Solusi Kelebihan Kapasitas di Lapas Dengan 'Restorative Justice'
- ANTARA FOTO/Novrian Arbi
VIVA – Persoalan over capacity (kelebihan kapasitas) yang terjadi di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia telah menjadi persoalan yang berkepanjangan, seperti halnya hari ini dalam pertemuan Komisi III DPR RI dengan Kementerian Hukum dan HAM, Serta Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Dari hasil yang dipaparkan Kakanwil Sulsel Liberti Sitinjak, Total Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) per 5 oktober 2022, sebanyak 10.649 orang, padahal total kapasitas penghuni hanya 6.145 orang.
Dari data tersebut, Lapas dan Rutan di Makassar mengalami over kapasitas sebanyak 73,29 persen. Penghuni terbanyak yakni dalam kasus Narkotika. Melihat kondisi seperti itu, Anggota Komisi III DPR RI Heru Widodo menyarankan agar institusi penegakan hukum dapat memberikan jalan keluar untuk menegakkan restorative justice kepada pengguna narkoba dengan rujukan rehabilitasi.
“Saya mendorong institusi penegakan hukum agar dapat memberikan restorative justice (RJ), kepada pemakai narkoba. Ditekankan kembali bahwa yang bisa mendapatkan (RJ), dalam konteks pengguna narkotika hanya khusus pemakai saja yang rujukannya adalah rehabilitasi, melalui proses assessment, bisa dilihat dari kehidupan sosialnya, keluarga, maupun latar belakang,” demikian dikatakan Heru usai melakukan pertemuan di Ruangan Pertemuan Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Selasa, (11/10/2022).
Lanjut Politisi Fraksi PKB ini mengatakan dalam proses pemberian (RJ) kepada pengguna narkoba, tidak dengan mudah harus melalui beberapa tahap assessment, melihat latar belakang dan kehidupan sosialnya, keluarga maupun lingkungan pertemanan yang dilakukan oleh pihak penegakan hukum.
"Setelah dilakukan semua tahapannya, baru adanya pertimbangkan khusus untuk kasus tersebut apakah bisa di rehabilitasi. Keputusan tersebut diberikan melalui tahap selektif, objektif, serta teliti apakah nantinya pemakai berhak diberikan (RJ) semua ada proses," sebut Heru.
Menurutnya, RJ bisa menjadi salah satu solusi menekan angka kelebihan kapasitas tersebut.
"Dengan demikian institusi penegakan hukum, harus teliti apakah orang tersebut masuk dalam kategori sebagai pengguna, ataukah sebagai pengedar atau bandar. Tentunya dalam assesment-nya bisa dibedakan jika pengedar atau bandar tindakanya adalah pidana dan tidak bisa sebagai (RJ),” tambahnya lagi.
Seperti diketahui, RJ, bisa digunakan untuk kasus-kasus yang sebetulnya sifatnya ringan, hukuman dibawah lima tahun serta jumlah kerugian tidak besar. Konsep restorative justice ini adalah, penyelesaian sebuah perkara tanpa melalui sebuah proses persidangan, lebih mengedepankan pada dialog, musyawarah dan pengambilan solusi melalui perdamaian.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan R. Febrytrianto menjelaskan adanya RJ, dimana peraturannya tertuang pada Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020 dimana disitu diatur syarat-syarat dalam pemberian (RJ) antara lain tersangka baru satu kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman lima tahun kebawah, selain itu juga jika itu persoalan penganiayaan harus ada perdamaian antara kedua belah pihak tanpa syarat.
Kemudian kerugian tidak terlalu besar, itu adalah salah satu syarat formil yang harus dipenuhi. Jadi itu perkara-perkara yang diserahkan oleh polisi, kejaksaan terus dilakukan perdamaian, jika semua terpenuhi maka perkara itu bisa dihentikan penuntutannya jadi SKP2 (Surat ketetapan Penghentian Penuntutan).
“Untuk menghentikan perkara itu dengan (RJ), dari kejaksaan negeri harus mendapat persetujuan dari kejaksaan tinggi. Kemudian kejaksaan dengan kejari ekspos pidana umum untuk mendapatkan kepastian itu disetujui atau tidak, jadi prosedurnya begitu Panjang dilakukan,” ucapnya.