Komunikasi dan Kebaikan

6 Jenis Perkataan Menurut Al-Qur'an
Sumber :
  • vstory

VIVA – Bahwa semua agama mengajarkan kebaikan adalah hal yang tidak sulit untuk mendapatkan kesepakatan di antara manusia. Berbeda ketika bicara soal kebenaran atau keyakinan/keimanan. Persoalan kebaikan menjadi titik temu di antara agama yang ada di dunia.

Perubahan Ponsel Genggam Menjadi Penunjang Kehidupan di Kota Cimahi

Kebaikan seharusnya bersifat universal. Kebaikan menyangkut kemanusiaan, misalnya, harusnya berlaku bagi semua manusia tanpa kecuali. Kebaikan ritual seringkali melupakan kepada kebaikan hakiki. Dalam satu agama pun, kebaikan ritual sering kali sulit untuk disepakati.

Sementara itu, dalam Dinul Islam, justru manusia diingatkan bahwa keimanan atau kepercayaan harus sejalan dengan kebaikan (kemanusiaan dan ritual). Dalam QS Al-Baqarah:177, digunakan kata Al-Birru untuk menjelaskan kebaikan, bukan Al-Khair, Al-Ma'ruf atau Al-Ihsan.

4 Tuntutan Massa Driver Ojol yang akan Ditangani Ganjar Pranowo

Dari banyak keterangan diperoleh penjelasan bahwa Al-Birru lebih sakral, sifatnya vertikal, terdapat di sana alasan dan pertanggungjawaban. Dalam ayat di 177 Surah Al-Baqarah di atas, disebutkan bahwa kebaikan (sejati) bukanlah sekadar persoalan menghadapkan wajah ke arah timur dan barat. Akan tetapi dijelaskan bawa kebaikan sejati itu ialah integrasi antara aspek-aspek keimanan, kebaikan dan perilaku pada umumnya.

Lebih lanjut mengenai penggunaan kata Al-Birru pada QS 2:44, 5:2, yang berkaitan dengan perilaku keteladanan dan tolong-menolong kepada sesama. G.A Parwez dalam Explanation of The Holy Quran menjelaskan ayat 177 Surah Al-Baqarah ini, dimulai dengan penjelasan keberadaan civil law berupa fabricated syari'ah atau syariah palsu yang menurutnya hanyalah kumpulan ritual, yang ketaatannya dipegang untuk tujuan agama (agama, cara hidup).

Kemnaker Pertemukan SP dan Manajemen Pertamina, Batal Mogok Kerja?

Menurut hukum ilahi, tujuan penting dari agama atau dien atau cara hidup tidak dipenuhi oleh pertunjukan mekanis ritual, misalnya, berbalik ke arah timur atau ke barat saat salat, namun membutuhkan paket keimanan mulai dari kepercayaan pada Allah; Hari akhir di mana berlaku Hukum Mukafat (retribusi, perhitungan sesuai dengan apa yang dilakukan); kepada malaikat; para nabi dan kitab-kitab yang diwahyukan melalui para Nabi; Dan menyusul setelah itu adalah pembentukan sistem di mana semua sumber daya termasuk manusia yang ditujukan dalam pemenuhan kesejahteraan manusia itu sendiri.

Keharusan tegaknya sebuah sistem di mana anggota masyarakat mematuhi hukum ilahi secara sukarela dan sarana pembangunan diberikan kepada semua pihak yang membutuhkannya. Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, kita harus dapat saling menghormati (respek) sesama manusia dengan terkait janji dan komitmen kita, tolong-menolong, kesabaran dan ketabahan dalam sebuah kondisi bahaya jangan sampai ketakutan dan keputusasaan melemahkan kita.

Inilah, mereka yang mengikuti jalan ini dengan teguh membela klaim mereka sebagai orang yang beriman dan mereka berhak mengklaim sebagai penegak hukum ilahi (bukan orang-orang yang mengklaim untuk mewarisi surga dengan mengamati ritus-ritus tertentu yang mereka klaim adalah agama).

Menarik apa yang disampaikan oleh Zia H Shah MD, Chief Editor of the Muslim Times, bahwa serangkaian keyakinan yang dilanjutkan dengan serangkaian perbuatan baik, hubungan yang rumit antara keduanya. Banyak yang mengambil seperangkat keyakinan sebagai dogma atau tongkat sihir yang jika dipercaya akan menghasilkan kesuksesan tertentu di sini dan di akhirat.

Tapi, lihat apakah kita (harus) percaya bahwa Yesus telah mati karena dosa-dosa kita atau dalam hal ini N. Musa atau N. Yusuf mati untuk dosa-dosa kita atau Nabi Muhammad SAW pernah memasuki surga secara fisik, gagasan atau kepercayaan yang dipegang teguh ini tidak berbeda dari pengetahuan atau kepercayaan bahwa meja yang sedang saya lihat di tengah kamar saya, saat ini terbuat dari kayu.

Menurutnya, keyakinan seperti di atas tidak memiliki nilai transformatif pada karakter. Tetapi, sebuah kepercayaan yang dikumpulkan melalui pengalaman hidup yang panjang. Di dalam Tuhan yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Penyayang dan yang Maha Lembut, yang mencintai kita dan telah mengungkapkan diri-Nya melalui para nabi dan kitab suci dan mengajarkan kita masalah pertanggungjawaban pada Hari Pengadilan, memiliki kemampuan untuk tersentak jiwa kita dan membuat karakter berbelas kasih, dan jujur.

Keyakinan yang begitu dalam dipegang dan berpengalaman dan tidak ada serangkaian dogma yang tersirat dalam ayat Surah Baqarah ini. Singkatnya, agama adalah berbicara tentang menjalani kehidupan belas kasih yang jujur, yang menunjukkan kebaikan. Dan bukan tentang obsesi terhadap dogma atau ritual atau yang memiliki otoritas keagamaan.

Saya kira, cukup untuk menjelaskan pentingnya ruh agama dalam konteks penciptaan sistem di dunia terkait dengan kesejahteraan manusia. Seperti tujuan diutusnya para nabi sebagai rahmat bagi alam ini.

Kini, kembali kepada ajaran pertama dari Tuhan mengenai "membaca" yang merupakan kegiatan komunikasi seperti yang pernah saya tulis di sini. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana tujuan berbuat kebaikan dengan sesama dan lebih dalamnya lagi adalah penciptaan sistem sosial yang tidak lepas dari aspek komunikasi.

Dan dalam kaitan dengan hal ini, lebih dari 100 ayat dalam Alquran berbicara mengenai komunikasi khususnya masalah empati dan kasih-sayang antara manusia. Satu ayat telah dijelaskan di atas. Masalah empati dalam sebuah komunikasi, misalnya, kita mengenal istilah komunikasi asertif yang memegang peranan penting dalam kemampuan berkomunikasi.

Bukan hanya sekadar mencapai tujuan pesan itu secara jelas dapat diterima oleh si penerima pesan (komunikan), namun juga dampaknya tidak menjadikan komunikan merasa dilecehkan, direndahkan, tersakiti atau terhina. Persoalan cara menyampaikan pesan, seperti inilah, dalam satu ayat Allah mewanti-wanti kepada kita untuk berbuat kebaikan secara asertif.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.“ (Al Baqarah:264)

Bisa jadi kita pernah menerima kebaikan dari orang, namun kita tidak sepenuhnya menerima kebaikan itu dengan alasan sebagaimana dijelaskan di atas. Atau sebaliknya, kita memberikan kebaikan namun dibumbui dengan perkataan-perkataan yang tidak mengenakkan dari si penerima kebaikan.

Dalam kasus lain, merujuk kepada pepatah orang Sunda, Nulungan Anjing Kadempet (Menolong Anjing Kejepit), yang berarti kita mendapatkan perlakuan yang tidak wajar justru dari orang yang kita tolong. Hal ini bisa saja terjadi karena kebaikan kita yang tidak empatik. Lagi-lagi ini adalah persoalan communication skills.

Satu kegiatan dalam komunikasi yang biasa digunakan dalam penyampaian kebaikan adalah dengan perkataan (qaulan). Alquran setidaknya menyebutkan 6 jenis tuntutan mengenai masalah ini. Yaitu Qaulan Sadida (berkata benar), Qaulan Baligha, (kata-kata yang tepat, mengena serta membekas), Qaulan Ma'rufa, (berkata dengan cara yang baik), Qaulan Karima, (perkataan yang mulia), Qaulan Layinan, (perkataan yang lemah lebut) dan Qaulan Maysura (perkataan yang pantas).

Masing-masing mempunyai peran dan manfaat yang disesuaikan dengan komunikan, kepada siapa perkataan itu disampaikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

Jenis perkataan yang baik dalam penyampaian kebaikan

Jenis perkataan yang baik dalam penyampaian kebaikan

Satu contoh mengenai qaulan sadida, perkataan yang benar. Selain terdapat dalam QS 4:9 dan 33:70, metode ini juga bersesuaian dengan metode bil hikmah (dengan hikmah) dan mengandung pelajaran yang baik (mauidhatil hasanah).

Dalam QS 4:9, qaulan sadida terkait dengan perkataan berupa nasihat dan motivasi yang menguatkan atau membesarkan hati. Dalam QS 33:70, apabila kita baca ayat sebelumnya, qaulan sadida terkait dengan perkataan yang baik, tidak menyakiti, namun justru penuh respek kepada lawan bicara.

Inilah pentingnya komunikasi sebagai ilmu pertama yang diajarkan Tuhan kepada manusia, akan membawa kita berlaku baik dalam menyampaikan kebaikan juga kebenaran. Sampaikan kebenaran dengan baik dan juga sampaikan kebaikan dengan benar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.