ketua PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan partai itu, elektabilitas dan popularitas Emil mengunguli Risma maupun Ahok. Tetapi dia berharap ada partai lain, selain Gerindra, yang mau berkoalisi dan mengusung Emil.
 
Semua partai politik, kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), di Jakarta memang harus berkoalisi atau bergabung kalau mau mencalonkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Soalnya hanya PDIP yang memenuhi syarat seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, yaitu memiliki sedikitnya 20 persen kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu.
 
Ada 106 kursi di DPRD Jakarta. PDIP memiliki 28 kursi atau meraih 1,2 juta suara dalam Pemilu Legislatif tahun 2014. Partai Gerindra memiliki 15 kursi atau meraih 592 ribu suara. Sedangkan PKS memiliki 11 kursi atau memperoleh 424 ribu suara.
 
Partai Gerindra maupun PKS tak bisa sendirian mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Gabungan kedua partai itu memenuhi syarat minimum 20 persen kursi DPRD, meski belum mengungguli jumlah kursi PDIP. (umi)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya