Rumah Andai

Badak Jawa
Sumber :

VIVA.co.id - Aku mendengarnya. Tidak terlalu jelas, hanya sayup, tapi aku yakin aku mendengar suara itu. Meski samar, toh tetap saja membuatku bergidik. Nyaris aku memutuskan untuk berbalik dan lari menghindar sekencang mungkin. Tak peduli apakah aku akan menghambur ke arah mana saja atau bahkan menabrak pohon. Pokoknya menyelamatkan diri. Tapi tidak. Penciumanku tak menangkap bau mesiu. “Dorr!”

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Seluruh tubuhku langsung kaku. Suara itu terdengar lagi dari kejauhan. Meski bila dibandingkan yang tadi, suara kali ini terdengar lebih jelas. Sesaat aku terdiam di tempatku. Berlari? Aku takut tubuh besarku akan membuat suara berdebum yang teramat gaduh, dan malah manusia-manusia bersenapan itu tahu keberadaanku. Aku juga tak bisa mengandalkan mataku saat berlari kencang. Penglihatanku tak terlalu tajam. Apalagi hari telah mulai meninggalkan terang. Mendadak aku menyesal. Mengapa tadi aku tersesat sendirian?

Kutajamkan pendengaran dan penciumanku. Mengira-ira suara tembakan itu apakah cukup jauh dari tempatku berada, atau sebenarnya dekat sebab manusia pemburu itu memakai peredam suara pada senapannya dan sekarang sedang membidikkan senapannya ke arahku. Ah, di saat seperti ini kadang aku merasa iri. Kenapa penglihatanku tak seperti serigala misalnya, yang bisa melihat meski dalam gelap, atau seperti burung elang yang matanya tajam.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Bukan. Bukan berarti aku tak bersyukur dengan kelebihanku seperti badan yang besar dengan kulit yang tebal dengan pola mozaik alami sebagai perisai, atau indera penciuman dan pendengaran yang sangat bisa kuandalkan. Aku hanya berpikir, mungkin ayahku bisa selamat andai ia, dan kami bangsa Rhinoceros, dapat melihat dengan lebih sempurna. Dengan begitu, ayah bisa mengenali kendaraan berteralis itu dari kejauhan. Karena kendaraan itulah yang mengangkut manusia-manusia bersenapan pembunuh ayah ke rumah kami.

Rasanya ada yang mengaliri mataku, membuat pandanganku kian kabur. Aku rindu ayah. Rindu saat-saat bersama mencari bungburutu, kacembang, dan ciciap. Ayah pula yang mengenalkanku pada bunga leuksa dan daun canar. Bersama ayah rasanya selalu menyenangkan menikmati tumbuhan makanan favorit kami itu. Meski sepeninggal ayah aku tak serta merta sendirian sebab masih ada ibu dan keluarga lain sekelompok, toh rasanya tetap saja berbeda. Aku tak punya ayah sedangkan teman-teman sebayaku masih bisa bermanja dengan ayah mereka.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Lamunanku tentang ayah spontan buyar ketika sangat sayup suara itu kembali terdengar. Harusnya cukup jauh, aku menebak sekaligus berharap tebakanku tepat. Oke, aku bisa bernapas lega. Tapi untuk beberapa menit yang begitu membuatku tidak nyaman tadi, bolehkah aku kesal? Tidakkah manusia-manusia itu mengerti betapa tak enaknya hidup dalam kecemasan setiap saat diintai oleh moncong-moncong senapan pemburu? Tidakkah mereka tahu bahwa berbagi hidup dengan kawanan banteng atau satwa lain di hamparan rumah kami yang semakin mengecil ini saja sudah cukup merepotkan?

Tak bisakah kami hidup tenang tanpa harus merasakan lebih banyak ketakutan? Toh kami hanya perlu pohon-pohon rindang itu menemani kami berlindung. Dan perdu-perdu hutan itu tetap menghijau sebab merekalah yang mengisi perut kami. Kami juga tak butuh air bersih yang melimpah ruah sebab kami sudah sangat senang dengan kubangan-kubangan.

Kami sejatinya hanyalah kawanan Rhino yang cukup tenang jika tak ada yang mengganggu kami dengan desing senapan, deru kendaraan berteralis, atau urusan manusia yang membuat kami terancam. Membakar dan merusak rumah kami, tidakkah itu sangat keterlaluan?

Kalau boleh kami bersuara, kami ingin bertanya, bisakah kita hidup berdampingan saja tanpa saling mengganggu dan mengintimidasi? Tidakkah dengan begitu, kita semua bisa tersenyum dengan hati yang lapang, hati yang sama merasakan kenyamanan? Jika itu terlalu berlebihan, bisakah setidaknya sehari saja kami dibiarkan menikmati rumah kami dengan damai dan bahagia?. (Cerita ini dikirim oleh: Etty Hastari Soeharto – Yogyakarta)

(Cerita ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?" Info lebih jelas klik http://ceritaanda.viva.co.id/news/read/673610-ayo-ikuti-lomba-menulis-cerita-anda)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya