Mengenal Sanksi Adat Suku Rejang

Rumah adat Rejang
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Keberadaan suku dengan populasi terbesar di Provinsi Bengkulu ini dikenal dengan nilai kebudayaannya yang tinggi. Bahkan sejak dahulu peradaban suku Rejang sudah lebih maju dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Terbukti bahwa suku Rejang sejak dahulu sudah memiliki pemerintahan sendiri. Dengan adanya pemerintahan itu menandakan bahwa masyarakat Rejang sudah memiliki hukum adat yang dipatuhi oleh penduduknya.

Wahai Orang yang Tidak Berpuasa, Hormatilah Bulan Ramadan

Suku Rejang termasuk suku tertua di Sumatera. Suku ini menyebar di lima kabupaten dalam Provinsi Bengkulu. Seperti Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kepahiang, Lebong, dan Rejang Lebong (RL). Peradaban maju suku Rejang tidak hanya dilihat berdasarkan hukum adatnya saja, tetapi suku ini juga sejak dahulu sudah mengenal tulis-menulis yang dikenal dengan huruf Rikung atau Ka Ga Nga. Kemudian suku ini juga sudah mengenal karya seni sastra yang diaplikasikan dalam seni bertutur. Biasanya digunakan pada saat acara-acara adat.

Kebudayaan masyarakat Rejang ini sulit untuk menerima pendapat di luar kelaziman pendapat mereka. Hal ini menandakan keyakinan dan ketaatan masyarakat Rejang terhadap adat-istiadat yang berlaku sejak dahulu kala. Di sini sudah terlihat bahwa sejak zaman dahulu, suku Rejang sudah memiliki adat-istiadat. Bahkan, hingga kini masyarakat Rejang masih mempertahankan kebudayaannya. Karena itu hukum adat seperti denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga sekarang.

Jadi Dewa Mabuk Sehari

Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, penyiksaan, dan pemberian hukum denda terhadap pelaku zina. Dikarenakan kesesuaian tradisi Rejang dengan ajaran Islam, suku Rejang telah mengubah kepercayaan terdahulu mereka ke ajaran agama Islam.

Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten RL, A. Rauf, mengatakan, adat Rejang merupakan kekayaan spiritual yang harus dipertahankan dan dikembangkan serta dijaga kelestariannya. Dia juga mengatakan, tujuan nenek moyang terdahulu menciptakan adat istiadat adalah untuk menciptakan kedamaian, ketenteraman, keamanan, dan kenyamanan. Semua itu dikenal dengan istilah Adat Nak Beak Nioa Pinang. "Karena itu, apabila terjadi perselisihan, permasalahan, atau pelanggaran akan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat," ujar Rauf.

Ramadan sebagai Rekonstruktor Social Behavior

Dijelaskan Rauf, pelanggaran masyarakat Rejang disebut dengan cepalo. Mereka yang terkena cepalo ini harus menerima sanksi adat atau denda adat. Denda adat yang akan diberikan kepada mereka yang melakukan cepalo berbeda-beda bentuknya, tergantung dengan berat dan ringannya pelanggaran. Biasanya, denda yang harus disiapkan oleh pelanggar adat berupa iben de saghen, buah sirih, punjung mentah, kain putih dan membayar denda yang dihitung berdasar berat dan ringannya pelanggaran dengan ria.

Dijelaskannya, 1 ria sama dengan 2 kaleng beras, kalau dirupiahkan berarti Rp 300.000. "Penentuan denda adat ini tergantung dengan berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Nanti diputuskan berdasarkan sidang adat yang dihadiri oleh kutei (masyarakat), rajo (lurah/RW/RT), BMA, imam dan pemuka masyarakat," jelas Rauf lagi.

Hari pertama saat berlangsungnya Mubes HIMSI UMI, Makassar.

Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris UMI

Acara besar ini akan berlangsung selama dua hari.

img_title
VIVA.co.id
15 Juni 2016