- Instagram @therealdisastr
VIVA – Industri perfilman terus berkembang, genre film yang ditawarkan di bioskop juga semakin beragam. Bahkan, jumlah jaringan bioskop saat ini juga semakin banyak, meski belum bisa mengimbangi jumlah sebaran penduduk di seluruh Indonesia.
Beda generasi beda zaman, mereka yang pernah merasakan industri perfilman zaman dulu ataupun mereka yang sudah terjun di dunia perfilman, akan tahu betul bagaimana berbedanya industri film dulu dan sekarang.
Dalam acara Line Creativate 2018 dengan tema The Reformation of Indonesian Film, di Senayan City, Jakarta Selatan, Minggu 18 November 2018, Meiske Taurisia dari Palari Films, Putrama Tuta, sutradara film, dan Emir Hakim produser, membagikan pandangan mereka akan dunia perfilman Indonesia saat ini dan bedanya dengan zaman dulu.
Jumlah layar
Putrama Tuta, sutradara film A Man Called Ahok, menyebutkan bahwa jumlah layar saat ini dibanding 20 tahun lalu sudah bertambah cukup banyak.
"20 tahun lalu cuma 35 layar, sekarang 1.600 layar. Makanya, mencapai satu juta (penonton) atau lebih enggak cuma eksklusif 1-2 film."
Kreativitas tak terbatas
Berbeda dengan zaman dulu yang masih menggunakan seluloid, sehingga kreativitas sutradara dibatasi, saat ini sutradara bisa mengembangkan imajinasi tanpa batas.
"Dulu, setiap sutradara lebih terbatas ruang kreatif, terbatas amunisi, sekarang lebih digital, sutradara punya ruang lebih banyak buat eksperimen," ujar Tuta.
Produk turunan
Film sekarang tak terbatas hanya karya yang dinikmati di bioskop saja, karena banyak produk turunannya yang membuat keberadaan sebuah film kini terlihat lebih hidup.
"Misalnya, satu film kayak Aruna (Dan Lidahnya), kita membuat program travelling kuliner ala Aruna dan Lidahnya, AADC 2 juga. Filosofi Kopi ada coffee shop-nya. Saya rasa, yang berbeda enggak cuma produk film saja, tapi ada merchandise, bukunya. Produk turunan ini yang menurut saya, menarik. Istilah kita intelectual property," tutur Meiske.