Satu Tahun Lebih Pandemi, Apakah Prevalensi Stunting Terkendali?

Ilustrasi Petugas Kesehatan Puskesmas Muara Dua di Desa Meunasah Alue, Lhokseumawe, Aceh
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rahmad

VIVA – Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak besar ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Di Indonesia, pandemi yang telah berlangsung lebih dari satu tahun ini benar-benar membuat berbagai kegiatan terbatas demi memutuskan rantai penularan COVID-19.

Berapa Lama Rata-rata Umur Hidup Orang Indonesia? Ternyata Sampai Angka Ini

Salah satu kegiatan yang berdampak adalah kegiatan pada fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan posyandu. 

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BALITBANGKES) hanya 19,2% puskesmas yang tetap menjalankan posyandu di masa pandemi.

Ramalan Zodiak Kamis 18 April 2024: Taurus Alami Krisis Keuangan, Virgo Harus Menjauhi Orang Negatif

Padahal posyandu adalah fasilitas kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat dan memiliki tugas memantau kesehatan masyarakat di lingkungan atau daerah posyandu tersebut berada.

Salah satu layanan posyandu yang terganggu adalah akses gizi untuk masyarakat, terutama bagi wanita hamil dan anak usia 0 sampai 12 tahun yang bisa memiliki potensi Stunting.

Sidak Layanan Kesehatan Usai Libur Lebaran, Pj Wali Kota Tangerang Minta Jam Operasional Ditambah

Stunting adalah kekurangan gizi pada bayi di 1000 hari pertama kehidupan yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Terlebih keadaan saat ini masih perlu diperhatikan terkait dampaknya terhadap stunting.

Saat ini penambahan kasus harian COVID-19 masih saja labil dan tidak menunjukkan tren turun ataupun naik dengan signifikan. Kasus harian tertinggi terlihat jumlah kasus baru pada tanggal 29 Januari 2019 sebanyak 13.802 kasus baru dan menurun pada tanggal 1 Mei 2021 sebanyak 4.512 kasus. Dari sini timbul pertanyaan apakah prevalensi stunting setelah satu tahun situasi pandemi dapat dikendalikan atau semakin meningkat.

Pada laporan akuntabilitas kinerja Kemenkes 2020 didapatkan bahwa angka prevalensi  stunting di Indonesia sebanyak 11,6?lita. Namun angka ini baru didapatkan dari hasil laporan SIGIZI terpadu dan pengisian e-PPBGM bukan dari survei gizi balita yang seharusnya dilakukan setiap tahun sehingga angka ini tidak menunjukkan kondisi yang nyata di lapangan.

Bahkan diketahui dari Badan Pusat Statistik angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2020 meningkat sebesar 9,87% bila dibandingkan dengan waktu yang sama pada tahun 2019 dan menghentikan tren penurunan angka kemiskinan.

Dengan meningkatnya angka kemiskinan ini tentu membuat banyak masyarakat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan gizi sehingga sangat memungkinkan angka stunting ikut meningkat.

Memahami situasi saat ini, Presiden Republik Indonesia yaitu Bapak Presiden Joko Widodo memberikan tanggung jawab  kepada BKKBN untuk mengatasi masalah stunting yang bekerjasama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan atau Kemenko PMK.

Harapannya BKKBN dapat  memetakan data individu dan kelompok beresiko seperti remaja, ibu hamil, dan akan diberikan sosialisasi hingga pendampingan sehingga pencegahan dan penanganannya lebih terfokuskan. 

Dalam menjalankan tanggung jawab tersebut BKKBN juga akan mengerahkan dukungan 13.734 tenaga PKB/PLKB dan 1 juta kader yang tersebar di seluruh Indonesia. PLKB nantinya akan menjalankan pendampingan kepada keluarga dan calon pasangan usia subur sebelum proses kehamilan.

Selain itu ada pula Program Bina Keluarga Baduta atau Balita (BKB), Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan bantuan untuk keluarga risiko tinggi stunting yang akan dilaksanakan sesegera mungkin.

Meskipun pemerintah telah memiliki program yang mungkin bisa menekan angka stunting, namun tetap saja langkah ini masih membutuh bantuan dari berbagai pihak terutama kita sebagai masyarakat.

Menurut  drg. Agus Suprapto, M.Kes selaku deputi Kemenko PMK, masyarakat dapat membantu menekan angka stunting, seperti diperlukannya surveilans atau pemantauan lingkungan untuk melihat keadaan masyarakat sekitar yang dapat dilakukan oleh RT/RW atau desa dan kelurahan atau juga petugas kesehatan seperti bidan dan perawat.

Selain itu Agus juga menyatakan bahwa masyarakat dapat memberikan bantuan secara tangible atau intangible. Secara tangible atau berwujud dapat dilakukan seperti memberikan bantuan materi seperti dana atau pangan.

Sedangkan secara intangible atau tak berwujud dapat dilakukan seperti mengedukasi sang calon ibu agar lebih paham mengenai program gizi 1000 HPK dan mengedukasi pemberian gizi kepada balita tidak perlu yang mahal melainkan makanan yang memiliki kebutuhan gizi yang cukup.

Dengan ini dapat dikatakan bahwa prevalensi stunting pada situasi pandemi ini masih belum bisa dikatakan terkendali dan bisa berpotensi meningkat akibat faktor seperti fasilitas kesehatan yang terbatas dan angka kemiskinan  yang meningkat.

Apabila setiap lapisan masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama dan bergotong-royong dengan baik, maka sangat mungkin angka stunting di Indonesia dapat ditekan, bahkan target prevalensi stunting menjadi 14% di 2024 tentu saja dapat terwujud. (Penulis: Ibnu Azfa Chairul Azam)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.