Kisah Mbah Punilah, Kuli Panggul di Pasar Pondok Labu

Ilustrasi pedagang cabai di pasar.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Wajahnya selalu tampak gembira, tak pernah terlihat perasaan sedih. Senyum ramah dan wajah riang selalu diperlihatkan kepada semua orang. Tak pernah dia meminta belas kasihan dari orang lain. Hari-harinya dijalani dengan penuh semangat. Tak pernah dia mengeluh apalagi  berputus asa.

Diadaptasi dari Novel, Serial Sabtu Bersama Bapak Bakal Tayang di 240 Negara

Dia selalu menjalankan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Meskipun banyak orang mengatakan pekerjaan  itu sangat rendah dan tidak pantas dilakukan oleh mereka. Namun baginya, apapun pekerjaannya, harus selalu dijalankan dengan sebaik mungkin.

Ya, inilah sekilas tentang sosok Mbah Punilah yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Pondok Labu, Jakarta Selatan. Mbah Punilah adalah seorang ibu berumur 75 tahun yang mempunyai 5 orang anak dan 15 orang cucu. Adapun suaminya hanya seorang buruh tani yang penghasilannya tidak menentu.

Pergilah Dinda Cintaku

Mbah Punilah, begitulah orang-orang menyebutnya. Mbah Punilah berasal dari Kulonprogo, Yogyakarta. Ia memiliki seorang suami yang berprofesi sebagai petani. Untuk membantu suaminya, wanita yang sudah berusia 75 tahun tersebut memilih berprofesi sebagai kuli panggul di Pasar Pondok Labu demi menghidupi 5 orang anak dan 15 orang cucunya.

Mbah Punilah rela bekerja sebagai kuli panggul demi mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Mulai dari makanan yang dimakan setiap hari, biaya untuk beli pakaian, dan lain-lain. Hampir semuanya ditanggung oleh Mbah Punilah.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Walaupun penghasilan Mbah Punilah setiap harinya tidak seberapa dan tidak menentu. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, tenaga yang sudah tidak seperti dulu lagi, dan tubuh yang renta, namun Mbah Punilah tetap dengan semangat menjalani pekerjaannya sebagai kuli panggul di pasar.

Mbah Punilah bekerja di Pasar Pondok Labu yang ada di Jalan Pasar Pondok Labu Raya, Jakarta Selatan. Setiap hari, Mbah Punilah berangkat dari rumahnya menuju pasar tempat dia bekerja dengan berjalan kaki. Mbah Punilah bekerja mulai dari pukul 09.00 sampai 16.00 WIB. “Ya enggak tentu. Dalam sehari kadang-kadang dapat Rp25 ribu,” ujarnya.

Walaupun pekerjaannya tidak sebanding dengan upah yang diterima, namun Mbah Punilah ikhlas menjalani pekerjaan tersebut. Dengan penghasilan yang tidak seberapa itu, Mbah Punilah masih bisa menyekolahkan anaknya. Mbah Punilah mempunyai keinginan besar, yaitu agar bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang sarjana. Begitu besar harapan Mbah Punilah kepada anaknya tersebut, agar bisa menjadi orang sukses dan bisa mengubah hidup keluarganya.

Ia sudah bekerja sebagai kuli panggul sejak berusia 15 tahun. Walaupun Mbah Punilah bekerja sebagai kuli panggul, namun ia tidak pernah merasa risih atapun malu. Mbah Punilah selalu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena di usianya yang sudah 75 tahun ini masih kuat menjadi kuli panggul. Demi anak-anaknya dia rela melakukan pekerjaan apapun. Yang penting baginya adalah halal.

Saat ini, Mbah Punilah dan suaminya hanya bekerja keras dan terus menabung untuk masa depan anaknya. Karena bagi beliau, umur tidak ada yang tahu. Hari ini ia bisa bekerja sebagai kuli panggul, tapi tidak tahu apa yang terjadi pada hari esok.

Banyak orang baik yang sering menolong Mbah Punilah. Tetangganya sering memberikan makanan bahkan uang sedekah pun pernah didapat oleh Mbah Punilah ini. Tapi tekadnya tetap bulat, ia tak mau hanya mengharapkan pemberian orang lain. Beliau tetap bekerja sebagai kuli panggul demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Banyak orang di luar sana  yang menjadi pengemis, padahal jika kita lihat fisiknya masih sehat, usianya masih muda tetapi malas bekerja. Mbah Punilah tak ingin menjadi seorang peminta-minta. Baginya, itu sesuatu yang sangat memalukan.

Lebih baik bekerja sebagai kuli panggul yang upahnya tak seberapa, tetapi halal, ketimbang menjadi orang minta-minta seperti pengemis yang ada di lampu merah. Baginya, jika masih mampu mencari pekerjaan, maka bekerjalah. Jangan menyusahkan orang lain. “Jalani pekerjaan itu dengan hati yang ikhlas, maka pekerjaan tersebut tidak akan terasa berat,” tutup Mbah Punilah. (Tulisan ini dikirim oleh Dina Chairina, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nasional)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya