Perjalanan ke Habitat Terakhir Badak Jawa

Perjalanan di TNUK
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id - Pagi, Senin,  9 November 2015. Hari ini aku bangun pagi, kepagian lebih tepatnya.  Bagai semut diberi gula adalah peribahasa yang terkesan memaksa mengapa hari ini begitu berbeda dengan hari-hari lainnya. Mungkin peribahasa yang pas dan akurat adalah bagai mendapat durian runtuh atau bagai kucing diberi ikan, aku tidak tahu pasti peribahasa yang tepat. Akan tetapi gambaran hatiku adalah senang luar biasa.

Hari ini adalah hari aku akan mengunjungi harta yang hanya Indonesia yang punya. Semua orang belum tentu memiliki kesempatan beruntung ini.  Mengunjungi habitat yang merupakan rumah terakhir di bumi yaitu Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang setelah April 2011 dinyatakan telah punah di Vietnam Selatan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Matahari masih belum muncul, Kota Serang masih tertidur dari malam gulita yang memeluknya semalaman. Aku tidak bisa tidur, selain karena banyak nyamuk betina yang menyerang secara sporadis juga karena aku akan melakukan perjalan hebat hari ini. Di depan halte kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa saya menunggu rombongan tim WWF yang akan menjemputku. Beberapa kali melongok jam, sepertinya penjemputan akan molor.

Dalam menunggu, aku perhatikan laki-laki tua yang sedang menjajakan koran. Akhirnya  menghubung-hubungkan lelaki tua itu dengan Badak Jawa yang akan kukunjungi tempat hidupnya hari ini. Ada satu persamaan dari mereka, yaitu lemah dan mencoba bertahan dengan kekuatan yang ada. Laki-laki itu tampak didikte waktu, apa yang bisa dia perbuat dengan umurnya yang renta itu. Usianya yang tidak lagi hijau, tetapi dunia selalu menuntutnya untuk selalu bisa bertahan. Sama seperti Badak Jawa.

Tidak lama kemudian telepon genggamku berdering, satu pesan singkat masuk. Pesan singkat dari Mbak Yoan yang akan menjemput saya pukul 10.00 di sekitaran pintu tol Serang Timur. Lalu lalang kendaraan yang mulai membanjiri jalanan perlahan menunjukan aktivitas Kota Serang seperti biasa. Tiga jam kemudian telah berlalu, aku telah dibawa sebuah minibus menembus bermil-mil jarak untuk sampai di kantor WWF di Carita-Anyer.

Setelah berkemas, kami dibawa ke Sumur-Pandeglang, suatu tempat yang mengisyaratkan kami untuk ganti kendaraan. Saatnya kami membelah lautan, bukan lagi menjelajah tanah. Penduduk desa berkutat dengan kesehariannya sebagai kampung nelayan. Ramai anak-anak kecil yang mandi di tengah deburan ombak yang membawa beberapa potongan sampah plastik yang mereka acuhkan pada akhirnya.

Ada rasa bahagia manakala senja akan segera berakhir, malam pun akan datang. Matahari merah saga adalah hal terindah hasil sang pencipta kala itu, cahayanya berpendar keluar di antara gumpalan awan yang menghalangi sinarnya. Kehidupan dipantai akan segera dimulai, para bapak akan segera pergi melaut atau sekedar melongok jaring di tengah laut yang sengaja mereka pasang kemarin malam.

Malam telah datang, kami menyeberangi untaian Selat Sunda menuju ke Pulau Handeuleum. Tidak lama, hanya 1 jam 35 menit. Di seberang tampak  punggung Pegunungan Honje seperti seekor naga yang sedang tertidur pulas. Batas yang menghalangi pandangan dengan Samudera Hindia di selatan. Perjalanan kami hanya disuguhi lautan yang luas di satu sisi dan dan tembok Pegunungan Honje di sisi lain.

Pulau Handeulum telah menanti. Dia adalah pulau kesepian di antara pulau lainnya, walaupun  masih ada empat pulau lain yang menemaninya, yaitu Pulau Rengit, Panggarangan, Boboko, Handeleum kecil yang sama kesepiannya dengan Handeuleum. Hanya angin yang menyapa di pagi dan malam hari. Sepertinya dia akan bahagia karena malam ini kami akan menemaninya. Akan ada  kehidupan yang mengisi hari-harinya yang selalu berteman sepi. Biasanya dia hanya ditemani 3 petugas, 30 ekor rusa (Cervus Timorensis), 2 kelompok kawanan kera (Macaca fascicularis) dan barisan Mangrove dari Jenis Rhizhipora dan Pidada yang melindunginya, berdiri  menantang ombak. Akar-akar Pnemeumotofora seperti pensil mencuat diantara karang dan lumpur pasir tepian pulau, sulit sekali memang memperoleh oksigen dari tanah dengan salinitas tinggi.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Dermaga pulau Handeuleum tak beda kesepiannya, dia hanya menunggu kapal-kapal yang diharapnya bersandar. Jika dia bisa bicara, pasti bahagia rasanya didatangi kami yang ceria sekali malam itu. Sebenarnya kami lelah, tapi dermaga itu telah memberikan kebahagian pada kami lagi, lampunya yang tidak terlalu terang mencoba memberi kami cahaya dan menuntun kami pada tempat penginapan.

Aku membayangkan betapa indah melihat mentari muncul dibalik selimut malamnya, datang memberikan  ke seisi pulau dan lainnya. Keindahan yang tak terbantahkan, rasanya aku ingin sekali menuliskan sepenggal cerita hidupku di sini. Di antara deburan ombak yang saling mengejar, di antara pulau-pulau yang kesepian.

Di antara besi yang perlahan korosi dan kayu yang mulai lapuk, aku bersyukur telah dipanjangkan umur dan Tuhan  telah memberikan  kesempatan aku untuk dapat melihat keindahan ciptaanya lagi. Hanya satu pintaku kala itu, “bantu kami menjaga keindahan ini Tuhan, berikan kami daya dan upaya untuk dapat menunjukannya kelak kepada anak cucu kami”.

Hari kedua, 10 Nopember 2015.

Hari ini kami akan canoing ke Cigenter dan melihat kehidupan mereka dari dekat. Untuk memulainya kami sarapan terlebih dahulu yang menjadi sarapan terenak di dunia. Bayangkan saja, jauh dari hiruk pikuk kota dan penduduk, makanan kami lezat sekali, ayam, tempe, tahu, sayur, ikan dan tidak ketinggalan lalapan terbaiknya. Spot paling tepat untuk sarapan disini tentu saja menghadap ke laut.

Tetapi jangan kaget jika sewaktu makan bakal ada rusa yang datang menghampiri untuk ikut meminta makan. Rusa di pulau ini telah berubah kebiasaannya dari herbivora menjadi omnivora. Dia memakan apapun yang diberikan penghuni pulau, hal ini dikarenakan musim kemarau telah membuat rumput yang harusnya hijau jadi kering kerontang. Dan daun-daun yang harusnya mereka dapat nikmati telah meranggas karena jatuh menguning untuk mengurangi penguapan batang pohon.

Di sini tenang sekali, seperti pertanyaan dalam sebuah film “Gravity”, apa sebenarnya yang membuat manusia merasa harus mengasingkan diri? Mengapa begitu menyukai keheningan? Seperti di luar angkasa misalnya?. Jawabannya karena itu bisa menimbulkan kedamaian dan ketenangan. Berapa juta orang yang terjebak di antara kesibukan yang mendera, harus melakukan rutinitas yang aduhai sangat membosankan sekali. Aku mengerti sekarang mengapa ketenangan dan kedamaian adalah kunci kebahagian dan berharga sangat mahal sekali. Banyak orang telah mengacuhkannya dan perlahan-lahan menganggap itu tidak penting. Kasihan sekali.

