Menyimak Kisah dari Negeri Salak

Kecamatan Ampelgading
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id - Jika suatu masyarakat dalam suatu kebudayaan memiliki sebuah ritual atau tradisi yang harus dilakukan dan apabila diabaikan akan menjadi suatu ketidakharmonisan, maka inilah penggambaran yang selalu dihadapi bagi mahasiswa antropologi. Di setiap akhir semester, para mahasiswa antropologi --mungkin di seluruh dunia, dan karena warisan dari antropolog terdahulu--, akan selalu melaksanakan ritual turun ke lapangan dengan mengunjungi sebuah desa selama beberapa hari dan kemudian melakukan penelitian.

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Meskipun di jurusan lain ritual ini kebanyakan dilaksanakan pada semester akhir saja, dan sekali saja sebelum lulus yaitu dengan mengadakan kegiatan khusus yang menarik perhatian mayoritas masyarakat di desa tersebut yang dikenal dengan Kuliah Kerja Nyata --karena di semua desa yang kami datangi mengira kami sedang melakukan kegiatan ini--. Imajinasi lainnya yang paling mendekati adalah kami seperti sedang melaksanakan salah satu program acara televisi --yang sayangngya saat ini sudah tidak tayang lagi--, yaitu "Jika Aku Menjadi".

Pada awal tahun 2014, daerah "beruntung" yang kami datangi adalah sebuah desa di wilayah terluar Malang, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Lumajang. Desa Purwoharjo, merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ampelgading yang secara kontur wilayahnya desa ini bahkan memasuki kawasan lereng Gunung Semeru.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Dari Kota Malang, perjalanan yang ditempuh untuk mencapai ke kecamatan ini bahkan melewati 4 kecamatan yakni, Tumpang, Wajak, Turen, Dampit, dan kemudian Ampelgading. Di edisi penelitian antropologi semester ganjil kali ini, ada suasana berbeda. Kami para mahasiswa yang menjelang semester penghabisan ini tidak lagi "hidup bersama" ketika menjalani penelitian.

Jika di penelitian sebelumnya dalam satu desa kami tinggal dalam satu rumah dengan jumlah anak 30, kemudian ber 6, dan kini semakin intim dengan hanya berpasangan. Kami hanya berdua, selama lima hari, menghabiskan 4 malam, dalam sebuah keluarga, di satu RT di desa.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Saya bersama Hikmah tinggal di keluarga Bapak Umbar dan Ibu Ngatiyah di RT 10. Bapak dan ibu Umbar ini memiliki tiga orang anak, namun hanya dua yang masih tinggal bersama. Si anak pertama, Yudha seorang lelaki telah berkeluarga di desa sebelah (Lebakharjo). Seorang anak gadis yang masih remaja, kelas 2 SMA di Lumajang, bernama Liya dan anak terakhir yakni Bagus yang masih kelas lima di SD Purwoharjo, dan baru saja dikhitan.

Kecamatan Ampelgading dan sekitarnya dikenal sebagai daerah kebun kopi dan cengkeh. Namun, saat ini sudah terdapat komoditas baru yang dibudidayakan yakni buah salak. Sehingga masyarakat di desa-desa ini sebagian besar memiliki kebun salak, kopi, dan cengkeh. Seperti keluarga Bapak dan Ibu Umbar juga merupakan keluarga petani kopi dan salak. Selain itu, di desa Purwoharjo terdapat sebuah PLTA Ampelgading distrik Jawa-Bali. PLTA ini bahkan lokasinya terletak di antara perbukitan dan di tengah penambangan pasir dari Gunung Semeru.

Maka tidak mengherankan kita bisa merasakan ada truk-truk besar pengangkut pasir yang setiap hari berlalu lalang di depan rumah. Jika ada kesempatan, boleh dicoba menghitung ada berapa banyak truk yang lewat dalam sehari, dan warnanya apa. Dari segi pemandangan, wilayah desa di edisi penelitian kali ini sungguh menyejukkan mata. Ada beberapa spot pemandangan yang menurut saya hampir menyerupai pemandangan di dunianya Edward Cullen dan Bella Swan atau seperti di film Bridge of Terabithia.

Dalam kehidupan ekonomi dan mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Desa Purwoharjo bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Para perempuan pekerja banyak terdapat di RT 10. Semua perempuan ke sawah, kebun, baik milik sendiri maupun menjadi buruh. Seperti disebutkan di atas, desa di wilayah lereng Gunung Semeru ini memiliki komoditas pertanian dan perkebunan seperti kopi, cengkeh dan salak. Salak merupakan komoditas baru yang dibudidayakan oleh kelompok tani di Desa Purwoharjo pada tahun 2001.

Kelompok tani Desa Purwoharjo adalah perintis salak pondoh pertama di Ampelgading dan bahkan telah memiliki sertifikat. Wilayah lahan pertanian merupakan milik masyarakat desa dan Perhutani. Panen buah salak minimal satu bulan satu kali. Panen raya dihitung pada bulan 11 dan 12. Adapun cengkeh yang panen raya di awal tahun. Seperti yang dikatakan Pak Umbar, komoditas kopi tetap panen, dan masih dibudidayakan, meskipun dalam produksinya perawatan kopi dirasa cukup mahal --dalam benak saya komoditas ini diartikan sebagai diandalkan satu tahun sekali--.

Selain sebagai petani salak, ada beberapa masyarakat desa yang membuka usaha seperti toko, dan pasar yang cukup jauh dijangkau. Beberapa rumah masih ada yang berdinding gedhek (rekomendasi untuk tim bedah rumah). Sedangkan di fasilitas pendidikan terdapat satu gedung TK Dharma Wanita dan Sekolah Dasar Negeri Purwoharjo. Pendidikan tingkat lanjut seperti sekolah menengah terdapat di luar desa.

Sarana Kesehatan meliputi 1 Poskesdes, Posyandu berjumlah 3 buah dengan satu tenaga medis. Belum ada PAUD disini, padahal jumlah anak-anak preschool lumayan banyak dalam satu desa saja. Mengapa demikian, pertama kali saya datang, saya bertemu dengan salah satu pemudi desa setempat yang menjadi pengajar les bagi anak-anak usia belum sekolah formal, yang dilakukan di rumahnya, dan bapaknya juga merupakan seorang ketua RT.

Mbak Siti namanya, meskipun bukan lulusan perguruan, namun ia sudah mengajar di madrasah dan melakukan kegiatan mengajar adik-adik di sore hari. Dari cerita mbak Siti dan pengalamannya, yang dilakukannya memang bahwa pendidikan dan upaya membuka pandangan untuk percaya pada kekuatan pendidikan, itulah yang menurut saya seperti "berjalan di jalan terjal dan berliku terselip di antara perbukitan", adalah masalah yang dihadapi di masyarakat pedesaan. Namun, saat ini kesadaran untuk pergi ke sekolah, dan mengenyam pendidikan hingga mencoba keluar dari desa sudah perlahan dilakukan.

Pada tahun 2003 status Desa Purwoharjo merupakan desa IDT (Inpres Desa Tertinggal). Di tahun tersebut, di Kecamatan Ampelgading terdapat dua desa yakni Purwoharjo dan Tamansari. Berbicara tentang kata tertinggal, akan lebih dilekatkan pada indikator dominan seperti pendidikan dan ekonomi di masyarakat. Meskipun, pada tahun 2010 mulai dibangun infrastruktur seperti jalan aspal dan adanya PLTA Ampelgading Pembangkit Jawa-Bali ini turut memberikan kehidupan bagi masyarakat setempat.

Purwoharjo ini hanya memiliki sebuah dusun yang bernama Pucungsari dengan sepuluh RT. Sebuah desa di bukit, yang tetangga RT nya berada di balik bukit, dengan jalan berliku, kadang tanpa pencahayaan. Kondisi di bukit, pegunungan, dan tentu saja sinyal sangat jarang didapat. Begitu juga dengan kegiatan organisasi sosial di Desa Purwoharjo terdapat organisasi sosial masyarakat dan perkumpulan yakni LPMD, PKK, Koperasi Wanita dan Muslimat NU.

Organisasi yang tampak seluk beluknya adalah Kopwan Langgeng. Karena saya, Hikmah, dan Shinta pada suatu kali mendapatkan informasi langsung dari ketuanya yakni Ibu Wati. Beliau adalah seorang ibu dengan karakter wanita pedesaan yang cukup aktif dan energik dalam bersosial. Jika di kalangan anak mahasiswa, biasa disebut sebagai organisatoris atau aktivis.

Lima hari sepertinya tidak cukup untuk penelitian. Akan tetapi pengalaman, feel hidup di keluarga baru yang belum kita kenal sebelumnya, dengan meminta ijin untuk tinggal hanya beberapa jam sebelumnya, yang sebenarnya akan sangat membuat rasa berbeda. Jika Indonesia mengajar punya jargon "setahun mengabdi, seumur hidup menginspirasi", maka ijinkan saya untuk mencoba merevisinya dengan versi saya sendiri, "antropologi penelitan: lima hari di sebuah keluarga, selamanya tentu takkan lupa".

Tanpa mencoba untuk berlebay atau mendramatisir suasana, tapi kalian, wahai anak muda Indonesia, haruslah menikmati dan menjalani dan merasakan kegiatan semacam kegiatan lapang bermasyarakat, atau pengabdian seperti dalam KKN misalnya jika kalian berkuliah dan tidak sedang di jurusan yang punya ritual rutin seperti fieldtrip dan untuk mahasiswa antropologi, nikmatilah dan keep positively.

Tidak mengherankan jika sekarang ada banyak sekali kegiatan turun lapangan, blusukan, dan baik dilakukan oleh organisasi, institusi maupun acara tayangan televisi reality show sekalipun. (Cerita ini dikirim oleh Hani Fatialifa)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya