Maskulin dalam Balutan Feminin

Ilustrasi
Sumber :
  • vstory

VIVA – Saat ini kenyamanan seorang wanita sedang terusik dengan isu cross hijabers. Ada sekelompok orang yang berjenis kelamin laki-laki, tapi berpakaian layaknya seorang muslimah.

Terungkap 3 Alasan Iran dan Arab Saudi Saling Bermusuhan, Isu Agama Paling Kuat

Mereka menggunakan pakaian muslimah seperti gamis, hijab syar’i bahkan cadar. Komunitas ini mulai berani menampilkan aktivitas mereka di ruang publik dengan mengunggahnya di media sosial.

Tidak dapat dipungkiri, mereka melakukan hal ini hanya sebagai kedok untuk menutupi tindakan kriminal yang akan mereka lakukan. Misalnya, mereka menggunakan cadar untuk menyamarkan identitasnya sebagai laki-laki dan mengenakan cadar untuk memudahkannya dalam mencuri. Selain itu, kejahatan yang akan mereka lakukan adalah kejahatan yang berbau pelecehan seksual.

Deretan Negara Paling Tak Percaya Tuhan di Dunia, Mayoritas di Benua Asia!

Menurut Wening Wihartati M.Si, seorang pakar psikologi, bahwa pelaku cross hijabers termotivasi bukan hanya karena keinginan mereka melakukan penyelewengan seksual, tetapi juga karena kenyamanan yang dirasakannya ketika berbaur dan bergaul dengan perempuan dan kedok untuk melakukan tindak kejahatan lainnya, seperti mencuri.

Atas dasar itulah, mereka ingin mengubah penampilan mereka dengan cara berpakaian layaknya muslimah dengan hijab syar’i, bukan cadar.

Alvin Lim Kecam Pendeta Gilbert Lumoindong yang Singgung Zakat dan Salat

Tentu hal ini sangat meresahkan bagi masyarakat khususnya wanita. Dilansir dari Tribunnews.id bahwa ada pria berkumis dengan menggunakan cadar yang membuat resah jamaah putri di Masjid Agung Baiturrahma, Sukoharjo.

Penyamaran pria tersebut terbongkar pada Minggu (22/09/2019). Ada dua versi motif dibalik penyamaran pri berkumis tersebut. Motif pertama, modus untuk bisa foto dan memeluk jamaah perempuan. Motif kedua, modus untuk melakukan pencurian. Terbukti, pria berkumis tersebut kepergok warga saat berupaya mencuri sepeda motor di kawasan masjid.

Crosshijabers merupakan salah satu variasi dari crossdressing atau berlintas busana, yakni sebuah tindakan memakai busana atau aksesori dari gender yang berbeda. Crossdressing sudah dipraktikkan sejak lama oleh berbagai tradisi masyarakat di seluruh dunia, mulai dari Yunani, Norwegia, dan kelompok agama Hindu.

Di Asia, tepatnya di Jepang, praktik berlintas busana ini ditemukan dalam teater cerita rakyat, seperti teater Kabuki.

Jika dicermati secara mendalam, maka ada beberapa pokok permasalahan terkait keberadaan crosshijabers.

Pertama, crosshijabers dapat menjadi bibit perilaku penyimpangan orientasi seksual yang termasuk dalam kelmpok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Penulis katakan sebagai bibit karena berdasarkan sumber tertentu para crosshijabers tidak memiliki orientasi seksual yang menyimpang.

Orientasi seksual mereka tidak berbeda, tetap menyukai lawan jenisnya yaitu perempuan. Sebagai heteroseksual, anggota crosshijaber tidak dianggap kebanyakan masyarakat sebagai sesuatu yang menyimpang.

Untuk itu, masyarakat tentu tidak boleh tinggal diam, apalagi menutup mata dengan kejadian ini. Perilaku yang menjurus ke penyimpangan, apabila dibiarkan begitu saja tentu akan menyimpang juga.

Perasaan nyaman saat mengenakan pakaian muslimah, suka melakukan hal yang dilakukan seorang muslimah, dan bangga menjadi seorang muslimah adalah perasaan-perasaan yang perlu diluruskan agar tidak terjerumus ke dalam lubang dosa.

Padahal sebagai seorang yang beragama islam kita harus paham bahwa hal itu adalah hal yang dilarang, seperti Ibnu Abbas ra. mengatakan: Rasuulullah saw. telah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Kedua, crosshijabers membawa stigma negatif pada muslimah yang menutup aurat secara benar. Crosshijabers menggunakan atribut muslimah sekaligus sebagai kedok melakukan kejahatan.

Tentu hal ini juga sangat merugikan kaum muslimin. Fitnah dan saling curiga dapat terjadi diantara mereka. Islamophobia (rasa takut  akan hal-hal yang berbau Islam) pun dapat menjangkiti masyarakat secara umum. Muslimah menjadi takut atau ragu untuk berhijab sesuai dengan ketentuan syariah.

Padahal ketentuan menutup aurat sudah tertera di dalam Alquran surah Al Ahzab ayat 59 yang artinya "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka.

Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Perilaku crosshijabers adalah buah kebebasan yang diusung oleh sistem demokrasi. Dengan prinsip kebebasan dan HAM-nya demokrasi memberikan ruang bagi LGBT dan kroninya tumbuh dan berkembang. Dengan demokrasi, keputusan negara hanya berdasarkan jumlah suara, bukan benar salahnya atas satu sudut pandang tertentu.

Hal yang paling mendasar dalam demokrasi yang berbalut dengan HAM juga adalah membuat agama tersingkir dari pedoman kehidupan masyarakat. Tentu hal ini yang menjadi tujuan mereka, kaum LGBT. Agamalah yang menghalangi eksistensi mereka. Mereka hanya menjunjung tinggi HAM untuk melegalkan perbuatan mereka.

Indonesia memang bukan negara Islam, tetapi Indonesia merupakan negara penduduk Islam terbanyak di dunia. Islam sebagaia agama rahmatan lil ‘alamin tidak pernah mengajarkan perbuatan crosshijabers.

Sangat disayanghkan sekali kalau perilaku crosshijabers merajalela di negara beradab ini, Indonesia. Untuk itu, sudah sepantasnya, masyarakat Indonesia, khususnya yang Islam, melakukan gerakan pencegahan dan perlawanan terhadap pelaku crosshijabers. 

(Penulis: Lailatul Qoderia, Peneliti di Center for Woman and Gender Studies (CWGS) UIN Walisongo Semarang, Nyantri di Pondok Pesantren Ibnu Hadjar (PPIH) Ngaliyan, Kota Semarang).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.