Alangkah menyedihkan melihat wajah Indonesia ternoda ketidakberesan DPT dan penggelembungan suara, penyontrengan lebih dari dua kali, dan lain-lain yang terkuak seusai pilpres pada 8 Juli lalu. Mereka yang mengaku-ngaku pembela demokrasi dan HAM, mengebiri ucapan mereka sendiri. Demi kekuasaan, politisi memperlihatkan moralitas yang buruk.
Perbuatan tidak terpuji ini menimbulkan keragu-raguan kita semua terhadap legitimasi hasil pemilu. Mana mungkin pemerintah baru mendatang dapat membangun pemerintahan yang bersih untuk rakyat, jika kekuasaan yang diperoleh cacat hukum atau tanpa moralitas yang tinggi.
Keterangan – keterangan dari masyarakat antara lain menyebutkan adanya ketidakwajaran secara sistemik di berbagai TPS di seluruh Tanah Air. Kejadian semacam ini sulit dijadikan kepercayaan masyarakat terhadap kelangsungan demokrasi kita. Bagaimana tidak?
Semua pelanggaran kampanye pemilu, dana kampanye, dan kasus sosialisasi spanduk KPU dan daftar pemilih tetap (DPT) ternyata masih bermasalah. Kita khawatir oknum – oknum KPU dan KPUD tidak netral (the man behind the gun). Perbuatan tercela ini seolah – olah memasang dinamit di fondasi sistem demokrasi yang sedang kita bangun sendiri.
Politisi kita berjiwa kerdil. Tak pantas diperdebatkan seberapa besar pelanggaran pilpres berdampak pada perubahan hasil perolehan suara, pasangan capres – cawapres. Apa yang diinginkan rakyat pemilih adalah pilpres yang tak mewariskan perbuatan tercela. Idealnya, Presiden terpilih diharapkan dari sosok pemimpin yang bermoral dan bermutu tinggi.
Maka, untuk mempermudah tugas Panwaslu dan Bawaslu serta aparat hukum, ketiga pasangan capres –cawapres menghentikan semua kegiatan penggalangan (fungsi – fungsi intelijen : penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan). Penggalangan (conditioning) ini biang kerok wajah pemilu ternoda. Penggalangan hanya dikenal di negara totaliter, bukan di negara demokrasi.
Membiarkan pemilu tak bermoral dan berkeadilan, dapat menimbulkan pertikaian dan precedent hukum yang buruk bagi pemilu 2014 mendatang. Bila dianggap perlu, pemilu pilpres ini diulang saja. Karena apa? Ketidakadilan berarti ketiadaan demokrasi.
Jadi, apa pun alasannya, jangan lanjutkan warisan (legacy) pelanggaran pemilu sekecil apapun pidananya terhadap bangsa ini, terutama terhadap generasi muda. Dalam hukum pidana, yang dihukum adalah perbuatan, sekali lagi perbuatan.
Dalam mitologi cerita Ramayana dan Mahabrata, hidup ini sebagai pertarungan antara kekuatan khaos (kurawa) dan ketertiban (pendawa). Dalam Mahabrata, Kurawa memiliki kesombongan, nafsu-nafsu, menghalalkan segala cara. Sebaliknya, Pendawa berpihak pada sifat keluhuran, kebaikan, keadilan dan semacamnya. Sosok tipe Pendawa itulah diharapkan muncul pada pilpres ini.
Tangerang, 10 Juli 2009
Harrison Papande Siregar
Penulis Harrison Papande Siregar-Mahasiswa UI-FISIP jurusan Adm. Negara
VIVA.co.id
23 April 2024
Baca Juga :
Komentar
Topik Terkait
Jangan Lewatkan
Terpopuler
Selengkapnya
VIVA Networks
Untuk mempermudah pengguna Suzuki Jimny 5 pintu melakukan modifikasi, PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) menawarkan obat ganteng, atau aksesori pabrikan untuk Jimny 5 pintu
Benarkah Insecure Dosa? Begini Kata Habib Jafar
Sahijab
sekitar 1 bulan lalu
Istilah "insecure" erat kaitannya dengan tingkat percaya diri seseorang, yang merupakan perasaan yang dapat berubah sesuai dengan situasi yang dialami. Apakah ini dosa?
Cara membuat obat herbal yang efektif untuk meredakan batuk dan sesak, alternatif yang lebih alami serta ramah bagi tubuh dibandingkan jenis obat yang dijual di pasaran..
Beredar Undangan Diduga Resepsi Happy Asmara Dan Gilga Sahid Usai Kabar Nikah Siri
JagoDangdut
sekitar 1 jam lalu
Gilga Sahid sempat membuat heboh dengan pernyataannya di depan publik saat manggung bersama Happy Asmara. Gilga pede menyebut Happy sebagai istri di depan umum
Selengkapnya
Isu Terkini