Logo DW

Melongok Penangan dan Reaksi Berantakan COVID-19; Berkaca dari Perspektif Sejarah

Angka tersebut adalah rekor kasus positif di Indonesia, dan niscaya tidak akan bertahan lama mengingat kurva kasus Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Hal ini sama sekali tidak meningkatkan rasa percaya masyarakat terhadap anjuran untuk menyambut relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan “New Normal” alias tatanan baru yang didengungkan pemerintah belum lama ini.

Angka ribuan ini tak boleh sekadar dibaca sebagai statistik, namun sebuah nyawa dengan ceritanya masing-masing. Entah sejauh mana perjalanan hidup mereka sampai ke titik tersebut, jelasnya terinfeksi Covid-19 adalah titik nadir. Pilihannya dua, dan tidak ada yang enak. Antara meninggal dan dikuburkan dalam kesunyian atau sembuh dan harus beradaptasi dengan gaya hidup baru. Lebih mengerikannya lagi, proses infeksi agaknya akan terjadi pada kita semua cepat atau lambat mengingat pemerintah kita masih menerapkan strategi defensif untuk melawan Covid-19.

Perlu diingat, lonjakan kenaikan angka infeksi tersebut adalah tangkapan dari dua minggu silam merujuk pada margin aman yang dianjurkan untuk memantau kemunculan pertanda jika seseorang terinfeksi. Apa yang terjadi kurang lebih dua minggu silam? Perayaan Lebaran, yang memicu pergerakan masif manusia untuk berbelanja ke pasar dan toko-toko pakaian, juga silaturahmi dengan kerabat terdekat, bahkan mudik ke pelosok daerah. Rutinitas harian penyampaian informasi Covid-19 kita sejatinya adalah pembacaan terhadap gejala sejarah, dan sebagaimana sejarah kerap diperlakukan pada umumnya, ia kerap dihiraukan.

Ini menjadi fatal ketika terjadi dalam masyarakat yang abai akan masa lalu. Seharusnya kini kita dalam posisi lebih waspada, bukan bersantai-santai melihat “New Normal” sebagai tanda bahwa situasi mulai terkendali. Wabah kerap datang secara bergelombang dan menghantam lebih keras daripada sebelumnya. Covid-19 dan wabah-wabah lain di masa lalu memang tidak persis serupa, namun pola dan dinamika fenomenanya mirip. Perspektif dan kemampuan berpikir sejarah tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari solusi untuk menangani Covid-19.

Wabah dan Amnesia Kita

Cukup mengejutkan melihat dunia telah berubah begitu cepatnya. Pada Januari 2020 kata “Covid-19” belum eksis dan kini dunia seakan sudah terbagi dalam narasi periodik sebelum Covid-19 dan setelah Covid-19. Istilah-istilah baru semacam “Work From Home”, “Social Distancing”, “Karantina”, sudah menjadi bahasa awam. Bahkan benda-benda yang sebelumnya tidak digunakan secara meluas seperti hand sanitizer dan masker wajah telah menjadi kebutuhan primer. Alat-alat kesehatan semacam ventilator dan hazmat suit kini menjadi barang esensial untuk melindungi dari ancaman kematian.

Ada banyak cara untuk melawan wabah. Mulai dari kebijakan pemerintah yang terukur, pemenuhan logistik alat-alat kesehatan dan riset-riset medis, sampai pengerahan rantai komando sosial masyarakat untuk mencegah penularan lebih luas. Namun, kita sebenarnya juga memiliki sejarah sebagai alat untuk memahami dan mencegah wabah. Terlebih di Indonesia, yang secara historis merupakan wilayah dengan lalu lintas perdagangan samudra yang padat. Bukan hanya barang-barang dan gagasan-gagasan dari berbagai macam tempat yang masuk ke sini; kuman, bakteri, dan virus pun ikut tiba tanpa diundang.