Santriwati dan Fenomena Selfie

Ilustrasi selfie
Sumber :
  • vstory

VIVA –  “Orang yang disebut sebagai santri bukan yang mondok saja tetapi siapapun yang ber-akhlak santri, yaitu orang yang tawadlu' kepada Allah, tawadlu' kepada orang alim. kalian namanya santri dan santri melihat tanah air Indonesia ini sebagai rumah, kalau  santri berbicara kebangsaan bukan karena nasionalisme, karena santri tidak tau isme-isme akan tetapi karena keterlibatan dan kepemilikannya terhadap bangsa ini” (Gus Mus, 2018).

Deretan Negara Paling Tak Percaya Tuhan di Dunia, Mayoritas di Benua Asia!

Gus Mus memberikan sorotan yang tajam bahwa sebagai seorang santri, hal yang paling utama dimiliki adalah kecintaan terhadap Tanah Air dan negara, sebab baginya negara adalah rumah yang harus ia jaga dan cintai selamanya. Apa hubungan santri dengan negara?

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sejak 2015 oleh Presiden Jokowi melalui dorongan dari kalangan Nahdlatul Ulama seharusnya menjadi cambuk bagi para santri untuk lebih berkontribusi untuk negeri tercinta, Indonesia.

Alvin Lim Kecam Pendeta Gilbert Lumoindong yang Singgung Zakat dan Salat

Sebab, resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asyari yang menjadi dasar penetapan HSN tersebut berisi tentang perintah itu. Tentu menjadi merugi, ketika Hari Santri hanya dijadikan sebagai ajang foto bersama atau foto sendiri dengan gaya-gaya, alias selfie. Pasca perayaan HSN 2019 ini, penulis gelisah melihat fenomena santriwati selfie dengan “melampaui batas”.

Seharusnya santri menjadi kiblat bagi orang awam yang baru belajar agama, bukan malah mencontohkan hal-hal yang kurang bermanfaat bahkan dapat mendatangkan mudharat. Mengenai selfie ini, kita tentu tidak bisa hanya sekadar benar-salah atau baik-buruk, tetapi melihat manfaat dan mudharathya.

Top Trending: Sosok Noni Belanda Jadi Anggota TNI sampai Polisi Beri Mahar Emas Palsu

Fenomena selfie di masyarakat saat ini tak hanya menjadi sebuah hobi ataupun tren, tapi sudah menjadi sebuah budaya wajib, untuk kemudian membagikan hasil selfie tersebut ke media sosial. Terutama di momen-momen tertentu seperti perayaan hari lahir, perayaan kemerdekaan, hingga perayaan hari santri.

Selfie tidak terbatas pada usia, agama, maupun kalangan kondisi ekonomi masyarakat, hampir semua orang selalu melakukan selfie dan membagiknnya ke media sosial. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, mulai dari masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah hingga mereka yang berasal dari kondisi perekonomian menengah ke atas.

Budaya selfie dan membagikan ke media sosial seakan menjadi candu dan kebutuhan primer untuk berbagai kebutuhan, mulai dari sebagai sarana berbisnis atau mensosialisasikan produk yang dijual atau bahkan hanya sekadar ingin mengupload dan mendapat respon dari teman-teman lain yang terhubung dalam media sosial tersebut.

Dari foto selfie yang dibagikan ke media sosial juga menjadi sebuah treatment tersendiri yang menentukan eksistensi kita di dunia maya.

Berfoto dan mengabadikan momen sebenarnya sudah lama menjadi kebutuhan masyarakat. Hanya saja, dulu masyakat hanya mencetak dan menjadikan foto tersebut sebagai hiasan rumah atau kamar, jadi orang-orang hanya bisa melihat foto tersebut jika berteman dekat atau telah berkunjung ke rumah.

Namun, saat ini semua orang bisa melihat foto kita hanya melalui sebuah gadget, tidak peduli sejauh apapun jaraknya. Kita hanya perlu membuka media sosial dan mengetikkan nama lalu akan muncul foto-foto yang berkaitan dengan nama tersebut.

Dikutip dari The Washington Post, hingga tahun 2016 tercatat terjadi 54 kasus kematian akibat selfie di India.  Puluhan kasus tersebut membuat pemerintah India menerbitkan papan larangan selfie di sejumlah area berbahaya. 

Bukan cuma di tepi jurang atau gunung, peringatan tersebut juga dipajang saat berlangsungnya festival, seperti Kumbh Mela, yang biasanya dihadiri ribuan orang demi menghindari aksi saling dorong.

Kasus kematian akibat selfie tercatat sudah terjadi sejak tahun 2011. Khusus di AS, Departemen Transportasi mencatat bahwa tahun 2014 merupakan tahun yang sarat akan kecelakaan akibat selfie. Mereka mencatat ada 33 ribu orang yang terluka akibat melakukan kegiatan sarat narsisme tersebut, mulai dari yang sedang berkendara sampai yang tengah berwisata.

All India Institute of Medical Sciences mencatat bahwa sepanjang Oktober 2011 sampai November 2018 telah terjadi 259 kasus kematian akibat selfie di seluruh dunia. Banyak dari mereka yang nekat mencelakai diri demi mendapat dokumentasi yang dirasa sempurna agar disukai orang-orang di media sosial. Sebagian besar korban berusia 10 sampai 30 tahun.

Dari deretan kasus di atas, tentu harus dipertimbangkan ulang bagaimana kita menyikapi fenomena selfie ini. Selain faktor keselamatan sebagaimana dijelaskan di atas, hal yang mestinya menjadi pertimbangan mengenai foto selfie yang seharusnya tidak dilakukan ini adalah karena dapat mengakibatkan timbulnya syahwat bagi orang lain yang bukan muhrimnya.

Hal ini jelas, ketika foto selfie Anda diunggah melalui sosial media dan sejumlah orang melihatnya. Bukan tidak mungkin jika di antara mereka ada yang mengagumi bahkan menyukai apa yang telah Anda perlihatkan. Termasuk bagian tubuh dan lainnya. Hal ini seperti hukum melihat aurat wanita dalam Islam. Jika untuk konsumsi pribadi, tentu menjadi lain.

Lebih dari itu, ketika seseorang mengharapkan adanya respon dari sejumlah teman ataupun orang lain yang melihatnya dengan niat mendapatkan pujian ataupun sebagainya.

Yang demikian itu dinamakan sifat riya’ (pamer), dan itu mesti dihindari oleh seorang muslimah. Bahaya foto selfie selanjutnya adalah timbulnya sifat takabur dalam diri sendiri.

Tidak berhenti sampai di situ, ketika foto selfie telah menjadi konsumsi publik di media sosial, maka bukan hanya sifat riya’ yang bisa timbul, melainkan sifat takabur pun juga bisa menghinggapi hati seorang santriwati.

Jika ada banyak yang menyukai, bisa jadi tentu rasa puas dan menganggap diri Anda yang paling cantik atau tampan dari orang lain seketika terbesit di dalam benak pikiran anda. Hal inilah yang akan menjadi sifat takabur yang sangat dibenci oleh Allah swt.

Sebagai seorang santri yang lebih tahu tentang nilai, adab, norma dan hukum Islam, sudah seharusnya dia mengimplementasikan hal-hal tersebut dalam kehidupannya. Jangan sampai kita meniru perilaku orang-orang jahiliyyah yang sangat dikecam oleh Islam (QS. Al-Ahzab: 33).

(Penulis: Siti Rohmah, Sekretaris Jenderal di Pusat Kajian Dakwah dan Toleransi (Puskadat) UIN Walisongo Semarang. Nyantri di Pondok Pesanten Ibnu Hajar (PPIH) Kota Semarang)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.