Rumah Badak Itu Seperti Apa Ya?

Sungai Cigenter merupakan sungai yang terdapat dalam Pulau Handeuleum, sebuah pulau kecil di gugusan Pulau Taman Nasional Ujung Kulon.
Sumber :

VIVA.co.id - Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, definisi rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal. Tentu ada perbedaan antara bentuk tempat tinggal manusia dan satwa liar khususnya badak. Tempat tinggal manusia saat ini identik dengan bangunan yang terdiri dari dinding, pintu, jendela, dan atap guna melindungi dari panas, angin dan hujan.

Pertanyaannya adalah, apakah rumah satwa liar sama dengan rumah manusia? Tentu tidak, karena menurut kamus besar Bahasa Indonesia, satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Mungkin akan timbul pertanyaan “bagaimana dengan kambing atau sapi yang dipelihara, apakah termasuk satwa liar?” Jawabanya adalah bukan, binatang tersebut adalah binatang ternak, karena sapi dan kambing adalah binatang yang sengaja dikembangkan untuk kebutuhan konsumsi atau industri.

Pertumbuhan Penduduk, Degradasi Hutan dan Kepunahan.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), saat ini penduduk dunia mencapai 7 miliar, dan pada tahun 2030 akan ada tambahan penduduk menjadi 8.5 miliar. Sedangkan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1961, penduduk Indonesia hanya 97.1 juta, dan tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia mencapai 250 juta jiwa, dengan angka ini Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat no. 4 di dunia.

Dengan pertumbuhan penduduk yang membludak tentu akan diiringi dengan kebutuhan akan sumber daya yang lebih besar, baik pangan, air, dan ruang untuk tempat tinggal. Menurut laporan Forest Watch Indonesia (FWI) pada periode 2009-2013, Indonesia mengalami kehilangan tutupan hutan karena mengalami deforestasi sebesar 4.5 juta hektar atau 1.13 juta hektar pertahun.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Dengan berkurangnya tutupan lahan, hutan sebagai rumah satwa liar menjadi terancam, dengan semakin besarnya kawasan hutan yang terdegradasi akan berbanding lurus dengan kehilangan individu satwa liar bahkan kehilangan suatu spesies tertentu misalnya Harimau Bali (Panthera Tigris Balica) dan Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica) yang sudah dinyatakan punah.

Berbagai kepunanhan spesies ini tidak diinginkan oleh semua pihak, karena pada dasarnya satwa liar pun punya hak dan tentunya memiliki peranan penting dalam siklus kehidupan.

Indonesia Sebagai Negara dengan Keanekargaman Hayati Tinggi

Dalam realese berita Universitas Padjajaran menyebutkan bahwa Indonesia sebagai negara peringkat ke-2 dengan keanekaragaman hayati tinggi, sebanyak 5.131.100 keanekaragaman hayati di dunia dan 15.3% terdapat di Indonesia.

Berbagai kebijakan untuk melindungi keanekaragaman hayati tersebut terus digalakan, salah satunya adalah melaui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional, dalam kebijakan tersebut Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) dan Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatranensis) masuk dalam satwa prioritas nasional.

Hal ini menunjukan bahwa masyarakat dunia dan pemerintah Indonesia menginginkan perlindungan dan upaya pelestarian terhadap spesies yang berstatus kritis ini. 

Sejarah Badak Sumatera dan Badak Jawa

Di masa lalu Badak Jawa tersebar di Asia Tenggara, Sumatera dan Jawa. Pada loka karya tahun 1991, Staff Taman Nasional Way Kambas, Lampung, telah menemukan Badak Jawa di area tersebut dan dilaporkan telah diburu pada tahun 1960-an, dan diasumsikan bahwa Way Kambas mempunyai tipe habitat yang sejenis dengan tipe habitat Badak Jawa.

Menurut



Pada saat ini Badak Jawa hanya tersebar di Taman Nasional Ujung Kulon dan menurut penelitian Rahmat pada tahun 2008, Badak Jawa tidak ditemukan di seluruh Taman Nasional Ujung Kulon namun hanya ditemukan di Semenanjung Ujung Kulon.

The Indonesian Wild Life Conservasion Foundation (Yayasan Pelestarian Alam dan Kehidupan Liar Indonesia) mengungkapkan bahwa Badak Sumatera di masa lalu tersebar di Kalimatan, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Burma, Kamboja sampai Vietnam, namun akibat perburuan dan habitat alamnya semakin terdegradasi maka penyebaran habitat alamnya menjadi terbatas hanya berada di Sumatera dan Semenanjung Malaysia saja.

