Menumbuhkan Kecerdasan Literasi dalam Keluarga sejak Dini

dokumentasi pribadi
Sumber :
  • vstory

VIVA.co.id – Di era majunya teknologi digital dan akses internet yang makin meluas, arus informasi tidak dapat lagi dibendung. Banyak orang yang kewalahan membedakan mana informasi atau berita yang benar dan mana yang hoaks. Lebih memprihatinkan lagi, banyak orang terpapar dan terpedaya oleh informasi atau berita yang menyesatkan.

Pemanfaatan Maggot Sebagai Pakan Ternak

Persekusi, fitnah, hingga ancaman persatuan dan kesatuan bangsa menjadi dampak buruk dari kegagalan menyaring informasi atau berita tersebut. Intinya, penyebaran informasi atau berita hoaks telah menimbulkan berbagai keresahan di tengah-tengah masyarakat.

Bisa Anda bayangkan, berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi (kominfo) pada bulan Maret 2019 lalu. Ada 771 hoaks yang telah diidentifikasi sepanjang Agustus 2018 hingga Februari 2019.

Hidroponik, Solusi Lahan Sempit di Perkotaan

Dari sejumlah hoaks tersebut, ada sebanyak 181 konten terkait isu politik, menyusul isu kesehatan sebanyak 126, isu pemerintahan sebanyak 119, fitnah terhadap individu tertentu sebanyak 110, isu terkait kejahatan 59, isu tentang agama 50, isu internasional 21, isu penipuan dan perdagangan masing-masing 19 konten, dan isu pendidikan sebanyak 3 konten.

Mengerikan bukan? Hoaks itu pun terus berkembang menjelang pemilu dan pasca pemilu. Bahkan hingga saat ini, tidak ada hentinya informasi atau berita hoaks yang bertebaran di media sosial yang kita gunakan setiap harinya.

Bahaya Masker Medis: Ancaman Baru Climate Crisis

Sesungguhnya ini tanggung jawab siapa?

Tentu tanggung jawab kita bersama. Bukan semata pemerintah yang harus proaktif dalam menangkalnya dengan berbagai regulasi dan penindakan. Tapi peran masyarakat tidak kalah penting. Masyarakat harus membangun sikap kritis dan selektif terhadap informasi atau berita.

Kecerdasan literasi adalah salah satu sarana yang dapat digunakan untuk membangun sikap kritis dan selektif tersebut. Dengan kecerdasan itu, diharapkan setiap orang lebih skeptik. Tidak mudah percaya tanpa pembuktian. Tidak mudah “sharing” informasi atau berita di media sosial tanpa menyaring terlebih dahulu.

Kira-kira bagaimanakah cara yang efektif membangun kecerdasan literasi tersebut?

Sejatinya, sikap demikian harus mulai ditumbuhkan di tengah-tengah keluarga. Artinya peran keluarga harus menjadi garda terdepan membuat anggota keluarga menjadi orang yang peduli dan melek literasi. Keluarga harus hadir di tengah maraknya hoaks akibat kemajuan teknologi digital serta makin luasnya akses internet.

Kita tidak perlu menyalahkan dan menyesali kemajuan teknologi digital dan makin maraknya akses internet. Teknologi tentu sangat berguna jika dimanfaatkan demi kemajuan dan kebaikan. Ibarat pisau dapur. Bisa saja digunakan untuk melukai orang atau mengiris bawang. Tergantung motif dan pilihan penggunanya. Begitu pula dengan teknologi digital dan kemudahan akses internet, ternyata dapat berdampak buruk bagi yang tidak memiliki prinsip dan pemahaman yang baik akan keberadaannya. Padahal kehadirannya seharusnya menjadi sesuatu yang dapat menguntungkan.

Keluarga yang berperan sebagai tempat terjadinya sosialisasi primer, di mana seseorang anak pertama kali mendapatkan pendidikan, nilai dan norma, serta kebiasaan-kebiasaan baik. Sehingga ketika seseorang anak akan terjun di dunia masyarakat, mereka siap mengambil keputusan dan tindakan yang tepat. Sebab melalui didikan dalam keluarga, setidaknya seorang anak tahu mana yang baik, benar dan berguna bagi dirinya sendiri maupun yang bermanfaat bagi sesama.

Sesungguhnya dalam hal ini, ada banyak nilai-nilai yang perlu ditanamkan kepada seorang anak di dalam sebuah keluarga.

Pertama, dalam diri seorang anak harus ditanamkan prinsip yang kuat, bahwa berbohong, fitnah, dan memutarbalikkan fakta adalah bentuk penyimpangan yang serius. Untuk itu, perlu didikan dan pembiasaan yang benar sedini mungkin. Membiasakan untuk menolak dan merasakan tidak nyaman ketika melakukan tindakan penyimpangan yang demikian.

Kedua, menanamkan semangat menghargai setiap orang yang ada di sekitarnya, sikap toleransi dan menerima keberadaan (baik kelebihan maupun kekurangan) orang lain. Dengan demikian, seorang anak tidak mudah untuk menghina ataupun menjelek-jelekkan orang lain.

Ketiga, dalam keluarga harus ditumbuhkan sikap kritis dan selektif, seperti yang sudah disampaikan terdahulu. Seorang anak harus diajarkan sikap skeptis sebagai dasar dari ilmu pengetahuan. Agar tidak mudah percaya tanpa adanya bukti. Dalam rangka menumbuhkan skeptis ini, maka dalam keluarga harus dibiasakan dengan budaya literasi. Bagaimana anak agar senang membaca dan mencintai pengetahuan.

Menurut hemat penulis, bahwa untuk menamkan budaya literasi dalam keluarga tentu bukan perkara mudah. Mengapa? Pada dasarnya anak adalah sosok yang meniru atau mudah dipengaruhi oleh lingkungannya. Dengan demikian, orang tua harus hadir untuk memberikan panutan. Orangtua harus menjadi seorang yang rajin membaca. Demikian pula dengan suasana rumah harus dikondisikan menjadi keluarga yang bersahabat dengan dunia baca.

Apalagi di era sekarang, tantangan orangtua pun semakin berat. Materi bacaan bukan lagi hanya ada di dalam buku cetak. Bahkan saat ini sudah lebih mudah seseorang memperoleh buku digital.

Permasalahannya, bagaimana orang tua dapat memantau kalau seorang anak benar-benar sedang membaca buku digital di gadgetnya? Kalau pun anak membaca buku digital, betapa besarnya godaan untuk dapat berkonsentrasi membaca buku digital pada sebuah gadget.

Intinya, tetaplah pada pola pendampingan dan pola asuh yang baik dan benar. Tingkatkan diskusi dari hati ke hati. Mendiskusikan setiap bahan bacaan yang telah disepakati, hal jauh lebih baik dan terkontrol.

Orang tua pun harus terus beradaptasi dengan kebutuhan anak. Setidaknya, orang tua belajar mengikuti perkembangan literasi. Dengan demikian, dalam setiap tindak tanduk literasi yang dihadapi seorang anak tetap terpantau dan pada koridor yang benar.

Akhir kata, mari kita menumbuhkan kecerdasan berliterasi di tengah-tengah keluarga. Lakukan sejak dini. Sehingga ketika anak terjun ke lingkungan luar, masyarakat, tetap memiliki prinsip dan pegangan. Anak pun terhindar dari berbagai hoaks yang berkembang di media sosial. Salam literasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.