Belajar Arti Kebinekaan dari Suku Tengger

VIVA – Pagi itu, sekitar pukul 09.00 WIB, terdengar suara musik gamelan yang mengalun merdu. Seakan benak dibawa ke arah bayangan zaman dahulu, saat masyarakat Indonesia memeluk ajaran agama Hindu. Suara itu makin lama semakin kencang. Bukan hanya suara gamelan saja, melainkan juga iringan terompet, saron, dan juga gendang menjadi satu, membelah dinginnya suhu lereng pegunungan Bromo pagi itu.
Perlahan, satu per satu warga mulai mendatangi pusat suara. Dengan memakai pakaian yang serba hitam, mereka langsung menduduki tempat yang telah disediakan oleh panitia yang menggelar ritual Nyadran di Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Mulai dari yang paling kecil, hingga yang sudah tua duduk bersebelahan sambil menunggu warga yang lain yang akan mengikuti upacara itu. Upacara ini masih dalam rangkaian upacara Hari Raya Karo yang digelar oleh warga suku Tengger yang beragama Hindu.
Setelah semuanya sudah berkumpul, acara penutupan Hari Raya Karo itupun digelar. Diawali dengan sambutan dari kepala desa dan camat, acara itu terlihat khusyuk dan khidmat. Tampak semua yang mengikuti ritual ini mendengarkan dengan serius apa yang disampaikan oleh kedua tokoh tersebut.
Selesai kedua tokoh itu memberikan sambutannya, tibalah waktunya ritual inti. Yakni pembacaan mantra sebagai pengantar roh para leluhur untuk kembali ke alamnya setelah selama kurun waktu satu minggu diundang dalam perayaan Hari Raya Karo atau yang juga dikenal dengan Pawedalan Jagat.
Aroma menyan dan dupa telah menyerbak memenuhi penjuru acara ritual di Balai Desa Sapikerep. Berbagai sesajen, mulai dari gedang ayu (pisang satu tandan), nasi, ayam, dan juga perangkat nginang yang sedari tadi dipersiapkan akan mulai dimantrai. Sang dukun memulai matra, dengan diiringi suara ting ting ting yang keluar dari alat yang dibawa oleh dukun dalam setiap ritual keagamaan Hindu.
Para umat Hindu nampak mulai lebih kekhusyukannya. Mereka tidak ada yang berbicara, hanya mendengarkan apa yang dibacakan oleh dukun di awal permulaan upacara ritual Nyadran itu. Setelah dipanjatkannya matra oleh dukun pandita desa setempat, barulah kemudian para warga yang sedari tadi khusyuk mulai berdiri dan mengikuti gelaran ritual dengan membawa sebuah gulungan yang berisi bunga untuk melakukan ritual Nyadran.