Belajar dari Seorang Guru Otodidak

Tiga Prinsip Menjadi Pembelajar
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kemarin, 25 November diperingati sebagai Hari Guru. Perayaan yang ditujukan sebagai penghargaan bagi guru. Guru, sebagai sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya, sekaligus membedakan dengan pekerjaan pada umumnya, dilindungi oleh payung hukum, undang-undang. Profesi guru dan dosen patuh kepada Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sebagai sebuah profesi, guru juga dilengkapi dengan kode etik sebagai guru.

Pemanfaatan Maggot Sebagai Pakan Ternak

Menurut Undang-undang, guru adalah seorang pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan syarat yang melekat pada seorang guru (profesional) dan lingkup tugas yang begitu luas serta menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia, maka wajarlah profesionalitas dan lingkup tugas seorang guru diatur dalam sebuah regulasi.

Dan ini pula dampak dari regulasi ini, yaitu banyaknya aturan. Maka menteri pendidikan yang baru membahasnya sebagai salah satu kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. "Guru masih dikekang dengan banyak aturan!" ungkapnya.

Hidroponik, Solusi Lahan Sempit di Perkotaan

Nah, yang saya ingin bahas dalam tulisan ini justru adalah guru jenis lain dan bukan guru bangsa yang berkonotasi atau kental dalam kiprahnya dengan kegiatan politik. Guru ini adalah guru hasil otodidak. Guru bangsa yang juga otodidak adalah KH. Agus Salim.

Namun sekali lagi, tulisan ini bukanlah membahas guru bangsa, namun guru otodidak yang diwakili oleh sosok low profile. Semasa hidupnya jauh dari publikasi media, namun karyanya dapat kita saksikan sampai saat ini.

Bahaya Masker Medis: Ancaman Baru Climate Crisis

Pendidikan formal yang dijalaninya hanya sampai dengan tingkat sekolah rakyat (SD, sekarang). Namun minatnya dalam belajar melebihi status siswa bahkan mahasiswa pada umumnya saat ini. Dari belajar otodidak inilah dia berhasil merintis sebuah usaha yang saat ini menjadi salah satu grup usaha berkategori konglomerasi. Dari otodidak ini pula dia banyak menaruh apresiasi terhadap seni dan bahasa.

Selain diidentifikasi sering membaca syair-syair karya pujangga besar, beliau juga sesekali menuliskan puisi sendiri.  Hasrat belajar yang begitu tinggi juga ditunjukkan dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman. Dialah H. Achmad Bakrie, ayah dari Aburizal Bakrie dan kakek dari Anindya Bakrie.

Satu kutipan yang menggambarkan keluasan ilmu beliau, saya temukan ketika tadi siang berkesempatan makan siang bareng teman-teman di ruang meeting Bakrie Amanah, salah satu lembaga filantropi yang dipunyai Kelompok Bakrie. Terpana, di tengah menikmati sajian makan siang ketika menatap satu gambar bertuliskan quote,

“Bagi saya belajar tidak ada habis-habisnya. Namun kita harus menyesuaikan diri. Jangan, lalu merasa lebih hebat dari orang lain.” (H. Achmad Bakrie)

Dibaca berulang-ulang, dan akhirnya saya coba tuliskan tafsir quote tersebut. Sekadar berbagi sesuatu dengan para pembaca yang masih dalam suasana Hari Guru. Setidaknya, ada 3 hal yang diajarkan dari ungkapan sang guru otodidak ini. Bagi penulis sendiri berkeyakinan kalau ini dijalankan maka para murid, siswa, pelajar atau mahasiswa bahkan para guru beserta dosen di sekolah dan kampus akan menjadi kunci sukses dalam sebuah proses pendidikan.  

Belajar Tidak Ada Habis-habisnya

Prinsip ini dikenal di kalangan umat Islam merujuk satu keterangan yang disandarkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW, “Tuntutlah ilmu dari mulai buaian sampai kepada liang lahat.” Orang Barat menamakannya dengan istilah long-life learner. Bagi pekerjaan yang bergenre profesi seperti dokter, apoteker, lawyer, advokat, dan sebagainya, long-life learner menjadi pembelajar sejati adalah sebuah keniscayaan.

Demikian juga, prinsip ini dianut oleh orang-orang sukes di berbagai bidang. Semakin kita banyak tahu, maka semakin sadar akan banyak kekurangan kita. Terkadang, dalam proses pendidikan formal, kita sering berpuas diri dengan raihan satu gelar strata sarjana. Untuk sebagian orang, belajar adalah hal yang melelahkan dan untuk itu sering kita jumpai kondisi bermalas-malasan untuk mencari ilmu. Maka wajarlah Allah SWT memberikan apresiasi yang tinggi bagi orang yang senantiasa mencari ilmu, belajar dan belajar. (Dapat dilihat dalam QS 58:11)

Menyesuaikan Diri

Adaptasi. Ya, adaptasi. Hal ini telah dibahas dalam ranah manajemen sebagai manajemen perubahan. Demikian juga dalam ilmu organisasi juga bisnis. Daya adaptasi sesuatu akan berdampak kepada daya tahan sesuatu itu terhadap lingkungannya yang notabene terus berubah.

Kehebatan seseorang atau sebuah perusahaan dalam menyesuaikan diri dalam sebuah lingkungan akan menentukan roda dari perjalanan orang atau perusahaan itu ke depan. Di dunia telekomunikasi, misalnya, sudah menjadi rahasia umum kejatuhan 2 merek yang unggul di zamannya namun langsung tenggelam kemudian. Sebut saja Nokia dan Blackberry.

Relevansi prinsip ini dengan pembelajar sejati (prinsip pertama) adalah bahwa keluaran dari proses belajar adalah “perubahan” baik dalam hal pengetahuan, keahlian dan sikap. Dengan demikian kemampuan adaptasi, sejatinya adalah output dari proses belajar itu sendiri.   

Inilah yang menjadi tuntunan-Nya dalam QS 13:11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri,”

Jangan Merasa Lebih Hebat dari Orang Lain.

Humble, rendah hati adalah puncak dari orang yang berilmu. Relevan dengan penjelasan di poin pembelajar sejati. Semakin orang banyak ilmu, maka semakin mereka sadar akan banyak kelemahan. Ini pula dalam kosakata Arab, disebut sebagai karakter tawaddhu. Si empunya karakter disebut mutawaddhi.

Seorang mutawaddhi adalah orang yang mawas diri akan kelemahan sendiri, tidak berlaku sombong dan arogan. Buya Hamka menyebutnya sebagai perilaku “tahu diri”, yaitu tidak pernah berbicara di luar pengetahuannya. Karakter ini pula tunduk kepada pepatah Melayu tentang ilmu padi “Makin berisi makin merunduk” dan bukan sebaliknya, “Air beriak tanda tak dalam” atau “tong kosong nyaring bunyinya.”

Lawan rendah hati adalah sombong. Ketika tawaddhu justru menghindarkan diri dari sifat sombong dan secara vertikal mereka memercayai bahwa ada Zat yang Maha Besar, maka kaum Mutakabirin (orang-orang sombong) lupa bahwa dirinya tidak berarti apa-apa di hadapan yang Maha Kuasa.

Maka sikap tawaddhu diajarkan oleh sebuah role model dalam QS 25:63 yang disebut sebagai ibadurrahmaan yaitu abdi-abdi Tuhan yang Maha Penyayang. “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “Salam” . Dengan demikian dapatlah kita pahami puncak seorang berilmu adalah kerendahan hati.

Kembali kepada Hari Guru. Guru dengan batasan Undang-undang sebagai pendidik profesional dengan serentetan tugas yang mesti dipenuhi, hakikatnya adalah juga seorang pembelajar sejati. Sementara kegiatan belajar ber-output-kan perubahan.

Perubahan sendiri adalah sunnatullah atau hukum Allah. Semua berubah kecuali perubahan itu sendiri. Seorang pembelajar sejati adalah yang menyadari bahwa dirinya banyak kekurangan sehingga ghirah mencari ilmu tidak dibatasi waktu dan hasilnya adalah kemampuan dalam menyesuaikan diri.

Daya adaptasi inilah yang akan membawa mereka kepada kejayaan, tak aus dimakan waktu, tak lekang dimakan zaman dan jangan dilupakan. Daya adaptasi ini juga harus senantiasa dibarengi dengan sikap tawaddhu, mawas diri dalam melihat kekurangan, tahu diri dalam menyikapi lingkungan.

Akhirnya, pelajaran yang dapat kita petik dari sosok Guru Otodidak, Bapak H. Achmad Bakrie, yaitu tiga prinsip dalam belajar, Pembelajar Sejati, Adaptif dan Tawaddhu. Semoga bermanfaat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.