Zuhud yang Berlebihan, Zuhud yang Bagaimana?

zuhud
Sumber :
  • vstory

VIVA – Di antara amalan para sufi yang dikritik oleh Imam Al-Qusyairi ialah, mereka terlalu berlebih-lebihan dalam mengamalkan tasawuf, dan terdapat unsur riya’ yang mereka tampilkan dalam amalannya.

Viral, Pendeta Ini Ajak Jemaat War Takjil: Soal Agama Kita Toleran, Kalau Soal Takjil Kita duluan

Salah satunya adalah dalam penerapan amalan zuhud. Namun, zuhud yang dilakukan cenderung berlebihan, sehingga keluar dari arti zuhud yang sebenarnya, yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Agar dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang zuhud, mereka rela meninggalkan semua yang berbau duniawi. Yaitu dengan cara berpuasa terus menerus dan tidak akan pernah berbuka, tidak menikah, tidak akan bersentuhan atau berhubungan dengan segala yang berkaitan dengan dunia. Mereka melakukannya dengan uzlah, juga tidak memperhatikan kebersihan pakaian.

Perjalanan Spiritual Mohamed Salah, Dari Keraguan Menjadi Inspirasi

Sementara menurut Imam Al-Qusyairi, itu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam, karena perbuatan tersebut telah menyalahi aturan atau syariat yang dibuat oleh Allah untuk kita laksanakan.

Kewajiban umat Islam ialah senantiasa berpegang teguh kepada Alquran dan Sunnah. Dalam Risalahnya, Al-Qusyairi mengartikan zuhud dengan apa yang dikatakan oleh gurunya, yaitu Abu Ali Daqaq.

Terungkap Alasan Denny Sumargo Belum Pilih Mualaf Meski Rajin Baca Al Quran

Ia menyatakan bahwa zuhud adalah perbuatan meninggalkan dunia, tapi tidak dengan cara meninggalkannya secara keseluruhan atau mencintai semua yang ada di dunia dan akhirat.

Melainkan dengan menjadikan dunia sebagai perantara untuk memenuhi semua perintah-Nya. Karena bagaimanapun Allah Swt telah memerintahkan manusia untuk tidak lupa kepada kehidupan dunia.

Berkaitan dengan itu, Abu al-Wafa al-Taftazani menyatakan bahwa zuhud bukanlah sesuatu yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang mengarahkan pandangan seseorang tentang duniawi secara khusus.

Seorang zahid tetap menjalankan aktivitas keduniaannya secara aktif, namun hal itu tidak membelenggu kalbunya, sehingga membuat mereka mengingkari Tuhan.

Kehidupan Rasulullah dan sahabatnya adalah pengejawantahan Alquran. Praktik zuhud pada waktu itu bukan isolasi dan sikap eksklusif terhadap dunia, akan tetapi mempunyai pengertian aktif menggeluti kehidupan dunia dalam rangka menuju kehidupan akhirat.

Jadi, Rasulullah dan sahabatnya tidak memisahkan secara dikotomik antara dua kehidupan dunia dan akhirat, akan tetapi satu sama lain mempunyai hubungan.

Menurut Prof. Quraish Shihab, hal itu kerena fungsi khalifah yang telah diberikan Allah kepada manusia yang harus tetap berada dalam kerangka yang telah ditentukan oleh Allah.

Maka, dengan tegas Allah memerintahkan mereka untuk mengembara di muka bumi untuk mencari karunia-Nya, untuk menikmati hasil alam, kerja pembangunan, reproduksi dan pendidikan manusia unutk melanjutkan, melestarikan hasil-hasil usahanya sebagai penentu kekhalifahan manusia, dan semua itu dianggap amal shalih dan ibadah kepada-Nya.

Manusia harus melakukan usaha-usaha yang diperlukan, karena mereka diberi kebebasan kehendak, agar dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah.

Zuhud merupakan maqam penting dalam maqam-maqam sufi. Ali bin Abi Thalib ditanya tentang zuhud, ia menjawab, “Zuhud adalah hendaklah kamu tidak tepengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniawian.

Menurut Al-Syibli, zuhud adalah membersihkan diri dari hawa nafsu, bermurah hati; sehingga benar-benar meninggalkan sesuatu yang bukan miliknya dengan dan meninggalkan segala sesuatu kecuali yang sah bagi dirinya.

Maka, tidak dibenarkan apabila kita berzuhud sampai tidak memperdulikan kehidupan dunia. Karena Islam adalah agama yang tidak membagi kehidupan ke dalam dua bagian yang terpisah; material dan spiritual, dunia dan ukhrawi. Islam tidak mengajak kepada pengingkaran kehidupan duniawi, tetapi mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik material maupun spiritual.

Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 31:

“Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Sudah selayaknya kita memperhatikan kebutuhan yang pokok, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Tidak boleh menyiksa diri dengan “tidak makan” karena menganggap makanan hanyalah bersifat duniawi. Karena orang yang zuhud adalah orang yang tetap makan seperti biasanya tetapi dia tidak terlalu berharap kepada makanan banyak.

Sebagai contoh, orang yang zuhud terhadap makanan adalah mereka yang makan hanya untuk sekadar menghilangkan rasa lapar agar bisa menegakkan badannya, dan tidak dimaksudkan untuk mencari kenikmatan, dan itu juga untuk kesehatan, yang harus dijaga oleh semua manusia. Karena merupakan bagian dari nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Tentang hal ini Allah berfirman:

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmatku, maka sesungguhnya adzabku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Begitupun dengan sufi, yang sengaja tidak memperdulikan pakaiannya. Tentu tidak mencerminkan orang zuhud yang sebenarnya. Karena orang yang zuhud pada pakaian adalah tidak harus sampai mengotori bajunya, tetapi mencukupkan diri dengan pakaian yang bisa melindungi badannya dari serangan hawa dingin dan panas serta menutupi aurat.  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.