Strategi Bisnis Pembiayaan Multifinance Syariah dalam Menghadapi COVID-19

Multifinance-COVID19
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kasus COVID-19 yang terjadi secara global sudah mulai dirasakan dampaknya baik secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ekonomi oleh sejumlah industri keuangan, khusunya para debitur dalam memenuhi kewajiban kredit atau pembiayaan.

Pemanfaatan Maggot Sebagai Pakan Ternak

Kinerja dan kapasitas debitur yang memiliki kesulitan dalam membayar kewajibannya berdampak pada risiko kredit atau pembiayaan yang tinggi terhadap kinerja lembaga keuangan, dan akan berdampak ke stabilitas keuangan serta pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Hal ini juga dirasakan oleh lembaga pembiayaan atau multifinance di Indonesia, karena kewajiban debitur dalam melakukan pembayaran kredit atau pembiayaan tidak hanya terjadi di perbankan, namun juga di lembaga pembiayaan atau multifinance. Industri multifinance di Indonesia memiliki segmen pasar menengah ke bawah, seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang juga memiliki dampak buruk akibat COVID-19.

Hidroponik, Solusi Lahan Sempit di Perkotaan

Namun pada artikel ini penulis mencoba untuk membahas lebih dalam terkait permasalahan yang terjadi pada multifinance syariah.

Berdasarkan statistik lembaga pembiayaan per Januari 2020 yang diperoleh dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kegiatan operasi berupa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, memiliki pendapatan bagi hasil atau margin sebesar Rp 326,2 Miliar.

Bahaya Masker Medis: Ancaman Baru Climate Crisis

Pendapatan ini jauh menurun sebesar Rp 4,38 Triliun pada Bulan Desember 2019. Angka tersebut mengalami penurunan karena diprediksikan kesulitan debitur dalam memenuhi kewajibannya termasuk debitur UMKM. Selain itu, diprediksikan banyaknya piutang yang tak tertagih, terlihat dari penurunan piutang yang tidak terlalu signifikan yaitu Rp 15,92 miliar pada Bulan Desember menjadi Rp Rp 15,81 per Januari 2020.

Namun, permasalahan yang dihadapi multifinance syariah jauh berbeda dengan multifinance konvensional. Beberapa multifinance konvensional belum melihat dampak yang terjadi akibat COVID-19, bahkan cenderung stabil.

Industri multifinance seperti PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk (WOMF) bisnis pembiayaan bisa tumbuh Rp 6,5 Triliun sepanjang tahun 2020, bahkan pembiayaan bermasalah stabil diangka 2%, bahkan WOMF berencana akan menerbitkan obligasi sebesar Rp 1 triliun pada semeseter satu 2020 ini.

Namun ada juga multifinance yang memiliki penurunan dalam bisnis pembiayaan seperti PT Adira Dinamika Multi Finance, Tbk (ADMF). ADMF membukukan pembiayaan sebesar Rp 37,9 triliun pada tahun 2019. Angka tersebut mengalami penurunan dari tahun 2018 sebesar Rp 38,3 triliun.

Berdasarkan data di atas, permasalahan yang terjadi pada multifinance syariah dalam kegiatan bisnis pembiayaannya, jauh berada di bawah multifinance konvensional. Jika kita melihat segmen pasar multifinance, baik konvensional maupun syariah sama-sama didominasi oleh nasabah UMKM. Tentu ada faktor lain yang menyebabkan lebih rendahnya kegiatan bisnis pembiayaan microfinance syariah tersebut.

Pandemi COVID-19 secara tidak langsung telah memberikan dampak terhadap multifinance baik syariah maupun konvensional.

Namun, Otoritas Jasa Keuangan terhitung tanggal 13 Maret 2020 mengeluarkan peraturan tentang stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan countercyclical dampak penyebaran coronavirus disease 2019.

Wimboh Santoso selaku Ketua Dewan Komisioner OJK juga memaparkan bahwa stimulus ini tidak hanya diberikan untuk perbankan, namun juga untuk multifinance, agar sektor usaha tetap berjalan dari dampak penyebaran COVID-19.

Untuk rencana relaksasi, kebijakan yang akan dilakukan multifinance antara lain: pertama, penundaan pembayaran untuk pembiayaan yang berkaitan dengan skema chanelling dan joint financing yang berkaitan dengan perbankan.

Kedua, skema executing antara perusahaan pembiayaan yang mendapat kredit dari perbankan, akan dilakukan dengan mekanisme restrukturisasi sebagaimana diatur dalam POJK No.11/POJK.03/2020.

Penerapan kebijakan relaksasi ini juga diperuntukkan kepada debitur UMKM dimana berlaku hingga 31 Maret 2021. Kebijakan ini tentu belum memiliki dampak yang signifikan, baik untuk perbankan bahkan multifinance.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah memutuskan memperpanjang status keadaan pandemi COVID-19 hingga Bulan Mei 2020. Hal demikian akan mengganggu kinerja lembaga pembiayaan pada semester 1 ini.

Oleh karena itu, selain relaksasi yang telah diberikan pemerintah, penulis menyarankan bagi multifinance syariah tidak hanya mengandalkan fasilitas stimulus tersebut, jika relaksasi ini tidak diawasi oleh internal dengan baik, maka akan menimbulkan risiko penyalahgunaan dalam penerapan kebijakan tersebut.

Selain itu multifinance syariah perlu mengelola piutang tak tertagih dengan alternatif lainnya, seperti pengelolaan pertumbuhan pendapatan yang stabil atau disiplin dalam pengelolaan biaya operasional.

Objek pembiayaan dari multifinance syariah berdasarkan data yang diperoleh dari OJK per Januari 2020 sebesar Rp 317, 48 miliar yang terdiri dari barang konsumsi, seperti kendaraan bermotor roda dua baru, kendaraan bermotor roda dua bekas, kendaraan bermotor roda empat baru, kendaraan bermotor roda empat bekas, rumah tinggal baru, rumah tinggal bekas, dll.

Oleh karena itu, multifinance syariah harus fokus terhadap inovasi khususnya di pasar otomotif sehingga meminimalisir risiko terhadap penurunan penjualan sepanjang tahun 2020, bisa dengan cara meningkatkan repeat order. Selain itu bisa melakukan perbaikan sisi internal yang akan lebih berdampak besar untuk mengantisipasi risiko dalam menghadapi COVID-19.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.