Pulau Handeuleum  telah menjadi penyelamat ratusan orang atau mungkin bahkan ribuan orang yang telah mendatanginya. Tempat ini seperti menegur kita untuk rehat sejenak dari perjalanan hidup yang teramat melelahkan. Bagi siapapun yang datang ke pulau ini, aku yakin, pulau ini akan ada di cerita kehidupannya sebagai kenangan indah. Menjadi tempat yang ingin dikunjunginya lagi manakala berhadapan dengan kehidupan yang amat membosankan, yang membutuhkan tempat menyepi dan jauh dari hingar bingar kota.

Perjalanan ke Cigenter tidak membutuhkan waktu lama, hanya 15 menit. Kami telah sampai di muara Sungai Cigenter. Berjalan diantara tepian pulau yang jaraknya hanya hitungan meter saja. Tentu selat ini tidak ada namanya, yang jelas celah lautan diantara Pulau Handeuleum dan Semenanjung Ujung Kulon ini. Ciri yang khas yaitu tepian yang ditumbuhi mangrove dan hutan khas pantai.

Perahu  yang kami tumpangi berkapasitas 30-40 orang, tapi kami hanya 22 orang saja, itu sudah termasuk petugas Kapal dan petugas Taman Nasional Ujung Kulon. Perahu berukuran besar ini tampak leluasa untuk kami bermain dan sekadar berfoto ria, selfie istilah kekiniannya. Beberapa jepretan telah mendokumentasikan gambar kami yang senang bukan kepalang.

Ada para blogger dari jauh seperti Yogya, dan orang terbaik dari media termahsyur di Indonesia seperti VIVA.co.id, Kompas, Media Indonesia, National Geographic, Banten Pos, dan Satelit Pos, serta dua mahasiswa dari IPB dan Universita Jenderal Soedirman yang merupakan para pemenang Lomba Menulis Cerita Anda, sama sepertiku.

Kami saling bertukar cerita dan berbagi pengalaman hidup. Saling mewarnai kisah-kisah hidup dengan cerita-cerita berkesan dan sulit dilupakan. Diantaranya ada yang tertular virus merah jambu, atau sekadar saling nyaman, tidak pasti tepatnya. Mereka menjadi keluarga kami yang baru, keluarga yang terlahir dari perjalanan yang menyenangkan dalam kesyukuran menikmati ciptaan Tuhan.

Ketika masuk ke Sungai Cigenter, kita dihadapkan dengan sungai berarus rendah dan berwarna kehijauan. Petugas bilang dalamnya 3-6 meter, dan banyak ikan di area ini dan tentu saja tidak boleh ditangkap karena masuk kawasan perairan Taman Nasional Ujung Kulon. Hal yang pertama kali terbayangkan yaitu seperti memasuki sungai Amazon di Amerika Selatan (Brazil).

Tepi sungai ditumbuhi jenis Famili Palmae dengan tipe buah buni, seperti buah pandan yang menjuntai. Kayu-kayu besar yang condong kesana-kemari dan malang-melintang di sungai menjadi aral rintangan yang harus kami lewati. Di dalam hatiku kadang menyeruak, adakah seekor ular Anaconda atau buaya air tawar yang siap menyergap kami? Sepertinya pikiranku terbawa suasana ketika menonton film barat yang ekstrim seperti itu.

Kano yang kami naiki, kami dayung perlahan, membelah dan memecah perairan yang tenang.  Tidak ada suara apa-apa selain riuh Burung Rangkong yang berebut makanan atau mungkin juga sedang kawin. Sungai ini cukup menyeramkan, lebar badan sungainya 10-15 meter ketepian, ada jejak kaki entah Banteng (Bos javanicus) atau Badak (Rhinoceros sondaicus) di tepi sungai yang setengah basah dan berlumpur.

Sungai ini relatif bersih, tidak ada sampah plastik, yang ada hanya sampah reranting dan daun-daun yang terjatuh karena pohon meranggas karena usia. Itupun tidak banyak jumlahnya, bisa dihitung dengan jemari. Saya yakin kita semua sangat ketakutan, hanya petugas yang saling berbisik dan saling menimpali lelucon yang semuanya full dalam bahasa sunda.

Sesampainya di lokasi Rhino Monitoring Unit (RMU) kami dijelaskan bagaimana kehidupan badak liar dihabitatnya oleh petugas. Hal yang unik yaitu adanya tempat makan yang mereka sebut sebagai restoran. Tempat badak menghabiskan waktu untuk menikmati pucuk-pucuk tanaman Bangban (Donax cannaeformis) dan Tepus (Amomum spp).

Sebenarnya ada 253 jenis tanaman menurut petugas yang bisa menjadi makanan badak dikawasan Ujung Kulon, namun invasi tanaman Langkap  (Arenga obtusifolia) telah mengurangi keberadaan mereka dan tutupan langkap juga mempengaruhi pertumbuhan mereka. Penelitian yang pernah dilakukan, Langkap memiliki kemampuan alelopati pada sistem perakaran dan menyebabkan taman lain yang ada dibawahnya tidak dapat tumbuh dengan baik atau sulit tumbuh.

Setengah hari kami berjalan dibawah belanatara tapi tidak menemukan apa-apa, hanya ada kubangan dan bekas badak menggesekan badannya ke permukaan kulit pohon, beserta kamera trap yang dirancang tim RMU untuk mengamati perkembangan badak agar bisa dimonitoring dengan baik. Petugas RMU ada yang menunjukan cara kerja kamera itu dan mengambil setiap gambar yang bergerak di depannya.

Kala itu mendung tiba, awan hitam menggelayut di antara langit-langit Semenanjung Ujung  Kulon. Pertengahan hari kami segera kembali pulang dengan perasaan yang was-was, khawatir hujan akan mendera. Ini akan sangat merepotkan manakala kami berada di kano dengan aliran sungai yang bisa saja berubah menjadi sangat deras.

Perasaan kecewa tentu ada, tapi kami cukup tahu diri. Dengan jumlah kami yang hampir dua lusin ini mana mungkin kami bertemu dengan badak. Mereka akan berlari terbirit-birit manakala mendengar suara kami yang gaduh dan sangat mengganggu. Cerita beberapa petugas yang kebetulan pernah bertemu dengan Badak Jawa membuat kami senang, karena kami telah berkunjung ke rumahnya. Masalah yang punya rumah tidak ingin menemui atau sedang tidak ada di rumah itu soal lain. Ada rasa pesimis ketika perjalanan pulang ke Handeuleum lagi. Hanya Semenanjung Ujung Kulon ini tempat mereka akhirnya harus memasrahkan diri dan hidup.

Sepanjang siang di pulau Handeuleum aku mengamati beberapa tumbuhan yang hidup di antara karang-karang dan pasir yang begitu menyulitkan untuk dapat hidup. Mereka bertahan dengan memaksa diri untuk bisa mengirim air dan garam mineral melalui pembuluh xilem yang tak henti berkerja. Hingga akhirnya selalu ada kesuksesan dari lelahnya bertahan, yaitu bunga yang indah di karang yang kering.

Setelah bersiap, tempat selanjutnya yang menjadi persinggahan adalah Paniis, sekitar 20 menit dari Taman Jaya. Perjalanan dari Pulau Handeulum memakan waktu satu jam lebih  ke Paniis. Ombak-ombak menjadi sangat garang, arus membuat kami terombang ambing, percikan air tidak jarang muncrat sampai di wajah kami yang lelah. Rasa asin yang sampai pada indra pengecap membuat kami beringsut mencari perlindungan agar terbebas dari percikan air laut. Perlahan kami meninggalkan Handeleum dan meninggalkan sejuta kenangan yang akan selalu kami kenang. Selamat tinggal Hadeuleum.

Kini tampak lagi punggung Pegunungan Honje yang membentang, puncak tertingginya yaitu 620 meter. Tidak terlalu tinggi untuk sebuah gunung, atau mungkin juga tidak diklasifikasikan menjadi gunung. Perlahan dermaga Taman Jaya mulai nampak, bentuk dan rupanya tidak banyak jauh berbeda dengan dermaga Pulau Handeuleum. Barisan nyiur (Cocos nucifera) adalah satu satunya yang kontras dengan Handeulum. Kehidupan disini juga lebih ramai, bahkan sangat ramai. Ini adalah perkampungan masyarakat yang hampir ujung sebelum Ujung Jaya. Desa terakhir yang berdekatan dengan Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Setelah sampai, kami sudah ditunggu minibus dan langsung melaju ke Desa Paniis. Desa Paniis merupakan desa binaan WWF yang konsen dalam pelestarian terumbu karang, waktu tempuh hanya 20 menit dari Taman Jaya. Begitu sampai ditempat, kami disambut para pemuda yang sedang mempersiapkan jamuan. Siang hari seperti ini memang pasnya minum kelapa muda. Nikmat sekali, semua orang pasti setuju  dengan pendapat saya.

Malam ini ada acara hiburan dari masyarakat, penghiburnya adalah nenek-nenek dan para pemuda desa yang yang saling melengkapi dalam pertunjukannya. Entah ditunjukkan untuk kami atau memang sudah agendanya, saya juga tidak tahu. Tapi yang jelas, mereka meminta keberkahan sebelum musim penghujan masuk. Meminta agar padi mereka tidak dikenal hama dan bisa membuahkan hasil yang baik. Pemahaman kearifan lokal yang masih mereka pegang sampai saat ini sebagai warisan budaya.

Hari Ketiga, 11 November 2015.

Selamat pagi Paniis. Hari ini kami telah sarapan dan agenda kami yaitu snorkeling dan diving. Sebelum berangkat kami bermain-main di pantai sembari menikmati cerahnya suasana pagi hari.

Setelah acara snorkeling dan diving selesai di Pulau Badugul, tempat kami berkunjung selanjutnya yaitu Vila Honje, waktu tempuh ke Vila Honje hanya satu jam kurang. Garis pantai dan tepiannya tidak jauh berbeda dengan laut kebanyakan, ditumbuhi ketapang di bagian depan dan cemara laut. Setelah bersih-bersih, kami makan siang dan mengikuti pelatihan membuat cendera mata patung dan seni lukis badak.

Tidak ada yang lebih indah selain perjalanan ke negeri badak ini. Perjalanan yang bukan hanya sekadar ekspedisi, tetapi juga perjalanan hati. Makin sempurna manakala di penghujung acara kami diperkenankan untuk dapat menerima bingkisan berupa hadiah terindah menjadi juara.

Mengesankan, bagai mimpi yang terasa menjadi nyata, semua hal indah itu datang bersamaan. Tiga orang pemenang dengan cerita masing-masing untuk upaya konservasi dan pelestarian Badak Jawa dan saya berkesempatan untuk ambil bagian di dalamnya. Senang berkecamuk dengan bangga. Perpaduan yang indah untuk semangat menulis di masa yang akan datang. Semoga bisa menjadi penulis hebat. Amiin

Perjalanan pulang

Hari ini semua telah selesai. Pertemuan dan kebersamaan kami akan segera berkahir. Berlebihan sekali jika harus menitikan air mata. Tapi satu keyakinan yang pasti, hati setiap orang akan tertambat ke perjalanan ini. Perjalanan yang lebih dari sebuah misi. Perkenankan saya menggambarkan suasana ketika pulang dengan meminjam sebuah prosa lirik, Negeri Badak karya F. Rahadi:

KKN 136 UMM Adakan Penyuluhan Pemanfaatan Serbuk Kayu


Jalan raya Cimanggu-Panimbang
Panjang dan berliku
Lewat Cigeulis
Deretan hutan manggis
Kadang-kadang batang melinjo
Bukit bukit itu
Kawasan selatan Kabupaten Pandeglang
Seperti sedang tertidur nyenyak
Diayun-ayun naik turun
Menikung
Kadang-kadang aspal itu tipis dan mengelupas
Atau bolong-bolong
Jembatan-jembatan kecil
Semua harus dilewati dengan sangat
Hati-hati


Kesan bahagia dan mendalam telah berkesempatan ikut di perjalanan ini. Perjalanan hati yang akan selalu melekat abadi. (Cerita ini dikirim oleh Gigin Ginanjar – Pemenang Ketiga Lomba Menulis Cerita Anda)

Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016