"Matah Ati": Cinta di Panggung Miring

Pertunjukan tari "Matah Ati"
Sumber :
  • Bonardo Maulana/VIVAnews

VIVAnews - Jay Subiyakto tahu cara mengemas pementasan menjadi suatu peristiwa. Dengan kecakapan menerjemahkan gagasan sekaligus visi tajam, ia tak ragu mengubah panggung 'tradisional' menjadi lebih kompleks dan berdimensi majemuk. "Usaha keras perlu bagi pentas yang bagus,"  tukasnya.

Kejeliannya menyiasati ruang dapat Anda nilai pada pertunjukan tari "Matah Ati" yang akan berlangsung pada 13-16 Mei, 2011, pukul 20.00 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bermakna secara harfiah "melayani hati sang pangeran," naskah "Matah Ati" serta koreografi tari dikerjakan oleh Atilah Soeryadjaya, cicit Sultan Mangkunegara VII. 

Jika maestro penataan artistik pentas Indonesia, Rudjito, menganggap bahwa sederhana itu indah, Jay agaknya memilih menjauh dari pandangan itu. Kompleksnya tata panggung garapannya mensyaratkan presisi tinggi seorang tukang dan perhitungan matang seorang dokter. Dan demi memberikan penekanan kuat pada sisi artistik, ia menyiapkan instalasi tak kalah memikat demi mengisi panggung. Kematangan rancangan lantas menghasilkan sebuah panggung yang teramat berwarna, seperti karnaval. 

Pada awalnya, sang koreografer Atilah bimbang dengan ide yang Jay sampaikan. Syahdan, Jay mengunjungi Solo demi menyaksikan para penari Atilah mementaskan repertoar yang berkisah tentang kisah cinta Raden Mas Said dan Rubiyah. Ia terkesan dengan penampilan lebih dari 60 orang penari pada panggung. "Tapi, kalau bidang yang mereka pakai menari datar, penonton takkan bisa melihat konfigurasi penari dengan baik," kata Jay. 

Karena itu, ia terpikir menciptakan panggung yang bisa menonjolkan sisi kemiringan sonder mengorbankan keselamatan pementas. Demi mendapatkan yang ia mau, ia menyiapkan bidang dengan kemiringan 15 derajat yang terbuat dari stainless steel. "Saya terkesan dengan motif trapesium yang terdapat pada batik tradisional Blumbangan," Jay mengungkapkan semalam, 12 Mei. Tentu saja, hal yang di luar kebiasaan itu memercikkan sedikit kekhawatiran. Mengeksplorasi gerakan pada bidang miring butuh ketelatenan sempurna.  

Hasilnya, bisa diukur setidaknya tadi malam. Para pelakon terlihat telah terbiasa dengan keadaan 'genting' itu, yang tak lain merupakan buah dari latihan selama lebih dari dua tahun. 

Di luar pencapaian teknis, panggung miring secara simbolis punya kaitan kuat dengan narasi "Matah Ati." Seperti dituliskan oleh Atilah, naskah bercerita tentang perjalanan Raden Mas Said, yang begitu banyak diingat sebagai Pangeran Samber Nyawa, mendapatkan seorang gadis asal Desa Matah bernama Rubaiyah. Mas Said dilukiskan sebagai pahlawan gagah berani dari Solo abad ke-18. Sementara sang gadis merupakan penari terampil yang, pada saat tertentu ketika mesti ikut berperang, sontak 
berubah cekatan pada waktu melepaskan anak panah.

Di rentang waktu yang panjang - antara berkasih-kasihan serta berperang - simpul cinta yang membuhul mereka kian kuat. Dan tentunya, hal itu tidak didapatkan dengan gampang. Meski di pertempuran penghabisan mereka menang, namun banyak korban dari pihak VOC justru berdarah pribumi. Strategi kaum kolonial dengan menerapkan politik pecah-belah berakhir pada kematian saudara-saudara mereka. Pada akhirnya Mas Said dan Rubaiyah, yang kemudian bergelar Matah Ati, memang menyatu. Namun upaya mendulang asmara itu seperti menari di bidang miring: harus penuh perhitungan dan hati-hati jika tak ingin terluka.

Dewas KPK Gelar Sidang Etik Nurul Ghufron 2 Mei terkait Dugaan Penyalahgunaan Wewenang
Neta L

Neta Pamer Mobil SUV Baru Rp200 Jutaan

Neta, pabrikan mobil listrik asal China, memperkenalkan empat model Neta L di pasar domestiknya. SUV berdesain modern ini menarik perhatian dengan teknologi canggih dan j

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024