Beraninya sama Anak Kecil

Foto: ilustrasi permainan anak.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Ini adalah kisah saya pribadi waktu kecil. Saya yang kecil pada tahun 80-an menjalani masa kecil dengan bahagia. Bagi anak milenial jangan dibayangkan masa kecil saya waktu itu sama dengan saat ini.

Pemanfaatan Maggot Sebagai Pakan Ternak

Kala itu kita tidak kenal dengan gadget dan media sosial, kalaupun ada permainan elektronik seperti gamewatch (saya menyebutnya gimbot) hanya segelintir teman yang memilikinya. Hanya anak orang berpunya yang punya gimbot.

Secara umum kami tetap memainkan permainan fisik dan main bersama. Sebut saja main petak umpet, main galasan, main patok lele, main kelerang, main sepeda dan masih banyak lagi. Memiliki banyak teman dan banyak permainan membentuk karakter kita masing-masing. Segala permainan yang hits dijaman itu saya lalui dengan suka cita.

Hidroponik, Solusi Lahan Sempit di Perkotaan

Permainan yang paling sering saya mainkan adalah main gambar-gambar dan kelereng. Permainan gambar-gambar berupa permainan dari kertas yang ada gambarnya. Sehelai kertas besar terdiri dari 36 buah gambar dan diberi nomor urut lalu dipotong menjadi 36 buah. Di belakang gambar-gambar tersebut ada petunjuk rambu lalu lintas.

Dari gambar tersebut banyak permainan yang bisa kita mainkan. Misalkan menebak rambu lalu lintas apa yang terletak di belakang gambar dan lain sebagainya.

Bahaya Masker Medis: Ancaman Baru Climate Crisis

Secara umum kami tidak pernah membedakan dalam bermain. Siapa saja boleh ikut. Selisih umur tak pernah menyurutkan kami untuk bermain. Rata-rata kami anak SD dan SMP selalu berbaur untuk bermain.

Karena di kompleks kami memang yang paling besar umurnya waktu itu duduk di bangku SMP. Saya kalau bermain dengan anak SMP selalu saja kalah.

Lama-kelamaan saya tahu bahwa mereka sering bermain curang. Saya pun pernah memanfaatkan situasi tersebut jika modal gambar-gambar atau kelereng saya sudah menipis.

Daripada harus membeli lagi bisa memakan uang jajan lebih baik bermain dengan anak yang lebih kecil. Dengan tidak menunggu waktu lama, modal gambar-gambar atau kelereng saya kembali banyak. Begitulah kami selalu bermain dengan segala intriknya.

Seorang teman saya anak pengusaha memiliki video betamax. Se-RT kami hanya dia satu-satunya yang punya video tersebut. Setiap hari libur dia selalu “mengundang” teman-teman untuk menonton di rumahnya.

Tiket masuk ikut menonton adalah menyiapkan uang lima puluh perak (Rp50). Bagi yang tidak bawa uang tidak bakalan dapat masuk. Saya yang punya uang jajan terbatas, sangat sering berdiri di luar mendengar teman-teman bersorak sorai menyaksikan perkelahian Lion Man, Megaloman Fire, Gaban dan film sejenisnya.

Kalaupun saya punya uang sebagai tiket masuk, saya selalu dapat jatah duduk di belakang. Hal tersebut karena saya termasuk yang paling kecil di antara yang dibolehkan menonton.

Ada juga tetangga kami seorang bapak-bapak. Pekerjaannya dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di daerah kami. Dia suka sekali dengan anak-anak. Jika pulang dari kampus, beliau selalu mengumpulkan anak-anak.

Sebelum dia sampai di rumah, kami biasanya dipanggil untuk bertanding dan diiming-imingi dengan hadiah permen. Siapa yang menang dapat permen. Permainan yang sering disuruh adalah pacu lari.

Kami disuruh berlari sepanjang gang kira-kira 7 deretan rumah. Beliau ketawa-ketawa melihat kami bertanding, apalagi kalau ada yang terjatuh. Demi mendapatkan sebuah permen, kadang kami saling sikut dengan teman. Beliau mempunyai adik yang seumuran dengan saya. Namun adiknya tidak pernah diijinkan untuk ikut bertanding dengan kami.

Pernah suatu kali saya diajak main kelereng oleh teman-teman yang umurnya di atas saya. Salah seorang sudah duduk di bangku SMP. Mereka semuanya tiga orang.

Awalnya saya tidak mau bermain, namun karena saya yang paling kecil tidak bisa menolak permintaan mereka. Maklum waktu itu saya memiliki banyak kelereng yang tentu saja ini menjadi makanan empuk bagi mereka yang lebih besar dari saya.

Di awal permainan saya selalu menang. Lalu mereka bertiga mulai bermain curang. Mereka bersekutu untuk mengalahkan saya. Sebelum kelereng saya habis saya tidak diijinkan untuk meninggalkan permainan.

Namun nasib berkata lain. Di luar dugaan mereka saya tak bisa mereka kalahkan. Ujung-ujungnya mereka meminta paksa kelereng saya. Saya tak mau dan berakhir dengan perkelahian. Sudah barang tentu saya kalah karena mereka bertiga. Semua kelereng saya habis mereka bagi bertiga.

Saya pulang sambil menangis karena tak kuasa mempertahankan kelereng milik sendiri. Melihat hal tersebut Ayah saya tak senang. Diinterogasilah saya. Dengan rasa ketakutan saya menceritakan semuanya pada Ayah.

Biasanya Ayah akan marah jika mengetahui saya berkelahi. Namun kali ini karena saya dipukul rame-rame oleh anak yang lebih besar, beliau tersulut juga emosinya. Satu persatu Ayah menemui rumah orang tua mereka.

Memang terjadi sedikit cek cok antar orangtua, namun akhirnya saya mendapati kembali kelereng milik saya. Saya melihat teman-teman tersebut dimarahi orangtunya masing-masing.

Ada yang dijewer telinganya dan ada juga yang kena pukul lidi kakinya. Satu kalimat yang masih saya ingat dari ucapan orangtua teman tersebut adalah, “Kamu kebiasaan ya main dengan anak kecil, bikin malu saja”.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.