Harapan akan Inovasi BPJS Kesehatan

Ilustrasi Penagih Utang Bagi Penunggak Iuran BPJS. Semoga tidak Seseram Itu hehe... Sumber Foto: Twitter @HendrawanNEW
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kita semua tahu bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sedang mengalami persoalan defisit keuangan yang diperkirakan mencapai Rp32 T.

Pemanfaatan Maggot Sebagai Pakan Ternak

Pemerintah merasa sudah membayar untuk 96 juta peserta menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi di BPJS Kesehatan malah defisit, berarti memang ada yang salah kelola di internal BPJS Kesehatan itu sendiri.

Pemerintah begitu yakin dan sepertinya tidak punya solusi lain yang lebih bijak, elegan & inovatif selain memberi "kado" tahun baru 2020 berupa kenaikan iuran BPJS yang tidak tanggung-tanggung, yaitu sebesar 100 %.

Hidroponik, Solusi Lahan Sempit di Perkotaan

Seperti biasa, istilah yang digunakan adalah penyesuaian, padahal bilang saja naik, ini seperti istilah rasionalisasi pegawai (bilang saja PHK). Memang negara kita ini jagonya majas eufimisme untuk menghibur rakyatnya, tidak to the point.

Tapi, akibat kenaikan iuran yang signifikan adalah harus dipikirkan dampaknya, seperti banyaknya peserta yang turun kelas, bukankah malah menurunkan daya beli BPJS itu sendiri dan membuat target menutupi defisit mengalami penurunan? Lagi-lagi mengapa tidak disurvei dulu?

Bahaya Masker Medis: Ancaman Baru Climate Crisis

Akar masalahnya lainnya adalah kasus korupsi dan juga pengelola rumah sakit yang nakal dengan memanipulasi kategori layanan, tingkat kepesertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah masih rendah (53,7 %), dan data yang  tidak valid seperti data ganda (sumber: money.kompas.com).

Tentunya, melihat kondisi tersebut, ada semacam keprihatinan dan harapan akan inovasi BPJS kesehatan ke depannya:

1. Ok, kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih dapat diterima jika di kisaran 20-30 %, itupun setelah disurvei kemampuan para pesertanya. Ini kan tidak? Sepihak saja. Jadi, menurut saya, kenaikan 100 % hanya ingin cari gampangnya saja

 2. Tuntaskan dulu kasus korupsi dan kecurangan pejabat (termasuk pengelola Rumah Sakit) di BPJS. Uang hasil korupsi wajib disita untuk menutupi defisit keuangan BPJS dan perlu dipublikasikan siapa yang korupsi dan berapa yang dikorupsi.

Dengan adanya keterbukaan, publik akan bersimpati & memaklumi jika pada akhirnya iuran BPJS harus benar-benar naik untuk menutupi defisit yang besar, itupun setelah dikurangi uang hasil korupsi

 3. Defisit BPJS Kesehatan sebaiknya dibantu (pinjam dulu) oleh saudara tuanya BPJS Ketenagakerjaan yang dinilai jauh lebih sehat keuangannya, memiliki investasi ratusan triliun rupiah (sumber: tirto.id). Masa sebagai saudara kandung tidak mau membantu?

 4. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang melibatkan 1800 auditor bahwa terdapat 27,4 juta ganda dan 6 juta yang fasilitas kesehatannya tidak jelas (sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 16 November 2019).

Jelas ini menjadi pemborosan yang sia-sia dan harus dituntaskan dengan cara mengaudit ulang dan memuktahirkan data para peserta BPJS tersebut. Jangan sampai peserta yang sudah meninggal bisa klaim.

5. Pembayaran yang diterima pemerintah lebih diprioritaskan pada rumah sakit besar. Dengan demikian, pembayaran dari puskesmas masih belum optimal. Ini harus dibenahi agar pemasukan merata

6. Untuk peserta baru mandiri yang akan daftar harus diseleksi secara ketat, disurvei dulu, termasuk gaji, pekerjaan, tempat kerja, dan sebagainya. Jangan sampai malah menjadi penunggak baru.

Jika diperlukan, sistem pembayaran terintegrasi langsung dengan rekening bank (sebenarnya ini sudah ada, cuma kok tidak konsisten) tetap diberlakukan, jika rekening bank-nya bermasalah (kurang saldonya) akan terdeteksi sejak dini

 7. Fasilitas rumah sakit di daerah diperbaiki, sehingga tidak semuanya harus rujukan ke tingkat yang lebih tinggi. Selama ini kan ada kesan dikit-dikit ke pusat (rumah sakit tipe A), sehingga pasiennya membeludak, antrean terlalu lama, dan tidak terlayani dengan baik.

Tapi, saya respek beberapa puskesmas ternyata sudah menyediakan rawat inap sehingga pasien bisa tertangani dengan cepat walau sifatnya sementara. Itu jauh lebih baik daripada menolak pasien akibat fasilitas tidak ada dan menyuruh ke tempat lain, padahal bisa saja kondisi pasien sedang kritis membutuhkan pertolongan pertama di puskesmas.

Tapi, secara umum fasilitas rawat inap rumah sakit & puskesmas, berikut sumber daya manusianya sudah memuaskan. Sebagai tambahan, ada rumah sakit daerah yang mampu mengobati penyakit pasien, fasilitasnya lengkap, tapi sayangnya hanya bisa diklaim 25 %, sisanya bayar sendiri, kalau ingin diklaim penuh, ya harus buat rujukan lagi untuk diobatin di pusat.

Ke depannya jangan sampai pasien membeludak di pusat kalau benar-benar bisa ditangani di daerah

8. Setiap peserta BPJS baiknya memiliki database riwayat penyakit berikut rincian biaya yang harus di-cover, mulai dari biaya rawat inap, rawat jalan, dan menebus obat.

Saya kira ini penting agar arus keluar masuk keuangan BPJS Kesehatan lebih transparan dan peserta pun menyadari (ada tanggung jawab juga) berapa besar rincian biaya yang di-cover pemerintah

9. Bagi peserta BPJS yang rutin bayar iuran tapi yang jarang bahkan tidak pernah di-cover BPJS, dalam artian selalu sehat, sudah pasti sangat membantu keuangan pemerintah dan BPJS untuk mengalihkan biaya subsidi ke peserta lain yang sakit.

Tentunya, peserta yang sehat tersebut sebaiknya diberikan reward khusus, agar tetap loyal dan merasa iuran tersebut bukan suatu kewajiban yang memaksa, tapi kebutuhan, bahkan dianggap sedekah, yaitu pengalihan subsidi tadi, yang seharusnya buat dia, tapi karena sehat dialihkan ke peserta lain yang sakit

10. Penunggak iuran BPJS juga wajib dituntaskan dengan cara yang simpatik. Walau penagih utang penunggak iuran BPJS Kesehatan merupakan relawan terbaik, tetap harus dilatih agar tetap simpatik tapi tegas dan berwibawa, agar disegani si penunggak iuran BPJS Kesehatan dan jangan sampai yang ditagih lebih galak dari si penagih.

Pastikan yang namanya seram dan kekerasan dijauhkan dari sistem penagihan. Tapi, baiknya juga didahului surat peringatan dan dibekukan dulu kartu kepesertaannya, baru kalau masih bandel ditagih oleh penagih. Saya kira itu jauh lebih elegan

11. Antrean Unit Gawat Darurat (UGD). Sudah menjadi rahasia umum, saat pasien BPJS masuk ruang UGD, yang paling dibutuhkan adalah sabar, terutama sabar menunggu mendapatkan ruang rawat inap di tengah suasana yang super sibuk dan kondisi penuh pasien (saya pernah mengantar pasien harus menunggu sekitar 3 jam untuk mendapatkan ruang rawat inap, katanya segitu masih termasuk cepat.

Saat proses menunggu itulah, segala persyaratan administrasi BPJS harus diurus oleh keluarga pasien, belum lagi jika harus menebus obat keluar lingkungan rumah sakit akibat di apotek setempat tidak ada. Jika tidak diurus, dijamin tidak mendapatkan pertolongan pertama dan ruang rawat inap atau istilah kasarnya dibiarkan terlunta-lunta.

Ke depannya harus ada inovasi pelayanan di UGD, waktu tunggu di UGD yang lebih singkat, senyum sapa salam petugas UGD, terutama dokter jaga UGD berikut koordinasi antar dokter jaga harus ditingkatkan.

Saya tahu dokter jaga UGD (terutama yang shift malam) ini bekerja di bawah tekanan tinggi, lelah, kurang tidur, dan harus cepat mengambil keputusan, karena tanggung jawabnya besar, menjadi gerbang pertama mendiagnosis pasien.

Salah ambil keputusan nyawa pasien taruhannya. Dalam kondisi demikian, maka emosi terkadang menjadi tidak terkendali, biasanya ramah menjadi mudah marah, serta jutek, tidak hanya kepada pasien dan keluarga pasien, tapi mungkin saja kepada rekan kerjanya, termasuk perawat.

Dalam kondisi demikian, mereka pun harus berempati kepada pasien dan juga keluarga pengantar pasien yang juga lelah dan sudah bersusah payah membawa pasien dan memilih rumah sakit tersebut untuk diberikan pelayanan terbaik, diawali dengan senyum sapa salam.

Tentunya harus ada pelatihan khusus untuk itu (melibatkan psikolog) dan jumlah dokter jaga UGD harus ditambah. Tapi, saya respek dengan petugas di bagian depan UGD yang umumnya begitu sigap membantu mengangkut pasien (yang tidak bisa berjalan) dari mobil ke kursi roda atau tempat tidur pasien.

Di samping itu, alangkah lebih baik ke depannya ada info digital berupa jumlah pasien UGD dan rawat inap, berikut ketersediaan ruangan, kamar tidur pasien, dan durasi waktu tunggu pasien yang akan menjalani rawat inap tapi masih tertahan di ruang UGD

12. Rawat Jalan. Ada beberapa rumah sakit yang mulai menerapkan sistem antrean online (ada aplikasinya), itu bagus sekali. Sayangnya itu hanya berlaku untuk registrasi awal.

Ketika daftar ulang berlaku dari nol lagi, dalam artian siapa cepat siapa yang berhak dilayani dokter. Saya pun pernah memanfaatkan fasilitas ini saat mengantar ayah saya berobat menggunakan BPJS, tapi karena datang agak siangan, ya saat daftar ulang ya termasuk lama dilayani.

Datang jam 8.30, baru dilayani dokter jam 11-an. Itupun setelahnya harus antre obat lagi yang lamanya bisa lebih dari 2 jam. Ke depannya dibuat lebih ringkas lagi, misal dipisahkan ada jalur khusus online dan offline. Lalu untuk jalur online, dapat nomor antrean sekian, maka silakan datang jam sekian untuk langsung daftar ulang dan tidak menunggu terlalu lama

13. Antrean yang terlalu lama dalam menebus obat sebaiknya juga diperbaiki, karena bisa menimbulkan masalah baru, seperti stres, emosi, dan itu tidak baik bagi kesehatan setelah sebelumnya menunggu dilayani dokter.

Saya pernah merasakan antrean (menggunakan BPJS Kesehatan) yang lebih dari 2 jam hanya untuk menebus obat di suatu Rumah Sakit Umum Daerah. Daripada menimbulkan masalah baru, lebih baik dibuat sistem penomoran digital yang bisa dicek di aplikasi.

Misal menebus obat hari Senin pagi, maka obat bisa diambil 3 jam kemudian, dapat dicek di aplikasi. Pengambilan obat dapat diwakilkan asal ada buktinya, bahkan bisa diantar ke rumah lewat ojek online. Semoga ke depannya seperti itu, bahkan lebih inovatif lagi

14. Saya memanfaatkan BPJS untuk melakukan perawatan gigi/scaling gigi setahun 6 kali di puskesmas. Sayangnya, banyak orang yang belum tahu. Mereka tahunya kalau BPJS hanya meng-cover peserta yang sakit, termasuk sakit gigi, padahal untuk perawatan gigi pun bisa. Saya kira perlu ada sosialisasi agar banyak masyarakat yang tahu.


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.