Ketika Jalan Lurus Dipersulit dan Kejahatan Dipermudah

Suasana haru salat idul fitri etnis Rohingya.
Sumber :
  • ANTARA/Septianda Perdana
VIVA.co.id
Edu House Rayakan Harlah ke-8
-
Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq
Malam itu langit agak mendung dengan bulan terlihat sedikit di balik awan kelabu. Lampu-
Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong
lampu gemerlap kota terlihat dari balik jendela kamarku. Kring kring...bunyi handphone menyadarkanku dari lamunan indah mengagumi langit malam dan segala keindahan sang pencipta. Sebuah pesan singkat dari sahabat karibku,
Arif.

Awalnya hanya percakapan biasa di antara kita, namun ternyata ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadaku tentang perasaan sesak dan sudah  tak terbendung itu, akhirnya tanpa panjang lebar dia pun bercerita padaku tentang masalah yang membuat hatinya berguncang hebat. Mempertanyakan keadilan Tuhan, Sang Pencipta.

Dalam percakapan itu pun suasana menjadi lebih serius dan tegang, tertegun dalam diam tak terasa mata ini tak kuasa menahan curahan hati temanku yang juga mengguncang dadaku ini.

Terasa sesak dari dada sampai tenggorokan, ada yang mengganjal di tenggorokan dan tertahan di sana. Sebisa mungkin aku mencoba untuk tegar meski aku sendiri pun tidak mengerti dengan semua kejadian itu, mencoba menenangkan sedikit perasaannya yang tak terbendung itu.

Cerita yang membuatku termenung dan penuh makna. Perdebatan pun terjadi, mempertahankan pendapat masing-masing entah itu benar atau salah, namun masing masing meyakini pendapatnya sendiri.

Siang itu setelah selesai mengajar, temanku pergi ke sebuah pasar di daerah Cipanas, Puncak. Temanku yang bernama Arif itu berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta di daerah Cipanas, dan di waktu senggang sepulang sekolah temanku itu selalu pergi ke pasar membantu orang tuanya berdagang di sana sekaligus menambah keuangannya dan ditabung meski sedikit untuk masa depannya.

Seorang temannya, sebut saja Hadi, yang berprofesi sebagai penjaga sebuah kios dagangan di sana, bercerita kepada Arif. Hadi bercerita tentang mimpinya yang ingin menabung untuk membeli sebuah motor ninja 150R dengan niat ingin mendapatkan seorang wanita untuk dijadikan kekasihnya, dan niat busuk lainnya. Namun hal itu ditanggapi dengan biasa saja oleh Arif.

Dua bulan berselang setelah cerita itu, Hadi datang ke pasar dan bercerita pada Arif bahwa dia sudah mendapatkan motor yang diimpikan dan mendapatkan wanita yang dia inginkan dengan mudah, memang si Hadi ini ahlinya dalam hal menaklukan wanita.

Terasa lirih dalam hati Arif dan lambat laut perasaan itu menanjak semakin menanjak, membungbung tinggi memenuhi seluruh pelosok hati bahkan tak terbendung, ingin meledak rasanya mendengar hal yang aneh dan tak terduga itu.

Dalam ketidaktahuan Arif bertanya dalam dirinya, apakah ini adil ya Tuhan? Apakah yang sesungguhnya terjadi? Apakah Engkau menghendaki niat kemunkaran dari pada niat tulusku yang hanya ingin mendapatkan penghasilan cukup untuk melanjutkan hidup dan segera menikah ini? Di manakah letak keadilan itu?

Tak sampai di situ, hati yang sudah akan meledak itu membuatnya tak tahu harus bagaimana, tak tahu harus ke mana. Semua terasa aneh dan membingungkan, dalam kebingungan dan keingintahuan tentang apa yang sedang terjadi, akhirnya dia putuskan untuk bertanya pada seorang ustadz.

Namun, jawaban yang didapat tidak sampai membuatnya puas. Sang ustad itu hanya memberikan jawaban singkat dan tak dapat dimengerti oleh Arif.Sabar,” sambil tersenyum ustadz itu menjawab pertanyaan Arif dengan tenang yang dirasa tak logis itu.

Memang benar, namun bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan cetusnya dalam batin. Arif pun semakin tak mengerti, marah, marah, namun kepada siapa ia harus marah? Kepada siapa ia harus mengadu?

Dalam doa dan ketidakmengertiannya Arif hanya pasrah, lirih mengadu pada sang pencipta “Ya Allah ..... apa yang sebenarnya terjadi“. Ketika Allah berkehendak mengajarkan sesuatu kepada hambanya melalui kesabaran, hantaman telak menghujam hatinya, menjungkirbalikan semua logika. Cara kerja Allah memang berbeda dengan apa yang dipikirkan manusia. Tidak disangka jawaban yang dicari selama ini ternyata ada pada seorang mantan preman.

Ya, seorang mantan preman yang memang bertugas menjaga salah satu kios, sebut saja Mang Udin. Mang Udin ini memang sudah kenal dekat dengan Arif. Tak sengaja, bagaikan sebuah cara ajaib dan tak terduga, Arif hanya bercerita tanpa simpati pada Mang Udin, namun jawaban darinya itu yang membuat Arif diam tertegun.

Jawaban Mang Udin membuat seluruh pertanyaan yang ada dalam hatinya selama ini menghilang secara ajaib, entah ke mana, dan membuat hatinya tenang, damai seperti mendapat suatu hidayah.

Mang Udin yang mantan preman pasar itu menjelaskan bahwa memang dulu dia juga seperti itu ketika menjadi preman pasar, segala apa yang diinginkannya bisa didapat dengan mudah, karena memang preman pasar selalu ditakuti. Ingin makan tinggal pesan tanpa perlu bayar, bahkan ingin perempuan saja tinggal tunjuk. Namun, Mang Udin menjelaskan sembari menarik napas panjang, dalam bayangan kepalanya ia teringat betapa mudahnya mendapatkan sesuatu ketika di jalan kesesatan.

Ketika hidayah datang pada Mang Udin dan dia pun berniat untuk menapak pada jalan lurus dan memperbaiki diri, betapa terkejutnya dia melihat kenyataan yang sedang terjadi. Ingin mendapatkan pekerjaan saja Mang Udin merasa susah bukan kepalang. Mang Udin yang sudah mempunyai istri dan seorang anak, ketika itu bingung harus mencari kerja ke mana. Mang Udin melakukan pekerjaan apa pun asalkan mendapatkan uang untuk keperluan dapur dan biaya anaknya.

Mang Udin berjualan cilok yang saat itu hanya sekadar coba-coba, ia mendapatkan resep dari seorang temannya yang berjualan cilok. Tanpa pikir panjang, Mang Udin pun mencoba membuatnya dan alhasil dagangannya pun laku. Tapi sayang itu tak berselang lama, karena pegadang yang pernah dimintai resepnya dulu merasa iri dengan larisnya dagangan Mang Udin dan mengancam untuk tidak berdagang cilok lagi. Mang Udin yang kala itu sudah menjalani jalan lurus hanya mengusap dada saja dan memilih untuk mengalah daripada harus menjadi keributan yang berkepanjangan.

Mang Udin yang tidak mempunyai pekerjaan tetap itu kembali bingung karena ada anak dan istri yang harus ia biayai. Mang Udin mencoba melamar pekerjaan di salah satu perusahaan. Perasaan gembira menghiasi wajah Mang Udin karena diterima di perusahaan itu, namun ketika hendak mendekati hari kerja ia mendapat kabar tak terduga bahwa pekerjaan yang dilamarnya sudah ada orang yang telah mengisinya.

Betapa kecewanya Mang Udin yang merasa takdir telah mempermainkannya. Dalam hati ia berdesir, “Ya Allah, betapa susahnya berjalan dengan cara hidup di jalan-Mu, tidak seperti dulu ketika aku berjalan di jalan kemunkaran.”

Kata-kata tak mampu menjelaskan, seperti melihat pemandangan indah yang belum pernah dilihatnya, hati menjadi tenang yang belum pernah dirasakannya, logika tak mampu menjangkaunya. Langit siang itu terasa berbeda, Arif menatap langit tertegun akan jawaban Mang Udin yang ia rasa bagaikan sebuah pencerahan dari sang Ilahi. Tenggelam akan puasnya jawaban dalam kedamaian hati. (Cerita ini dikirim oleh Muhammad Iqbal)

(Punya cerita atau peristiwa ringan, unik, dan menarik di sekitar Anda? Kirim Cerita Anda melalui email ke ceritaanda@viva.co.id atau submit langsung di http://ceritaanda.viva.co.id/kirim_cerita/post)

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya