Terorisme, Nalar Keagamaan yang Bengkok dan Muslim Apologetik

Terorisme Seakan Sudah Menjadi Penyakit Akut di Masyarakat.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Indonesia ternyata sekarang menjadi tempat yang sangat mudah menjadi tempat praktik terorisme dilakukan. Bayangkan saja pada hari yang sama pada Minggu (13/05/2018) terdapat empat peristiwa bom bunuh diri sekaligus di dua tempat yang berbeda, Surabaya dan Sidoarjo. Bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya sendiri tidak tanggung-tanggung langsung meledakkan tiga gereja sekaligus lalu kemudian disusul Sidoarjo beberapa jam berikutnya yang menewaskan sebanyak 17 orang sekaligus pelakunya.

Bantu Perangi Terorisme di Afrika, Adakah Niat Terselubung Amerika?

Dengan jarak sekitar 18 bulan berikutnya rupa-rupanya Indonesia kembali dikejutkan dengan kasus yang sama, yaitu bom bunuh diri. Bom bunuh diri yang berlangsung pada Rabu (13/11/2019) dilakukan dengan tidak kalah nekatnya dengan kejadian bom bunuh diri sebelumnya.

Markas Polisi Resor Kota (Mapolresta) Kota Medan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi setiap masyarakat tidak luput dari serangan bom bunuh diri yang menewaskan satu orang pelaku dan melukai enam orang lainnya ini.

Pemkab Tangerang Benarkan PNS Mereka Ditangkap Densus

Kasus-kasus tersebut belum temasuk kasus lainnya sebelum tahun 2017 yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. Seharusnya kasus bom bunuh diri yang sudah sering terjadi menjadi suatu tanda tanya besar bagi Indonesia di mana dengan masyarakatnya yang memiliki religiusitas yang tinggi dapat melakukan sesuatu yang banal dan destruktif.

Malahan pelaku dari kasus bom bunuh diri yang terjadi terutama yang terjadi di Medan kemarin memiliki pemahaman agama yang kuat bahkan bisa disebut sebagai orang yang taat beragama.

IDI Sukoharjo Minta Kasus Sunardi Tak Dikaitan dengan Profesi Dokter

Menurut Azyumardi Azra (dalam Adeney-Risakotta, 2015:208) agama memang bukan menjadi faktor utama sebab terjadinya terorisme. Kepentingan politik, ekonomi dan faktor-faktor non-religius lainnya perlu dimasukkan juga. Tetapi menafikan faktor agama sebagai salah satu faktor pemicu adalah sebuah kesalahan dalam melakukan analisis suatu kasus.

Inilah yang terjadi pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara dalam menanggapi kasus ini. MUI Sumatera Utara pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan, Rabu (13/11), tidak memiliki agama. Sebab, kata MUI Sumut, apa pun agamanya tidak ada yang mengajarkan perbuatan jahat termasuk bunuh diri dan sampai melukai orang lain.

Pendapat MUI Sumatera Utara ini sangat disayangkan karena terlalu menafikan faktor agama yang jelas terlihat pada kasus bom bunuh diri ini. Tidak bisa kita menyangkal bahwa dalam kegiatannya mereka tidak jarang bahkan hampir setiap kegiatan mereka selalu membawa atribut agama, meskipun sampai sini harus kita pahami bahwa atribut agama yang dibawa ini hanya sekedar pembungkus dari kegiatan banal yang mereka lakukan.

Selebihnya hanya jargon yang dijadikan nilai oleh mereka. Seperti yang dipaparkan Eko Armada Riyanto dalam bukunya yang berjudul Berfilsafat Politik (2014). Terorisme menurut beliau adalah suatu aktivitas yang tidak bisa kita pahami secara pasti target makna kepentingannya. Atau mungkin, makna sangat tidak penting bagi mereka. Terorisme ini seakan hanya memburu kematian, ketiadaan dan kehancuran.

Nihilisme sama sekali tidak memproduksi moral, tetapi sarat dengan jargon-jargon dangkal. Perkara nilai baik buruk direduksi pada jargon-jargon simbolistik, buah pikiran psikopatik atau manipulatif atas agama, religiusitas, dan nasionalitas. Tidak heran pelaku teror ini dianggap sebelum melancarkan aksinya sudah terlebih dahulu melakukan justifikasi atas pemahaman agama tertentu.

Hal tersebut sejatinya sangat mudah terjadi dalam agama Islam karena umat tidak memiliki lembaga otoritas keagamaan yang tunggal dan terpusat. Kejadian ini masih diperparah dengan adanya golongan Islam tertentu yang membenarkan kekerasan baik secara wacana maupun fisik terhadap hal yang dianggap berseberangan dengan ajarannya tersebut.

Menurut Aksin Wijaya dalam bukunya Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia (2018) hal inilah yang disebut sebagai nalar agamaisasi kekerasan. Menurut beliau hal ini terjadi karena kekerasan yang terjadi dalam suatu masyarakat sudah diacuhkan bahkan dianggap sah-sah saja.

Kekerasan akan menjadi suatu legitimasi apabila dilakukan secara akumulatif atau dilakukan secara terus menerus dari satu kekerasan kepada kekerasan lainnya dan selanjutnya akan terpatri menjadi nalar dalam masyarakat.

Setelah nalar kekerasan tersebut sudah terbentuk dalam masyarakat, maka kekerasan itu akan merembet pada ranah agama. Hal ini bisa mungkin terjadi sebab agama memiliki suatu hubungan yang bersifat simbiosis-mutualisme dalam artian agama tidak bisa hidup tanpa adanya suatu masyarakat.

Masyarakat juga memiliki wewenang-dalam artian luas-untuk mengatur serta mengontrol agama sehingga nalar agama tersebut akan sangat bergantung pada masyarakat yang mengaturnya. Apabila masyarakat telah terbiasa menggunakan nalar kekerasan, tak ayal agama pun akan ditarik ke dalam modus kekerasan.

Sejak awal, agama dijadikan sarana aksi, kreasi, dan nalar kekerasan. Kekerasan kemudian dianggap memiliki korelasi dengan ajaran agama, sehingga agama terjebak dalam suatu nalar kekerasan. Hal tersebut mengartikan, kekerasan telah mengalami pergeseran dari suatu budaya kepada suatu nalar agama yang diyakini ajarannya adalah suatu kekerasan dan telah dijustifikasi dengan menggunakan agama dan Tuhan.

Pernyataan MUI Sumatera Utara tanpa disadari nantinya dapat memunculkan preseden lain yang tidak kalah berbahaya apabila sudah terlanjur diresap oleh masyarakat. MUI Sumatera Utara khususnya dan seluruh elemen lembaga keagamaan lain seharusnya secepat mungkin menyadari dan tidak bersifat apologetis bahwa meskipun teroris oleh mereka tidak memiliki agama tetapi pada faktanya pelaku merupakan pribadi yang taat beragama.

Sudah seharusnya menjadi kebutuhan yang mendesak di kalangan ulama untuk memikirkan ulang, menafsirkan ulang, dan merumuskan ulang interpretasi-interpretasi tertentu ulama klasik dan abad pertengahan berkenaan yang berkaitan dengan ajaran agama. Untuk mencapai tujuan itu, kalangan ulama pertama-tama harus meninggalkan sikap defensif dan apologetis ketika melihat dan menanggapi aksi teror yang dilakukan kelompok muslim tertentu.

Mereka harus mengakui bahwa benar ada di antara mereka kalangan muslim yang memahami kegiatan terorisme sebagai suatu penafsiran atas sebuah ajaran agama. Sikap ketidakpercayaan itu sebenarnya cukup beralasan karena ada beberapa faktor yang membuat suatu lembaga keagamaan bisa berpikir dangkal seperti itu.

Pertama, mayoritas Muslim Indonesia percaya bahwa mereka telah menerapkan suatu ajaran Islam yang moderat. Kedua, Muslim pada umumnya percaya bahwa aksi terorisme tidak ada dan diharamkan dalam ajaran Islam. Ketiga, tidak ada alasan apapun melakukan aksi terorisme di Indonesia karena Muslim Indonesia dianggap Muslim yang bebas dengan rezim pemerintahan yang sama sekali tidak membenci dan memusuhi Islam.

Upaya penganggulangan terorisme di Indonesia-bahkan dimanapun-tidak hanya bisa mengandalkan cara soft power melalui peninjauan ajaran agama. Tetapi perlu juga dengan metode hard power yang dilakukan dengan penegakan hukum, pembentukan BNPT, pelibatan TNI dan Polri.

Adapun dikarenakan terorisme merupakan bentuk kejahatan yang mengancam keamanan dan ketertiban tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia, maka diperlukan kerjasama baik bilateral maupun multilateral. Untuk itu Indonesia juga telah menjalin kerjasama penanggulangan terorisme di tingkat regional dan internasional. Bentuk kerjasama ini merupakan upaya penanggulangan terorisme dari aspek eksternal.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.