Cara Sobey Memandang Mata Rumah

Seorang lelaki paruh baya gegas berjalan. Perawakannya biasa untuk ukuran pribumi Papua. Kulitnya legam berkilat peluh berbutir-butir di sekujur tubuh. Langkahnya mantap dibalut boot hutan dengan parang di tangan.

Ia mengejar waktu untuk tepat hadir di pertemuan. Dia adalah Johanis dari fam Sefa, orang Sobey, suku terbesar pesisir utara di kabupaten Sarmi, Papua.

Dengan parangnya, ia tidak terlihat akan berperang. Tidak juga sebagai ahli perang, tapi lebih terlihat sebagai organisator.

Ia kumpulkan orang-orang muda, rata-rata umur dua puluhan tahun, seusia anaknya yang tertua. Semua bersenjata parang dan memakai boot.

Anak, keponakan, dan saudara, ia kumpulkan untuk sebuah acara adat keluarga. Pemberitahuan Mata Rumah. Mata Rumah bagi orang Sobey adalah pengetahuan yang mesti dilanjutkan mengenai batas-batas rumah atau tanah.

Bukan hanya batas, tapi mengalir pengetahuan tentang kebajikan hubungan tanah dengan manusia. Bagaimana harus bersikap dan mengelola tanah sebagaimana moyangnya ajarkan.

Sebagai yang tertua dan dianggap mewakili famnya, prosesi Mata Rumah pun dimulai. Dari tempat berkumpul, mereka menuju lokasi tanah fam di daerah Pasar Baru, sekira 7 kilometer  Tenggara kota Sarmi.

Sesuai dengan keputusan tetua terdahulu, kembali batas-batas tanah diberitahukan. Mana batas kepemilikan keluarga, mana wilayah bersama yang tidak boleh dialihfungsikan untuk soal apapun. Setiap yang hadir harus betul-betul mengingat.  Budaya lisan ini masih jadi pegangan. Tak banyak yang mencatat, hanya mengandalkan ingatan.

Konflik tanah antarkeluarga, antarfam, bahkan antarsuku, memang menjadi isu sentral di Papua, juga di Sarmi. Johanis paham betul dengan kondisi itu.

Keengganan keluarga untuk melegalisasi dengan sertifikasi tanah adat miliknya menjadi persoalan tersendiri, terutama rawan klaim dari keluarga lain. Terlebih hampir tidak ada satu pun dokumen tertulis mengenai batas-batas kepemilikan tanah.

Karena itulah, Johanis dengan inisiatif dan didukung famnya melanjutkan tradisi meneruskan informasi Mata Rumah dan menceritakan ihwal moyangnya menggarap tanah.

Prosesinya sederhana. Diawali dengan cerita sejarah moyangnya tiba di Sarmi. Kemudian bagaimana mereka membuka hutan dan menjadikannya kebun untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Dilanjutkan menceritakan secara lengkap silsilah siapa pemilik awal petak dan mana saja batas-batasnya. Setiap keluarga dari fam Sefa mempunyai cara sendiri untuk menandai batas, jadi mereka tidak lagi bingung..

Prosesi dilanjutkan ke acara pokok mengenali secara langsung tanah keluarga mereka dan batas-batasnya. Apa yang ada di tanah itu harus mereka pahami, termasuk apa yang akan menjadi persoalan.

Dan siang itu, dengan parang di tangan, mereka mulai menggarap lahan keluarga masing-masing. Ica, anak Johanis ikut pula dalam prosesi itu. Tak ada yang istimewa dalam perlakukan, juga bagi Ica. Semua sudah ditentukan tete (kakek) dan bapaknya. "Kita ikut saja apa keputusan Bapak, karena kita yakin itu yang terbaik dan di kemudian hari tak bermasalah,” kata Ica.

Ada banyak anggapan tentang tanah. Begitu juga bagi orang Sobey. “Menggarap tanah adalah hal penting. Memberi nilai pada tanah. Prosesi ini di mulai dari kerja,” ujar Johanis.

Begitulah awal mula kepemilikan tanah adat. Siapa yang pertama berbuat pada tanah, maka ia lah pemilik tanah itu. Tidak dengan jalan peperangan, tapi cukup dengan menanaminya.

“Keluarga kami diuntungkan karena dulu rajin berkebun. Tanah tete yang sekarang dimiliki generasi saya dan anak-anak adalah hasil kerja dan mengelola tanah di Sarmi. Fam lain pun mengakui itu. Jadi jangan harap ada yang berani datang dan mengaku miliki tanah di sini. Harus dirunut sejarahnya tete mereka pernah punya kerja apa disini!” tambah Johanis yang sehari-hari bekerja sebagai kepala Dinas Perindag di Pemkab Sarmi.

Jauh di masa silam, dengan luas 17.740 kilometer persegi wilayah Sarmi, penguasaan lahan dari dulu tidak pernah jadi masalah. Begitupun harmonisasi antara lima suku besar yang mendiaminya, Sobey, Armati, Runungway, Minirem, dan Isirawa,

Dengan banyaknya aliran sungai dan curah hujan yang cukup, hampir seluruh wilayah pesisir bisa ditanami. Menguntungkan bagi suku yang menggantungkan hidup dari berkebun.

Pascapemekaran daerah lima tahun lalu, Sarmi mulai berbenah dan berubah. Pembangunan fisik digencarkan. Tapi sedikit saja menyentuh persoalan pembangunan non-fisik kelima suku itu.

Terlebih munculnya oligarki kekuasaan di luar suku yang memegang kendali atas aset-aset daerah, kelima suku ini hanya menikmati sisa-sisa kue pembangunan saja. Itu pun seolah hanya pemberian cuma-cuma, bukan melalui kerja dan karya sebagai bentuk kemandirian suku. Ironis sekaligus dilematis bahwa pembangunan malah menidurkan kembali masyarakat adat.

Seiring modernisasi dan makin kompleksnya persoalan di Sarmi, kebutuhan pun ikut berubah. Perilaku konsumtif makin tak terkendali. Hukum besi pasar mulai terasa di masyarakat.

Sayangnya, perubahan ini tidak diikuti oleh menguatnya tatanan adat, lembaga adat malah justru melemah. Soal kelembagaan adat memang jadi persoalan tersendiri yang memiliki sejarah berliku.

“Pascareformasi, maraknya pendirian dewan adat tidak dibarengi oleh kemampuan tokoh adat untuk menyelesaikan masalah kami. Dalam menyelesaikan konflik-konflik berlatar adat dan budaya, mereka sering alpa menengahi. Padahal persoalan dan kebutuhan kami semakin bertambah dan kompleks,” ungkap Johanis.

Senada dengan Johanis, banyak akademisi  menilai persoalan konflik di Papua bukan hanya soal identitas suku atau konflik yang lebih ideologis. Kebutuhanlah yang sekarang ini banyak menjerat masyarakat mencari jalan mudah dengan cara menjual aset adat, termasuk tanah.

Terutama tanah yang bernilai ekonomi tinggi, misal terdapat kandungan mineral berharga di atasnya, arena konflik akan lebih luas dengan hadirnya modal dan kekuatan politik yang lebih besar. Ketakseimbangan inilah kemudian memicu  distorsi budaya, disorientasi sosial, dan persoalan ekologis.

Perubahan besar terasa pada era Orde Baru (Orba) yang dianggap Johanis awal kehancuran tatanan adat. Institusiasi model Orba dengan cara penyeragaman struktur pemerintahan adalah salah satunya.

Banyak hal yang dulu menjadi wewenang masyarakat adat dialihfungsikan ke pemerintah atau ke pihak militer. Akibat kelembagaan adat yang lemah, persoalan tanah memasuki babak baru. Masyarakat adat tidak lagi dihadapkan oleh peperangan antarsuku, tapi dihadapkan pada kesewenangan pemerintah melalui pelbagai jenis aparatusnya.

Johanis pun mengalami hal itu. Tanah keluarga di daerah Mararena yang dijadikan kantor dinas Pekerjaan Umum (PU) statusnya masih milik keluarga. Penyelesaian pelepasan tanah oleh pemerintah selalu terkatung-katung.

Entah apa alasannya, sampai kemudian pusat pemerintahan di pindah dari Sarmi Kota ke Petam, penyelesaian belum juga selesai padahal kantor itu tak lagi berfungsi.

Ia pun menuturkan, dalam kasus ini anggota keluarganya pernah berhubungan dengan polisi saking kesal pembayaran tak juga rampung. “Mereka ngamuk dan kemudian disel. Dari situ kami selalu berusaha menyelesaikan kasus sendiri dengan jalan damai, dengan cara yang kami mengerti,” pungkasnya.

Mata Rumah dalam arti yang lebih luas bukan hanya pengetahuan tentang rumah sebagai tempat hidup, tapi juga pengetahuan tentang “Rumah Besar”nya saat ini. Jika Sarmi secara teritorial adalah Rumah Besar itu, maka pengetahuan Mata Rumah juga harus meliputi hal ihwal mengenai persoalan di Sarmi dan bagaimana penyelesaian yang arif menurut ukuran Sobey.

Sayangnya, sampai hari ini orang Sobey memandang persoalan di Sarmi hanya bisa mengetahui dengan caranya sendiri dan bertindak dengan apa yang mereka mengerti.

Sementara, pemerintah mempunyai logika sendiri yang kadang abai terhadap kearifan lokal. Maka tak heran, pembangunan daerah tidak serta merta menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar tapi malah menambah persoalan yang jauh lebih rumit.

Johanis pun hanya bisa kembali menyarungkan parang, melepas boot, dan kembali pada rutinitasnya. Prosesi itu cukup menguras tenaga. Di usia yang menginjak paruh baya itu, Johanis hanya bisa berharap bahwa generasi Sobey berikutnya bukan hanya mengerti soal hidup di jamannya, tapi memahami juga apa yang moyangnya dulu kehendaki. Menjadi “besar” dengan kearifan adat tetap melekat.

Reaksi Umi Pipik, Abidzar dan Irish Bella Dijodoh-jodohkan Netizen
VIVA Militer: KSAD, Jenderal TNI MS dalam pengarahan di Yonif 514

Jenderal TNI Maruli: Kalau Mau Dihormati Prajurit, Komandan Satuan Jangan Cuma Foto Doang

Sejahterakan prajuritnya.

img_title
VIVA.co.id
7 Mei 2024