Pakai Baju Koko, Dikira Ustaz Pemburu Hantu

Baju koko
Sumber :
VIVA.co.id
Edu House Rayakan Harlah ke-8
-
Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq
Dulu saya punya kebiasaan pakai baju koko. Pakaian ala ustadz gitu. Kepala dibungkus peci hitam, kadang peci motif batik. Tubuh triplek saya dibebat baju koko dan celana warna hitam. Lumayan mirip nggak ya sama ustadz?

“Tad. Tad,” begitu panggilan seorang teman saya. Ya elah, padahal  ilmu saya belum seujung kuku untuk mendapat panggilan terhormat bak seorang ahli ilmu itu. “Amin aja deh,” begitulah hati saya bersuara. Hingga kejadian memilukan menimpa saya pada satu Jumat pagi. Saya, satu orang teman perempuan, satu teman pria, ditambah satu jenis pria abal-abal (gemulai) tengah berdiskusi ria di beranda masjid salah satu perguruan tinggi Islam di Banten.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Tak biasa, pagi sekitar pukul 10.00 WIB, kondisinya tidak begitu ramai. Di sudut barat, ada Pak Ateng yang tengah mengepel lantai. Di sudut timur ada Pak Syamsul berjalan menuju masjid. Sementara di sudut selatan, ada lima orang akhwat asyik membaca buku. Dan, ternyata di sudut utara, Kapten Tsubasa akan melakukan tendangan penjuru (Maaf, Bercanda). Tak banyak variasi suara keramaian terdengar. Kali ini hanya terdengar satu dua cekikikan perempuan-perempuan “trio” yang berlalu lalang ngegosip. Biasa, ujian akhir semester baru usai, tinggal liburan. 

Ketenangan pagi itu seketika berubah saat seorang perempuan berlari keluar dari sebuah ruang kelas jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat saya lihat, indikasi saya, dia lagi akting. Pasalnya, dia mengenakan pakaian ala artis gitu; sepatu hak tinggi, pipi medok – yang kiri merah, kanan ijo, tengah-tengah muka ada keitem-iteman persis habis kejedot tiang listrik. Hihihi..!!  

“Toloong!!! Tolooong!!!” teriakan perempuan itu menandakan bahaya. Saya dan teman perempuan, satu teman pria, dan satu pria abal-abal melongo tanpa mokcai (Bahasa Sunda: Molohok sabari ngacai: melihat dengan pandangan kosong sementara air liur menetes).

“Ada apa’an tuh,” akhwat di sudut utara bangun dan mencoba mencari sumber air eh sumber suara maksudnya.

“Toloong!!! Tooollooooong!!! Teman saya kesurupan,” si perempuan berlari-lari kecil antara satu kelas ke kelas-kelas lain mencoba mencari bala bantuan. Dihampirinya seorang pria berambut kriwil yang mengenakan kaos oblong berwarna hitam.

“Maaf, mbak. Saya nggak ngerti ngobatin begituan mah,” kata si pria sambil berlalu.

“Maaf, Mbak. Saya gak pernah menangani masalah ini. Gak paham masalah kesurupan,” kata seorang perempuan.

Saya tak beringsut. Saya masih duduk dan hanya menilik-nilik alias melihat sambil ngintip-ngintip peristiwa langka tersebut. Alih-alih, si perempuan malah menuju masjid. Makin mendekat, dekat dan sekarang dia berada tepat di depan saya. Saya duduk di ubin, dia berdiri hanya terhalang pagar alumunium. Dia mulai menarik-narik tangan saya.

“Ada apa, mbak? Jangan tarik-tarik saya. Bukan muhrimnya, Mbak. Belum halal,” saya bertanya sekaligus mengelak dengan sedikit wibawa dan kelugasan.

“Mas. Pak ustadz, tolongin teman saya yang lagi kesurupan,” pinta si perempuan.

“Mbak, saya mohon maaf. Saya belum paham ilmunya,” saya ngeles kayak bajaj.

“Mas ini kan ustadz, masa nggak bisa?” si perempuan menaikkan volume, intonasi dan tekanan suaranya kalau dimasukkan ke speaker aktif udah mirip kayak audio film bioskop. “Dueer. Duerrr!!!”

Saya yang dikira ustadz pun diseret-seret si perempuan, terlihat seperti anak kecil yang ketakutan karena hendak disunat dan bilang “Takuut, emaak!!! Gak mau disunat.."

Sementara itu, di pojok ruang kelas, saya tak tahu nama perempuan yang kesurupan itu. Kedua temannya yang Alhamdulilah perempuan tengah memegang erat tubuhnya. Si perempuan kesurupan itu meronta-ronta, menghardik, dan mulai menendang-nendang kayak bayi dalam kandungan.

“Aaarrrghhhh. Errrgghhhhhh!!!!,” suara perempuan kesurupan itu membuat saya menelan sedikit ludah. Tenggorokan saya kering, padahal kelenjar ludah saya masih berfungsi dengan baik.

“Ustadz. Tolong diobatin sekarang!”

“Baiklah, Mbak,” jawab saya yakin. Muka sudah saya mirip-miripkan sama ustadz pemburu hantu kayak di tv. Paling tidak itu adalah usaha saya buat bikin jin, setan, dedemit atau apapun itu yang masuk ke tubuh si perempuan itu merinding saat melihat saya.

“Coba ambil air!” titah saya. Mereka manut.

“Pegang kedua lengannya jangan sampai terlepas.”

Dalam hati saya berpikir, “Bacaan apaan nih buat mengusir jin”. Telapak tangan kanan saya diletakkan melayang-layang di atas kepala si perempuan kesurupan itu. Tangan kiri saya memegang segelas air putih.

Allahumma Laka Sumtu. Ups, bukan! Allaahu laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyuu,” Saya merapal bacaan ayat kursi dengan suara lirih, supaya tidak terdengar oleh yang lainnya.

Ajaib. Perempuan itu malah diam. Tidak meronta-ronta juga. “Sakti juga nih saya,” curhat saya dalam hati.

“Mbak, ini diminumkan dan diusapkan ke muka teman Mbak ini.” Ketiga teman perempuan kesurupan itu manggut-manggut. Mereka tampak yakin dengan kemampuan saya mengusir jin.

Saya pun bergegas pergi. “Jangan-jangan habis ini dia kesurupan lagi. Aaaah. Cepat kabur.”

Saya pun tunggang-langgang ke masjid belakang kampus untuk salat Jumat sekaligus menyelamatkan diri, khawatir ada kasus serupa yang lebih besar. Saya yang disangka-sangka ustadz pun lebih mirip pelari cepat jarak 300 meter karena saking cepatnya saya berlari.

(Cerita ini dikirim oleh: Emi Rohemi – Serang, Banten)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya