Sumber :
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id
- Sulit dipercaya, berkat kerja kerasnya selama ini dan lika-liku kehidupan yang telah ia jalani membuat kehidupannya berubah. Mental yang sudah terbentuk sejak ia kecil membuat dia terbiasa dengan kerasnya kehidupan.
Hidup tidak akan pernah berubah dengan sendirinya, itulah hal yang selalu ada di pikiran Wahyudin, seorang pemulung yang pada saat itu baru berusia 21 tahun. Tekadnya untuk terus mendapatkan pendidikan yang layak membuat dia berjuang dengan sangat keras.
Baca Juga :
Belajar Mengulik Kuliner dari Pak Bondan
Baca Juga :
Klenteng Hok Tek Tong Penyelamat Eddy
Profesi menjadi seorang pemulung dia geluti hingga remaja. Terlahir sebagai anak dari seorang buruh tani, membuat Wahyu, nama yang biasa orang-orang memanggilnya, sadar bahwa tidak mungkin mengharapkan banyak dari orangtuanya untuk biaya pendidikanya.
Setapak demi setapak dia berjalan, dengan hanya diterangi oleh cahaya bulan dan lampu-lampu jalan yang sudah menjadi teman keseharian Wahyu dalam mencari sisa-sisa gelas air mineral. Tiupan angin yang menusuk tulang tidak membuat pria ini menjadi putus asa.
Ketika dia mulai memutuskan untuk menjadi seorang pemulung, banyak sekali cibiran dan pandangan yang tidak mengenakan. Namun, Wahyu tetap tegar dan terus berusaha meraih mimpinya, bagaikan anjing menggonggong kafila tetap berlalu. Bahkan, pada suatu kesempatan dia punĀ pernah merasa takut karena pemulung sering dianggap sebagai maling.
Memiliki wajah bagaikan seorang model, sepintas Wahyu tidak terlihat jika dia adalah seorang pemulung. Saya pikir mungkin hanya akan ada di sinetron-sinetron pemulung berparas rupawan, tapi ternyata tidak. Bukan hanya memiliki tampang rupawan, dia juga terlahir sebagai anak yang cerdas dan memiliki tekad yang sangat kuat.
Meskipun dia harus bekerja keras, Wahyu tidak pernah bermasalah dengan pelajaran di kampusnya. Ini dibuktikan dengan keberhasilannya menjadi mahasiswa yang dapat meraih IPK 3,85 di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.Hamka (Uhamka), Fakultas Ekonomi, tahun 2013.
Sebuah pribahasa mengatakan, "berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian", inilah yang di buktikan oleh Wahyu. Walaupun menjadi seorang pemulung, dia tetap bisa menyelesaikan sarjananya dengan nilai yang memuaskan. Serta pribahasa lain menyebutkan, "tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina", ini juga yang dilakukan oleh Wahyu. Tidak puas akan gelar sarjananya, kini ia sedang melanjutkan pendidikan S2-nya di Institut Teknologi Bandung.
(Cerita ini dikirim oleh M. Saepul Rizal, Mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Setapak demi setapak dia berjalan, dengan hanya diterangi oleh cahaya bulan dan lampu-lampu jalan yang sudah menjadi teman keseharian Wahyu dalam mencari sisa-sisa gelas air mineral. Tiupan angin yang menusuk tulang tidak membuat pria ini menjadi putus asa.