GOOD BYE, NET.

Nasib bisnis TV hiburan Indonesia.
Sumber :
  • vstory

VIVA -  Saya baru dapat kiriman sebuah analisis kasus (akan tutupnya) stasiun televisi NET. dari sisi marketing.

Net TV PHK 30 Persen Karyawan, Ini Penyebabnya

Dalam dalil-dalil marketing, pandangan seperti itu wajar dan bisa diterima. Akan tetapi, market bisa tidak jalan jika konten, kemasan, maupun layanan dikesampingkan.

Bagaimanapun, ada barang ada pasar. Saya akan coba melihat kasus NET. ini dalam ketiga poin tersebut.

Melantai di BEI, NET TV Cari Modal Kembangkan Produksi Konten

Apakah konten semua program NET. hasil inovasi seorang Wishnutama? Kalau rajin menyimak tontonan-tontonan TV di berbagai negara, program-program tersebut merupakan copycat yang dipaksakan untuk di-Indonesia-kan.

Sebut saja, misalnya, "Ini Talk Show". bisa ditemukan sumbernya di berbagai channel TV di Amerika. Program ini aslinya berupa perbincangan ringan tentang karier, prestasi, dan kecenderungan narasumbernya.

Candaan Andre Taulany dan Rina Nose Dinilai Lecehkan Marga di Maluku

Dibawakan secara santai. Selain konten, kecenderungan menghadirkan audiens di setiap acara sebagai bentuk kemasan pemborosan anggaran produksi dan siaran. Boleh saja menghadirkan audiens, tapi dalilnya harus jelas. Jika "saya keluarkan biaya seratus, tontonan itu minimal dapat menambah kocek saya jadi tiga ratus."

Dunia televisi bukan panggang proscenium arch. Audiensnya ada di rumah, di dalam kamar, di ruang tamu, bahkan di dapur. Penggembira yang dihadirkan di setiap show, tentu dimaksudkan untuk meramaikan, membentuk imej tontonan sukaramai, dan look a live show.

Di situlah kesalahan yang sering dilakukan show produser. Mungkin si produser lupa, atau memang tidak mau tahu, untuk show look a live itu dapat menghanguskan uang $1.000 per jam! Sementara show itu sendiri miskin dalam perolehan rating/share.

Kemudian kesalahan fatal adalah menjadikan kelas menengah ke atas sebagai target tontonan. Tetapi dalam praktik pelaksanaan siaran, justru show yang ditayangkan menyasar ke pemirsa usia 13-24 tahun.

Ini namanya konyol. Kelas menengah atas, tidak memantengi layar televisi di rumahnya 12/7. Remaja juga tidak akan 24/7 berada di depan TV. Rata-rata orang menonton TV per hari hanya empat jam. Itu pun secara random.

Perlu diketahui, tontonan yang disuka pemirsa adalah yang menceritakan sebagian tentang dirinya. Apabila hal itu tidak ada di layar, remote berbicara. Good bye, Screen. Kasus NET. adalah kasus salah arah dari suatu bisnis hiburan.  (Afrizal Anoda, Penulis pernah Bangkotan di Bisnis Siaran Televisi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.