Desa Fiktif dalam Perspektif Administrasi Negara

Partisipasi Publik dalam Administrasi Negara (sumber gambar dari google dengan pengolahan)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Isu "Desa Fiktif" atau "Desa Siluman", beberapa hari ini (5-7/11) mewarnai berbagai media di negeri ini. Isu ini pertama kali dihembuskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada saat membahas evaluasi kinerja 2019 di hadapan Komisi XI DPR (4/11).

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Desa fiktif, merujuk keterangan Sri Mulyani adalah bermunculannya "desa" baru yang tidak berpenduduk. Desa fiktif dipersoalkan mengingat bahwa "desa baru" ini mendapatkan guyuran dana dari pemerintah pusat dan dinilai telah merugikan keuangan negara.

Berbagai komentar dan opini juga telah menghiasi pemberitaan mengenai adanya desa siluman ini. Kemendegri, melalui Dirjen Bina Pemerintahan Desa, Nata Irawan, misalnya, menampik jika desa yang minim penduduk serta merta disebut sebagai desa yang dibuat-buat atau fiktif, namun lebih karena ditinggal oleh penduduknya, sehingga menjadi temuan sebagai desa fiktif.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Namun, ia juga mengakui bahwa pemerintah masih ada kekurangan, terutama dalam pendataan desa yang dikonfirmasi oleh keterangan dari BPS. Kekurangan dalam pendataan desa yang dimaksud adalah ketidaksesuaian data jumlah desa antara Kemendagri dan BPS.

Perbedaan ini juga diakui oleh Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi Kemendes Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Arief Roesadi. Berdasarkan data Kemendagri, jumlah desa baru dari 2015 hingga 2018 hanya sebanyak 861 desa, tidak seperti BPS yang sudah melampaui 1.741 desa. Namun menurut Arief, data BPS tetap yang lebih valid.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Peneliti ICW, Egi Primayogha, justru menilai fenomena ini sebagai indikasi lemahnya pengawasan pengelolaan dana desa selama ini. Ia pun menduga adanya praktik korupsi berlapis dalam dugaan aliran dana desa ke desa-desa 'siluman' itu.

Sementara itu Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (LETRAA), Yenny Sucipto menduga munculnya desa-desa baru tak berpenghuni yang menerima transferan dana desa disebabkan oleh tak efektifnya sistem evaluasi pengelolaan dana desa dan buruknya koordinasi antar kementerian/lembaga terkait.

Tentang kaitannya dengan dana desa, kemunculan desa fiktif ini dikonfirmasi dari pernyataan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, yang menilai bahwa isu desa fiktif sebenarnya sudah lama terdengar, dan menjadi tantangan yang harus dilalui dalam program dana desa.

Menurutnya, Desa fiktif muncul sejak bergulirnya dana desa. Nama-nama desa itu pun juga dipasok dari Kemendagri. Cuma persoalannya, menurut Trubus, bahwa hal ini harus diverifikasi, dan jangan sampai melakukan verifikasi, tanpa observasi ke lapangan.

Dari beragam opini di atas, penulis melihat bahwa akar persoalan masih mengerucut kepada (ulah) negara sebagai penyelenggara dan administratur pemerintahan.

Dari opini ini pula, maka mulai dari Presiden, Kemenkeu, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Kepolisian, dan KPK telah mengsintrusikan dan mulai bergerak untuk menelusuri dan menginvestigasi keberadaan "desa fiktif" tersebut terkait aliran dana desa.

Pembangunan mikro embung di Desa Sido Mukti.

Pertanyaannya mengapa kasus ini baru terungkap sekarang, dengan fakta bahwa dana desa telah berjalan sejak tahun 2015? 

Partispasi Publik dalam Administrasi Negara

Pengertian Administrasi Negara sebagai proses pengaturan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah/aparatur negara, sering kali diterjemahkan sebagai kekuasaan negara semata. Hal ini dalam keilmuan administrasi negara sebagai konsep lama.

Dalam konsep baru disiplin ilmu Administrasi Negara, dengan merujuk kepada tujuan administrasi negara, untuk mengurus kepentingan publik, setidaknya harus terkondisikan 4 syarat berikut, yaitu:

Social Participation, yaitu tindakan nyata dari masyarakat dengan ikut serta di dalam administrasi negara; Social Responsibility, yakni pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pelaksana administrasi negara kepada masyarakat; Social Support berupa dukungan yang diberikan oleh rakyat terhadap pelaksanaan administrasi negara dan Social Control, yakni adanya kontrol atau pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kegiatan administrasi negara.

Atas empat syarat di atas, maka adminitrasi negara, saat ini, sering juga diistilahkan sebagai administrasi publik ataupun kebijakan publik.

Dalam bahasan ini pula, tulisan ini saya hadirkan.

Merujuk pengakuan dari Menkeu Sri Mulyani, bahwa adanya desa fiktif ini, beliau peroleh atas adanya laporan satu pihak, tidak jelas siapa atau pihak mana yang melaporkan.

Kalaulah informasi keberadaan desa fiktif ini diperoleh atas laporan masyarakat (publik), maka dalam aspek praktikal, satu syarat Adminitrasi Negara, yaitu adanya kontrol/pengawasan dari publik sudah berjalan. Untyuk hal ini, saya sendiri meragukan kalau laporan ini datang dari publik.

Inilah pentingnya implementasi konsep Administrasi Negara dengan menjadikan publik bukan lagi sebagai objek namun sebaliknya harus menjadi subjek dalam pengelolaan negara yang bertujuan untuk kepentingan publik itu sendiri, meliputi: keamanan, kesejahteraan, ketertiban, keadilan, sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

Satu contoh, dengan mengambil Partisipasi Publik sebagai salah satu syarat terselenggaranya administrasi negara, misalnya, pemerintah sering kali mengabaikan partisipasi publik dalam proses permusan kebijakan publik. Contoh mutakhir adalah ditundanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akibat gejolak publik sebagai akibat proses yang meniadakan partisipasi publik, yang akhirnya juga merembet kepada penundaan RUU lainnya, seperti: RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan.

Kalau dalam syarat pertama, adanya partisipasi publik sudah cacat, bagaimana ke-3 syarat berikutnya akan terjadi, yaitu pertanggung jawaban kepada publik, adanya dukungan publik dan kontrol dari publik.

Kontrol publik, misalnya, di Indonesia harus diakui belum berjalan dengan baik. Kasus desa fiktif yang baru terungkap setelah tiga tahun berjalan, menunjukkan lemahnya kontrol publik itu sendiri.

Hal ini lagi-lagi penulis menyimpulkan bahwa pemaknaan adminitrasi negara masih memegang konsep lama, yaitu semuanya diurus atas dominasi kekuasaan negara. Padahal, karakterisitik Administrasi Negara yang berpusat pada hubungan antara negara dan masyarakat yang sifatnya pasti, tidak bisa dihindarkan adanya syarat-syarat keterlibatan publik sebagaimana dijelaskan di atas.

Konsep baru disiplin ilmu Administrasi Negara sebenarnya menginginkan adanya koreksi dari konsepsi lama dengan menitikberatkan pandangannya pada apa yang sedang bergejolak dalam masyarakat dengan melibatkan masyarakat itu sendiri.

Pentingnya Ilmu Administrasi Negara, menurut Gerald Gaiden menandaskan bahwa disiplin administrasi negara adalah suatu disiplin yang menanggapi masalah-masalah pelaksanaan persoalan masyarakat dan manajemen dari usaha-usaha masyarakat.

Ilmu administrasi negara seharusnya secara sensitif mampu menanggapi isu-isu pokok dalam masyarakat dan mampu memformulasikan ke dalam suatu rumusan kebijaksanaan. Administrasi negara seharusnya tidak lagi dipertimbangkan sebagai administrasi dari negara semata, melainkan administrasi untuk kepentingan masyarakat banyak.

Di Indonesia sendiri, partispasi publik telah mempunyai dasar hukum yang sangat kuat. Mulai dari UUD 1945 yang telah menjamin kemerdekaan masayarakat dalam beropini, berkumpul dan berserikat.

Demikian juga beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah, seperti: UU No. 12/2011, PP No. 87/2014; UU No. 14/2008 KIP, PP No. 61/2010, termasuk Permen No. 53/2011. Masyarakat Transparansi Indonesia dalam uraiannya tentang prinsip-prinsip good governance, menempatkan partisipasi masyarakat pada prinsip yang pertama.

Demikian juga, dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul Beginselen van de democratische rechsstaat.

Namun, lagi-lagi permasalahannya adalah dominasi penyelenggara pemerintahan yang sangat kuat yang berdampak kepada implementasi partisipasi publik tidak berjalan.

Bagaimana bisa berjalan dengan baik, ketika partisipasi publik yang ditunjukkan sebagai kontrol publik dalam bentuk kritik atau ketidaksepakatan dipandang sebagai bentuk-bentuk anti pemerintah, misalnya.

Padahal ide demokrasi, sebagaimana disampaikan Sri Soemantri, Guru Besar Fakultas Hukum UNPAD, seharusnya menjelmakan dirinya dalam 5 (lima) hal, 2 (dua) di antaranya adalah pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan.

Presiden Jokowi buka rapat kabinet di Istana Negara.

Dalam kasus "desa siluman" yang sedang heboh sekarang ini, Presiden Jokowi sudah mengakui, salah satunya terkait dengan pengelolaan dana desa sebagai bentuk perkara yang tidak mudah.

Salah satu alasannya disebutkan berkaitan dengan jumlah desa di seluruh Indonesia yang mencapai 74 ribu lebih. Masalahnya, seperti telah ditanyakan di atas, sejak digulirkannya dana desa tahun 2015, mengapa munculnya 'desa fiktif" baru terungkap sekarang? 

Untuk itulah, negara sudah seharusnya melihat administrasi negara sebagai administrasi atau kebijakan publik dengan menempatkan publik tidak hanya sebagai objek dalam hal perumusan/pembuatan kebijakan publik, manajemen publik dan kontrol publik tetapi sebaliknya sudah harus banyak dilibatkan.

Sebagai penutup penulis sampaikan manfaat partispasi publik yang dikutip dari praktisi kebijakan publik, Sad Dian Utomo, yaitu; Pertama, Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik; Kedua, Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik;

Ketiga, Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif
dan legislatif; Keempat, Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.

Tidak terlaksananya partisipasi publik dalam Adminitrasi Negara selain dominasi kuat dari pemerintah juga bisa disebabkan oleh tingkat kesadaran dan pendidikan yang kurang dari masyarakat itu sendiri, yang boleh jadi faktor ini muncul karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam hal pelibatan publik. (Penulis:  Setiadi Ihsan, M.Si, Dosen Universitas Garut)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.