Kabar mengejutkan terjadi di tanah Kalimantan, Badak Sumatera yang awalnya dinyatakan punah di Kalimantan terbantahkan oleh sebuah tim monitoring WWF-Indonesia, ketika itu tim menemukan jejak segar Badak Sumatera di Kutai Barat, Kalimantan Timur, kemudian pada Februari 2013 WWF-Indonesia bersama Dinas Kehutanan Kutai Barat, Universitas Mulawarman dan masyarakat setempat menemukan jejak kaki, kubangan, gesekan tubuh pada pohon, gesekan cula pada dinding kubangan serta bekas gigitan dan pelintiran badak pada pucuk tanaman.

Rupanya Taman Nasional Ujung Kulon tidak mau ketinggalan dalam hal kabar gembira. Tahun ini kamera trap berhasil menagkap tiga anak Badak Jawa baru, dua jantan dan satu betina.

Dengan kata lain pada tahun 2015 populasi minimal Badak Jawa yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon adalah 60 ekor. Masih besar kemungkin penemuan individu baru Badak Jawa, karena dalam monitoring badak tidak semua area taman nasional di pasang video trap. Penambahan video trap akan sangat membantu dalam upaya pencarian individu baru Badak Jawa. 

Perjalanan Penerapan Konsep Rumah untuk Badak Sumatera dan Badak Jawa.
 
Taman Safari Indonesia  dalam Jurnal  No. 3 bulan Juni-Juli 1995, menyebutkan bahwa salah satu upaya konservasi badak telah digalakan, salah satunya dengan membuat penangkaran. Wacana penangkaran dimulai pada tahun 1984, IUCN SSC mengadakan pertemuan di Singapura guna membahas strategi utama dalam pelestarian Badak Sumatera dan menetapkan cara-cara untuk membuat penangkaran ex-situ secara rinci untuk kelangsungan kehidupan liar.

Sebanyak 29 ekor Badak Sumatera telah ditangkarkan dan yang hidup tinggal 23 ekor dari 10 lokasi di seluruh dunia. Program penangkaran diluar habitat tersebut tidak berhasil dan tingkat kematiannya cukup tinggi sekitar  40%, walaupun disisi lain Badak Putih Afrika (Ceratotherium simum) dan Badak India (Rhinoceros unicornis) sangat produktif di penangkaran.

Menurut Rhino Resources Center pada tahun 1996 dibuatlah sebuah tempat khusus dengan konsep semi in-situ, walaupun sebuah penangkaran namun badak dipelihara sealami mungkin  dari pada saat di kebun binatang. Badak dibiarkan hidup sendiri di area yang masing-masing 20-50 hektar yang berhubungan langsung ke center area sebagai lokasi pada masa kawin. Usaha ini telah membuahkan hasil, akhirnya pada hari Sabtu , tanggal 23 Juni 2012 pukul 00.45 bayi Badak Sumatera bernama Ratu telah lahir dan berjenis kelamin jantan. Rupanya keberhasilan ini dijadikan momentum oleh JRSCA (Java Rhino Study Conservation Area) yang berharap mengikuti keberhasilan penagkaran semi-insitu yang telah diterapkan di SRS.

JRSCA atau masyarakat sekitar taman nasional menyebutnya dengan Jarisca adalah bentuk sebuah rekomendasi dalam rencana aksi koservasi Badak Jawa. Kemudian pada tanggal 21 Juni 2012 Menteri Kehutanan dan Gubernur Banten me-launching pelaksaan pembangunan JRSCA di Taman Nasional Ujung Kulon. Keyakinan ini tentu bermula dari keberhasilan SRS yang telah melahirkan bayi bernama Ratu.

Lokasi pembangunan JRSCA berada pada bagian selatan Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas 5.000 hektar. Sebelumnya Nico Van Strien dan Haerudin Sajudin mengusulkan Isthmus Protection Zone (IPZ) di TNUK yaitu suatu pendekatan utuh dikawasan isthmus Ujung Kulon dengan menjadikan bagian isthmus seluas 1.300 hektar sebagai kawasan penangkapan, habituasi, dan tempat pengamatan di bagian barat dan 1.250 hektar di sebelah timur sebagai kawasan yang diisolasi pagar beraliran listrik yang merupakan isolasi Badak.
 
Badak dan Masyarakat (Sebuah Kritik untuk Membangun dan Kembali ke Jalan yang Lurus).

Kondisi terpeliharanya populasi baik Badak Jawa ataupun Badak Sumatera adalah bentuk kerjasama yang baik antara pengelola dan masyarakat berpuluh-puluh tahun lalu. Pengelola yaitu pihak taman nasional di dukung oleh masyarakat sekitar dalam program penyelamatan badak.

Penyelamatan badak adalah hal yang sah-sah saja, namun di sisi lain masyarakat sekitar Taman Nasional Ujung Kulon pada khususnya dan Kawasan Hutan di Indonesia pada umumnya banyak yang berstatus penduduk miskin, mereka rela miskin dan berdampingan dengan alam yang kadang di usik oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Pada laporan Semiloka Konservasi Badak Sumatera Berbasis Masyarakat di Taman Nasional Way Kambas, dan menyimpukan bahwa pengembangan potensi ekowisata Taman Nasional Way Kambas seharusnya berbasis pada peningkatan sumber daya manusia dan sarana pengelolaan taman nasional tersebut dan hal yang lebih penting adalah memberi manfaat bagi masyarakat sekitar kawasan.

Dalam pembebasan lahan untuk pembuatan JRSCA sempat membuat percikan konflik antara masyarakat dan pihak pengelola, masyarakat mengangap adanya intimidasi dalam pembebasan lahan tersebut.

Selain itu menurut Sayogyo Institut (Sains), Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL), Yayasan Sivagama dan Mapala Tingkat Perguruan Tinggi Se-Banten mengatakan bahwa hanya dengan berbekal proposal yang “diketahui” oleh Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan dan Keputusan Balai Taman Nasional Ujung Kulon No. SK. 32/Kpts/IV-T.10/Peg/2010 Tentang Pembangunan Java Rhino Study Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon.

Proyek JRSCA tiba-tiba membuldoser Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon sejak 22 Juni 2016, padahal proposal tersebut tidak mencantumkan “persetujuan” dari atasan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon.

Keputusan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon di atas pun hanya memutuskan 6 (enam) hal, yakni pembangunan JRSCA (diktum pertama), rincian aktivitas berupa pembuatan pagar pada titik tertentu, peningkatan kesadaran, pemahaman, dan dukungan bagi konservasi badak, serta penilaian habitat dalam JRSCA (diktum kedua), pembentukan tim kerja (diktum ketiga), pengaturan pendanaan yang akan bersumber dari IRF melalui YABI (diktum keempat), masa berlaku (12 bulan) keputusan tersebut (diktum kelima), dan penutup (diktum keenam).

Selain itu, analisis resiko lingkungan (environmental risk assessment – ERA) terhadap proyek tersebut telah mengidentifikasi beberapa resiko yang harus diantisipasi, yakni: (1) hambatan terhadap pergerakan satwaliar, (2) fragmentasi habitat, (3) kompetisi, (4) konflik manusia– satwaliar, dan (5) konflik masyarakat–taman nasional. ERA pun menyarankan agar memperbaiki atau merevisi perencanaan dan desain JRSCAyang kelak harus ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih detail.



Pembuldozeran yang menabrak aturan dan kajian dampak tersebut melengkapi rentetan dugaan pelanggaran dalam rangka proyek ini, seperti dugaan manipulasi argumen sehingga terjadi perubahan zona inti menjadi zona rimba untuk kawasan usulan JRSCA dan pengoperasian helikopter di dalam kawasan habitat badak dengan penumpang Ketua Pengurus YABI dan petinggi Asia Pulp and Paper (APP) hanya untuk meninjau lokasi proyek JRSCA guna mendapatkan dukungan dana dari APP yang diduga mengakibatkan berubahnya distribusi badak saat inventarisasi sehingga hanya terekam 6 badak pada saat inventarisasi tersebut.

Cermin.

Rendra dalam puisinya pernah berkata “niat baik sodara untuk siapa?, Apakah niat baik bisa berlaga?”, penggalan puisi tersebut rasanya cocok disematkan dalam tulisan ini mengingat maksud baik tidak selamanya baik jika penerapannya dilakukan dengan serampangan, tanpa adanya kajian yang mendalam dan jika tidak dilakukannya pengawasan yang ketat.

Sama halnya dengan rencana pembangunan SRS dan JRSCA, maksud baik ini sebenarnya diamini oleh semua kalangan jika kajiannya mendalam dan penerapannya memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat.

Tak ada gading yang tak retak, mungkin itu pepatah pembenaran atas konsep atau penerapan konsep yang salah atau terlalu terburu-buru. Dalam perencanaan pembangunan sebuah kebijakan yang menyangkut hidup masyarakat sepatutnya dikaji lebih dalam, bukan hanya soal ekologi dan penyelamatan badak tapi penyelamatan kehidupan manusiapun perlu dikaji dan dipertimbangkan dengan matang. Koordinasi dan komunikasi terhadap masyarakat yang terkena dampak perlu dikomunikasikan dulu secara intensif agar tidak terjadi kesalahfahaman.

Komunikasi dan kunjungan yang intensif Kepala Balai Taman Nasional dengan Kepala SPTN dan Kepala Resort harus dilakukan agar konsep dan implementasi tidak bertentangan. Pengawasan dengan melibatkan masyarakat, akademisi dan mahasiswa perlu dipertimbangkan, untuk masukan dan jalan keluar bagi kebijakan yang akan di terapkan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Karena pada dasarnya semua kebijakan yang berhubungan dengan sumber daya alam mengacu pada satu titik yaitu pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
 
Wilayah Strategis Nasional Untuk Siapa?

Wilayah penyangga Taman Nasional Ujung Kulon merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN), Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang, KSN adalah wilayah yang penantaan ruangnya diprioritaskan karena berpengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan.

Hal ini tidak mengagetkan karena pada pemerintahan Hindia-Belanda dibawah kepemimpinan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels pembangunan pelabuhan di Ujung Kulon tepatnya di Tanjung Layar sempat dimulai, namun karena pada saat itu masih banyak hewan buas dan karena kawasan Ujung Kulon adalah wilayah endemik malaria, sehingga pembangunan dihentikan.

Fungsi  sebagai kawasan strategis sampai saat ini masih berjalan, khususnya untuk kemaritiman Indonesia dan dunia, mercusuar tetap di bangun sebagai tanda dan penunjuk arah kapal yang melintasi Selat Sunda. 

Selain itu, dengan adanya wilayah KEK Tanjung Lesung, Pulau Umang, rencana pembangunan bandara di Kecamatan Panimbang dan pembangunan JRSCA menjadi dukungan penting dan dibaca sebagai peluang masa depan oleh para investor. Tidak heran hari ini sudah banyak transaksi jual beli tanah dan area strategis tersebut sudah dikapling hampir sepanjang kawasan strategis di Kecamatan Sumur, sampai desa terakhir yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ujung Kulon yaitu desa Ujungjaya.

Melihat langsung fenomena ini di depan mata, kita pasti akan teringat kembali dengan puisinya WS.Rendra yang berbunyi “ tanah di kampung sudah menjadi milik orang di kota,” pertanyaan hari ini sederhana saja, apakah penduduk lokal berdaya dan berjaya di tanahnya, atau terusir bahkan mungkin terjajah, hanya waktu yang bisa menjawab.

Harapannya semua pihak bergadeng tangan demi keamanan ekosistem hutan Ujung Kulon sebagai rumah badak dan sumber hidup manusia di sekitarnya baik sebagai penyedia air bersih, karena hari ini krisis air melanda hamper seluruh kawasan di Indonesia kecuali masyarakat yang bedampingan dengan hutan dan karst yang masih terjaga, maupun sebagai penyedia oksigen.

Pada prinsipnya rumah yang baik dan nyaman untuk badak adalah alam itu sendiri, namun keadaan di lapangan mengharuskan pembuatan penangkaran untuk tujuan konservasi dan tanggungjawab lingkungan.
(Cerita ini dikirim oleh: Rifqi R Hidayatullah, Bogor)

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?" Info lebih jelas klik http://ceritaanda.viva.co.id/news/read/673610-ayo-ikuti-lomba-menulis-cerita-anda

(Punya cerita atau peristiwa ringan, unik, dan menarik di sekitar Anda? Kirim Cerita Anda melalui email ke ceritaanda@viva.co.id atau submit langsung di http://ceritaanda.viva.co.id/kirim_cerita/post)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya