RUU Kesehatan Dinilai Akan Mengintervensi BPJS

Ilustrasi kartu BPJS resmi
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA – Penolakan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (RUU Kesehatan) Omnibus Law yang telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2023 terus datang dari berbagai pihak.

Panduan Singkat Terlindungi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian BPJS Ketenagakerjaan

Salah satu hal yang disoroti adalah RUU Kesehatan Omnibus Law ini akan merubah kedudukan BPJS yang semula berada di bawah presiden menjadi di bawah Kementerian. 

BPJS Kesehatan disebut akan berada di bawah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di bawah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

Di Universitas Harvard, Dirut BPJS Kesehatan Ungkap Jurus Capai UHC dalam 10 Tahun

"BPJS itu tidak hanya kesehatan kok yang ngatur RUU Kesehatan. Kedua, ini dananya dana peserta, kok dikelola secara kelembagaan harus laporan pertanggungjawaban di bawah Kementerian (Menkes). Yang sekarang, BPJS Kesehatan pertanggungjawabannya ke Presiden," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam diskusi publik Urgensi RUU tentang Kesehatan di DPP PKB (17/2).

Ghufron menambahkan, BPJS yang mengelola berbagai program jaminan kedudukannya sudah sesuai di bawah Presiden seperti saat ini, hal tersebut sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 45) dan diterjemahkan dengan UU Nomor 40 tentang SJSN dan diperkuat badannya melalui UU 24 tentang 2011 tentang BPJS.

Pasien Imunodefisiensi Primer Minta Pemerintah Masukkan Terapi IDP ke dalam Formularium Nasional

"BPJS itu tidak hanya kesehatan, BPJS ini termasuk untuk jaminan kematian, JHT, kecelakaan. Jadi semua jaminan. Jadi di sini pertanyaannya agak sedikit aneh ya, berbagai macam jaminan dan berbagai kementerian ikut terlibat tapi kok masuknya di omnibus law kesehatan," lanjutnya.

Sejalan dengan itu, penolakan juga datang dari Ketua Exco Partai Buruh Provinsi Sumatera Selatan Ali Hanafiah, dirinya menolak keras wacana perubahan kedudukan BPJS tersebut. 

"Kami menolak keras BPJS di bawah Kementerian, di seluruh dunia tidak ada namanya jaminan sosial (BPJS) itu di bawah menteri, seluruh lembaga BPJS di seluruh dunia itu di bawah presiden atau perdana menteri, jadi di bawah langsung kepala pemerintahan," ungkap Ali saat agenda rapat Konsolidasi Persatuan Buruh Indonesia Sumatera Selatan di Duta Hotel Palembang (18/2).

Ali menyebut alasannya menolak wacana tersebut, lantaran selama ini iuran BPJS berasal dari akumulasi dana publik. Buruh membayar iuran sebesar 1 persen dan pengusaha 4 persen, sehingga akumulasi uang di BPJS Kesehatan bukan milik pemerintah.

Dirinya melanjutkan, menteri memiliki status sebagai pembantu presiden sehingga tidak punya kapabilitas untuk mengatur pengelolaan dana publik dalam BPJS. Oleh karena itu, menurutnya, menteri tidak boleh mengelola dana publik karena itu merupakan penyalahgunaan wewenang dan jabatan.

"Jadi kalau sampai BPJS di bawah menteri, dengan kata lain, ini abuse of power (penyalahgunaan wewenang jabatan). Kemudian, dalam UU BPJS, Dewan Pengawas (Dewas) BPJS itu disebut wali amanah, nah kalau wali amanah itu nggak boleh di bawah seorang menteri, Dewas itu harus independen," tegas pentolan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Sumsel ini.

Lebih dalam, hal senada disampaikan Ketua Korwil KSBSI Sumut Ramlan Hutabarat. Menurutnya, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan harus dikelola dengan profesional, demokratis, transparan, dan akuntabilitas. 

Ia menjelaskan para buruh khawatir terkait perubahan wacana tersebut. Hal itu didasari karena mereka khawatir wacana tersebut bakal berimbas kepada penurunan kualitas pelayanan dan rentan mengalami intervensi dan menambah birokrasi.

Ramlan meminta agar pemerintah jangan coba-coba mewacanakan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan menjadi BUMN, karena dana yang dikelola dalam penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan adalah dana swadaya masyarakat, khususnya dari buruh dan pengusaha.

"BPJS berpotensi mendapat penugasan sesuatu (dari kementerian) yang berpotensi merugikan dana kelolaan masyarakat, seperti menempatkan ke instrumen investasi yang tidak menguntungkan. Atau, penugasan kementerian yang membuat pelayanan kepada warga/pekerja menjadi tidak terfokus. Sehingga kami sebagai serikat buruh menyarankan kepada pemerintah tetap fokus pada UU N0. 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU N0. 24 Tahun 2011, Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial," tutupnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya