Penggerusan Oposisi Sebagai Bentuk Kemunduran Demokrasi

Oposisi Dikorupsi Demokrasi Dicurangi
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pasca Pilpres 2019 suara-suara pihak oposisi mengalami penggerusan yang sangat tajam. Keberadaan partai politik dan politisi yang tergabung dalam koalisi oposisi sudah tidak layak disebut sebagai oposisi, yang ada hanyalah sebutan pihak oplosan. Padahal pada saat Pilpres 2019 pihak oposisi yang tergabung dalam barisan koalisi pendukung pasangan capres dan cawapres Prabowo-Sandi sangat lantang menyuarakan diri menentang kebijakan pemerintahan Jokowi.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Koalisi pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ini sudah dibubarkan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bahkan sejumlah mantan Partai Koalisi Indonesia Adil Makmur belum secara tegas posisinya sebagai oposisi. Oposisi sekadar tameng kampanye politik untuk mengeruk suara pemilih yang kontra terhadap pemerintahan Jokowi. Untuk itu perlu adanya perhatian khusus apakah benar sistem Indonesia tidak mengenal oposisi??

Pertama, kita lihat peran oposisi dalam demokrasi sangat penting sebagai check and balance untuk mengawasi kekuasaan presiden dengan melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan. Oposisi berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif untuk menjaga agar pemerintah tidak otoriter, dan berada pada jalan yang benar atau on the track. Maka dengan demikian, ketika pemerintah mulai keluar jalur, oposisi harus berdiri paling depan untuk meluruskan.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Kedua, merapatnya para elit dan petinggi partai ke dalam arus pemerintahan Jokowi pasca kekalahan mereka dalam kontestasi politik Pilpres 2019. Hal ini merupakan bentuk sikap politik oposisi yang tidak etis. Seharusnya Partai Gerindra, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ataupun Partai Amanat Nasional (PAN) tetap menjadi oposisi sebagai penyeimbang pemerintahan. Kedekatan emosional antara oposisi dan pemerintah harus ada batasannya sehingga dalam pembuatan kebijakan fungsi check and balance berada pada jalur yang sebenarnya.

Ketiga, pentingnya decision maker dalam oposisi. Peran tokoh yang dijadikan kunci arah oposisi, Prabowo dan Partai Gerindra sebagai decision maker adalah penentu oposisi yang sebenarnya. Sikap politik Prabowo memang begitu dinantikan selepas perhelatan Pilpres 2019. Dalam pesta demokrasi itu, Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno harus mengakui keunggulan pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Arah oposisi dapat dibaca setelah Pilpres 2019.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Beberapa rentetan peristiwa pertemuan Prabowo dengan tokoh elit partai pendukung Jokowi. Prabowo menemui Jokowi di MRT Jakarta, 13 Juli 2019. Kemudian, Prabowo bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta, 24 Juli 2019. Terakhir pertemuan Prabowo ke Istana Kepresidenan menandakan secara simbolis oposisi sudah ditaklukkan oleh pemerintahan Jokowi.

Seiring berjalan waktu, dinamika politik pun menghangat. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani menerima tawaran untuk masuk kabinet Jokowi-Ma'ruf. Oposisi yang merapat, berdasarkan pengalaman-pengalaman terdahulu, akan selalu diikuti dengan pembagian jatah kursi menteri. Fenomena ini menuai kritikan dari salah satu partai dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf, yaitu Partai Nasional Demokrat.

Jika semua parpol oposisi ikut di dalam pemerintahan kemudian siapa yang akan menjadi pengontrol sistem pengawasan yang efektif di parlemen? Terlebih saat ini kursi ketua DPR dipimpin oleh Puan Maharani dari Partai penguasa di lembaga eksekutif yaitu PDIP Perjuangan.

Oposisi dan partai politik seperti kehilangan marwah. Semua berpikir merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan untuk menyongsong kursi menteri di dalam kabinet Jokowi. Kekhawatiran ini tidak terlepas dari pihak oposisi lebih memfokuskan diri untuk mempersiapkan strategi pada pemilu tahun 2024. Secara otomatis program pemerintah malah terabaikan. Semua bekerja untuk partai masing-masing bukan lagi mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Pada akhirnya, Indonesia tidak akan mengenal adanya partai oposisi karena tidak akan pernah ada satu partai yang sendiri menjalankan kekuasaan dan tidak ada jaminan partai yang kalah (berperan sebagai oposisi).

(Penulis Ikhwan Arif, Pengamat Politik, Aktivis HMI dan Pendiri Indonesia Political Power)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.