Asa Negeri Antariksa

Ilustrasi negara Asgardia di antariksa
Sumber :
  • Asgardia/James Vaughan

VIVA – Akhir pekan lalu menjadi kabar gembira bagi kelompok pendukung Asgardia. Sehari sebelumnya, Jumat 10 November 2017, Asgardia telah meluncurkan satelit Asgradia-1 ke antariksa. Sorak sorai penonton dan gemuruh menjadi saksi peluncuran fondasi negeri di antariksa.  

Lama Menghilang, Asgardia Muncul dan Bikin Aturan Mirip WhatsApp

Satelit seukuran kubus kecil tersebut meluncur dengan menumpang roket Orbital ATK Antares dari Wallops Flight Facility NASA, di Virginia, Amerika Serikat. Peluncuran sempat dimundurkan sehari dari jadwal semula.

Asgardia dalam setahun terakhir ini memang menyita perhatian publik dunia. Asgardia memiliki ambisi menghadirkan negara mandiri pertama di luar Bumi, di antariksa.

Lebih dari 40 Ribu Orang Indonesia Jadi Pengikut Asgardia

Peluncuran Satelit Asgardia-1 disaksikan oleh Kepala Negara Asgardia, Igor Ashurbeyli beserta pejabat pemerintahan negara luar angkasa tersebut. 

Satelit berukuran 2,8 kilogram itu membawa muatan utama berupa hard disk berisi data file 18 ribu warga negara Asgardia, emblem, bendera serta konstitusi Asgardia. 

Asgardia: Kami Bertugas Melindungi Bumi

Walau satelit tersebut berukuran kecil, namun punya makna besar bagi Asgardia. Dengan meluncuranya satelit tersebut, maka Asgardia mengklaim resmi memiliki wilayah sendiri di luar Bumi. Negara Asgardia bisa dikatakan telah lahir. 

"Dengan senang hati, kami mengumumkan kerajaan antariksa Asgardia kini telah mendirikan wilayah kedaulatannya di antariksa," jelas Asgardia dalam pernyataan resminya, pekan lalu. 

Asgardia memang yakin dengan meluncurnya satelit itu, telah melahirkan negara pertama di antariksa. Sebab sejauh ini tidak ada yang menjejaki langkah tersebut. 

Bicara satelit Asgrardia-1, CNN menuliskan, satelit itu membawa data harian warga negara Asgardia, Asgardian, nama dan data Asgardian akan tetap tersimpan di memori satelit. Data itu akan dipasang ulang pada tiap satelit baru milik Asgardia yang diluncurkan. 

Untuk tahap pertama, sebelumnya satelit itu akan menampung 200 Kb data masing-masing 100 ribu Asgardian. Setelah itu akan menampung 200 Kb akan menampung data sekitar 400 ribu Asgardian dan data 100 Kb masing-masing sejuta Asgardian.   

Wujud negara Asgardia saat ini memang masih diwakili oleh satelit mini yang ada dalam kapsul antariksa Cygnus. Satelit mini itu merupakan langkah awal untuk misi besar Argardia membuat platform seperti kapal induk luar angkasa, yang nantinya bisa menampung jutaan orang. 

Jadi Asgardia menegaskan, mereka bukan ingin membuat menjajah planet, bukan ingin mengambil teritorial planet, yang jelas akan melanggar hukum luar angkasa internasional. 

Wahana ini akan berlabuh di Stasiun Antariksa Internasional pada Selasa pagi, 14 November 2017 waktu setempat. Di stasiun tersebut, satelit Asgardia-1 akan sabar menunggu untuk roket Orbital ATK yang akan menyelesaikan misinya mengirim pasokan ke stasiun antariksa tersebut. 

Dijadwalkan, sebulan berikutnya, wahana Cygnus akan melepaskan diri dan melepaskan diri dari stasiun antariksa dan akan mendaki ke titik yang lebih tinggi untuk menempatkan satelit Asgardia-1 di orbit. 

Setelah berada di titik yang direncanakan, Satelit Asgardia-1 akan diaktifkan, sekaligus menandai awal dari era baru kewarganegaraan luar Bumi. 

Satelit Asgardia-1

Satelit Asgardia-1

Belum diakui

Bicara keseriusan Asgardia untuk mewujudkan ambisi menjadi negara di antariksa, sudah beragam langkah disiapkan. Pengelola Asgardia sudah melahirkan beberapa kebutuhan untuk pendirian negara. Warga negara sudah dibuka dan sudah ada 113.459 penduduk dunia mendaftarkan diri menjadi warga negara Asgardia atau disebut Asgardian. Asgardia sudah memiliki bendera, emblem, pemerintahan, konstitusi sampai lagu kebangsaan. 

Bisa dilihat, untuk pemerintahan yang mengelola negara, Asgardia telah membentuk lembaga pengelola negara Asgardian sudah yakni Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Ilmu Pengetahuan, Kementerian Informasi dan Komunikasi, Kementerian Kehakiman, Kementerian Kewarganegaraan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan dan Pemuda, Kementerian Keamanan dan Keselamatan, Kementerian Sumber Daya Daya dan Kementerian Sekretariat Negara. 

Kemudian yang terbaru, sejak September 2017, Asgardia sedang menyiapkan pemilu parlemen.

Asgardia juga digawangi sejumlah pakar dari lintas bidang yang ingin memuluskan langkah negara pertama di antariksa. 

Selain sang kepala negara, Ashurbeyli yang juga komite antariksa UNESCO, ada juga David Alexander (Direktur Space Institute Rice University, AS), Ram Jakhu (Direktur Institute of Air dan Space Law McGill University, Kanada), Joseph N. Pelton  (Direktur Space and Advanced Communications Research Institute (SACRI), George Washington University, AS) sampai Dumitru-Dorin Prunariu (Kosmonot Rusia).

Setidaknya jika merujuk pada hukum internasional, langkah Asgardia sudah pada jalur untuk mendirikan sebuah negara. Sesuatu aturan internasional. kriteria khusus untuk diakui sebuah negara yakini punya wilayah, populasi dan diakui bangsa oleh bangsa lain. 

Untuk poin ketiga, sampai saat ini belum terdengar Asgardia mendapat pengakuan resmi dari negara maupun lembaga negara di Bumi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan wadah bagi negara di Bumi, sejauh ini belum mengakui Asgardia. Sebab, definisi negara yang diusung Asgardia mustahil untuk membawa manusia secara fisik ada di luar angkasa dalam jangka panjang.

Asgardia tak peduli dengan suara-suara yang melemahkan tersebut. Ashurbeyli mengatakan, Asgardia akan mengajukan pengakuan sebagai entitas negara kepada PBB pada 2018. 

Jika Dewan Keamanan PBB menyetujui permohonan tersebut, ujar Ashurbeyli, maka dua pertiga dari anggota Majelis Umum PBB harus menyuarakan sikapnya dengan hadirnya Asgardia.

Untuk menghadapinya, Ashurbeyli menegaskan, Asgardia akan berdinamika seperti negara pada umumnya. 

"Kami harus seperti negara yang normal. Semua negara memiliki masalah dan segera kami akan mengalami masalah yang sama. Tapi kami akan lebih dari sekadar negara normal, sebab kami tidak berada di Bumi," ujarnya.

Para pakar hukum antariksa juga menegaskan, tidak mudah untuk mendirikan negara di luar angkasa. Pakar sangsi bagaimana Asgardia akan menyelesaikan persoalan misalnya kewarganegaraan, sampai pelanggaran hak cipta Satelit Asgardia-1.

Belum lagi, negara baru ini perlu menyelesaikan persoalan hukum di luar Bumi, yang tercakup dalam The Outer Space Treaty atau Traktat Luar Angkasa yang berlaku pada 1967. Traktat ini menjadi dasar hukum luar angkasa. 

Perjanjian yang telah ditandatangani 102 negara per Mei 2013 itu mengatur eksplorasi area luar angkasa hanya untuk tujuan damai, bukan untuk kepentingan militer atau percobaan senjata. 

Traktat ini secara jelas juga melarang klaim negara di Bumi atas benda langit, Bulan dan lainnya. Objek langit adalah warisan bersama untuk manusia. 

Soal bagaimana nanti pembangunan negara Asgardia memang masih abu-abu, masih perlu pembuktian.

Pintu terbuka

United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA), lembaga yang berwenang untuk mengatur isu luar angkasa, belum lama ini menyikapi munculnya gagasan negara Asgardia. Lembaga ini membuka peluang untuk pembahasan perkembangan antariksa. 

"Traktat Luar Angkasa melarang penggunaan Bulan dan benda langit lainnya. Jadi terserah kepada masyarakat internasional, khususnya negara pihak dalam traktat ini, untuk membahas traktat ini," jelas Direktur UNOOSA, Simonetta Di Pippo, dalam sebuah SpaceWatch Middle East di Dubai belum lama ini dikutip dari Spacewatchme.com. 

Di Pippo mengatakan, UNOOSA bersama dengan negara anggota Komite Pemanfaatan Luar Angkasa untuk Tujuan Damai (CUPUOS) membuka pintu untuk pembahasan hukum luar angkasa dengan menimbang perkembangan dan tantangan baru. 

"Dengan dukungan UNOOSA dan negara anggota CUPUOS mempertimbangkan perspektif hukum antariksa internasional saat ini dan masa depan di bawah isu prioritas," jelasnya. 

Dia berpandangan, tantangan yang dihadapi manusia dalam relasi luar angkasa ke depan yakni banyaknya entitas negara yang eksplorasi dan hadir dalam ruang angkasa. Untuk itu, CUPUOS dan UNOOSA menyediakan forum internasional untuk mendiskusikan praktik terbaik penggunaan luar angkasa yang damai dan kooperatif. 

"Beberapa tantangan utama yang dihadapi komunitas antariksa global yakni memungkinkan kerja sama dengan peningkatan jumlah aktor di antariksa, memfasilitasi akses terbuka dan adil negara baru dalam antariksa dan sektor swasta dalam akses data antariksa untuk penerapan di Bumi," ujarnya.

Selain itu, Di Pippo mengatakan, institusinya terbuka untuk membahas topik definisi dan batasan luar angkasa, penggunaan sumber daya nuklir di antariksa, keamanan, keselamatan dan keberlanjutan pedoman mitigasi puing sampah antariksa. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya