Badak Kecil Merindu Ibu

Badak Jawa
Sumber :

VIVA.co.id - Kulitnya yang sedikit berbulu, berwarna abu-abu coklat membungkus pundak, punggung, dan pantatnya. Kulitnya itu memiliki pola mosaic alami yang sepintas terlihat seperti perisai. Pembungkus alami pada lehernya membentuk seperti pelana di pundak.

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Ia tampak gagah, meski belum terlalu besar. Wajahnya murung dan bersedih. Ia bahkan enggan memakan makanannya. Ia memiliki bibir yang panjang dan tinggi untuk mengambil makanannya, juga gigi seri yang panjang dan tajam yang biasanya ia gunakan untuk bertempur dengan musuhnya.

Di belakang gigi serinya, ia memiliki enam buah geraham yang panjang yang ia gunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Culanya hanya satu dan konon merupakan cula terkecil dibandingkan dengan sepupunya yang tinggal di India. Hanya sekitar 20 senti saja panjangnya.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Ia hampir tidak pernah menggunakan culanya untuk bertempur, paling hanya untuk menarik makanannya dari lumpur kubangan, agar dapat dia makan. Sebetulnya ia mempunyai penciuman dan pendengaran yang baik, namun penglihatannya buruk sekali. Itulah juga yang memisahkan ia dan ibunya bertahun yang lalu.

Matanya kembali mengerjap sedih. Setiap kali teringat sosok ibunya, ia menangis. Ada air yang menggenangi sudut matanya. Manusia-manusia rakus itu tak akan pernah tahu bahwa makhluk seperti dirinya pun bisa menangis. Meski tanpa suara. Toh dalam keadaan biasa pun, ia dan semua makhluk sejenisnya jarang sekali mengeluarkan suara.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Ibunya yang mengandungnya selama 16 hingga 19 bulan itu, terpaksa harus pergi. Manusia yang rakus telah dengan semena-mena membunuh ibunya untuk mendapatkan cula kecil yang bertengger di atas hidung ibu. Demi uang 30.000 US dolar untuk setiap kilogram cula, yang konon dipercaya bisa pula digunakan sebagai obat, manusia-manusia itu rela membunuh ibunya.

Dia tidak pernah bisa mempercayai penglihatannya saat itu, sama seperti dia tidak pernah bisa memercayai manusia. Sejak itu hidup tak pernah sama. Meski ia kini relatif aman bersama teman-temannya yang lain di Ujung Kulon, namun ia masih merasa tak nyaman. Ancaman perebutan ruang dengan banteng, ancaman manusia yang bisa saja sewaktu-waktu menyelusup ke taman yang dilindungi pemerintah ini, dan ancaman-ancaman lain yang mungkin akan membawanya dan teman-temannya kepada kepunahan, tak boleh dibiarkan.

Selalu ada orang-orang jahat diantara sekumpulan orang baik, dan demikian sebaliknya. Itu yang dulu selalu ibu pesankan padanya. Ia menatap teman-temannya yang dengan tenang berkelompok kecil mencari mineral dalam kubangan lumpur.

Berkubang di lumpur adalah sifat umum kawanannya untuk menjaga suhu tubuh dan membantu mencegah munculnya parasit dan penyakit. Mereka tidak menggali kubangannya sendiri, tetapi lebih suka menggunakan kubangan bekas hewan lain seperti kerbau, atau lubang yang muncul secara alami. Mereka menggunakan culanya untuk memperbesar lubang, tempat mencari mineral juga sangat penting, karena garam adalah sumber nutrisi mereka.

Di Ujung Kulon ini agak sulit mencari mineral. Di sana, ada beberapa teman-temannya yang sudah mulai makan. Sungguh ia tak bernafsu sedikit pun. Mereka makan bermacam-macam tanaman, terutama tunas, ranting, daun-daun muda dan buah yang jatuh ke tanah.

Mereka menjatuhkan pohon muda untuk mendapatkan makanannya dan mengambilnya dengan bibir atasnya yang berfungsi sebagai pemegang, mereka dapat makan 50 kilo per hari. Tapi baginya, hidup tak lagi sama, sejak ibu tak ada. Sejak ia kehilangan ibu.

Dan ia memang tak pernah habis mengerti, bagaimana manusia-manusia jahat itu bisa menemukan ibunya (yang sedang bersamanya) di kawasan hutan tak jauh dari Taman Nasional Ujung Kulon. Mungkinkah gara-gara sepanjang hari itu ia rewel dan merengek pada ibu minta jalan-jalan melihat keluar taman? Mungkinkah manusia-manusia itu sudah lama mengintai? dan memang inilah takdirnya dan takdir ibu.

Baginya, anak badak yang malang itu, rumah yang aman dan nyaman, bukan hanya sebuah Taman Nasional, namun juga dalam dekapan ibu yang mencintainya dan dicintainya, tanpa syarat. Anak badak itu menyeret tubuhnya perlahan. Ia ingin tidur sejenak. Barangkali dalam mimpinya ia bertemu ibu yang selalu tersenyum padanya. Hanya ibu. (Cerita ini dikirim oleh Ifa Avianty)

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?" Info lebih jelas klik http://ceritaanda.viva.co.id/news/read/673610-ayo-ikuti-lomba-menulis-cerita-anda)

(Punya cerita atau peristiwa ringan, unik, dan menarik di sekitar Anda? Kirim Cerita Anda melalui email ke ceritaanda@viva.co.id atau submit langsung di http://ceritaanda.viva.co.id/kirim_cerita/post)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya