Dapatkah Meningkatkan Pendidikan melalui Tenaga Pengajar Asing?

Education is becoming a primer needs for everyone
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pemerintahan Joko Widodo mewacanakan untuk mendatangkan tenaga pengajar hingga rektor dari luar negeri untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Wacana ini digulirkan untuk menciptakan suasana kompetitif bagi sistem pendidikan tinggi Indonesia. Hal ini juga untuk mewujudkan cita-cita memasukkan 5 PTN terbaik Indonesia ke dalam daftar 100 Top University.

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Namun, beberapa kalangan justru melakukan penolakan atas ide tersebut. Kalangan tersebut berpendapat bahwa Indonesia seharusnya meningkatkan kualitas pengajar melalui peningkatan kompetensi daripada mengundang pengajar asing yang mungkin akan mengalami beberapa kendala seperti bahasa dan perbedaan kurikulum.

Sebenarnya, bagaimana keadaan perguruan tinggi di Indonesia? 

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Berdasarkan data dari QS World University Ranking, 5 universitas terbaik di Indonesia adalah Universitas Indonesia (peringkat 296 dunia), Universitas Gadjah Mada (peringkat 320 dunia), Institut Teknologi Bandung (peringkat 331 dunia), Institut Pertanian Bogor (peringkat 601-650 dunia), dan Universitas Airlangga (peringkat 651-700).

Indikator penilaian oleh QS World University Ranking meliputi 6 indikator, yaitu reputasi akademik sebesar 40 persen, reputasi lulusan sebesar 10 persen, rasio fakultas dan mahasiswa sebesar 20 persen, kutipan jurnal ilmiah sebesar 20 persen, fakultas internasional sebesar 5 persen, dan mahasiswa internasional sebesar 5 persen.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Menariknya, indikator fakultas internasional sebesar 5 persen adalah untuk mengukur jumlah ekspatriat atau tenaga pendidik asing di fakultas atau perguruan tinggi. Oleh karena itu, dengan adanya tenaga pendidik dari luar negeri yang memiliki reputasi dan kredibilitas, diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi perguruan tinggi di Indonesia. Baik dalam partisipasinya sebagai sharing knowledge agent maupun akademisi.

Sebagai contoh, King Fahd University of Petroleum and Mineral di Arab Saudi dulunya peringkat 500 besar dunia. Namun sejak adanya peningkatan dosen dari luar negeri sebanyak 40 persen dari total dosen di Arab Saudi, rankingnya di dunia berangsur baik hingga mencapai ranking 189 dunia.

Ketakutan beberapa kalangan pendidik di Indonesia akan kehadiran tenaga pendidik asing seharusnya dihilangkan. Dengan adanya tenaga pendidik asing di Indonesia seharusnya dapat dijadikan momentum untuk berkolaborasi dalam menciptakan penelitian yang mampu berkontribusi positif bagi Indonesia dan dunia.

Data dari website www.scimagojr.com, menunjukkan bahwa jumlah publikasi Indonesia yang terindeks scopus sebanyak 106.501 dokumen di peringkat 48, tertinggal jauh dari Thailand di peringkat 44 sebanyak 168.248 dokumen, Singapore di peringkat 32 sebanyak 269.110, dan Malaysia sebanyak 274.464 dokumen. Hasil itu menunjukkan bahwa budaya riset di Indonesia masih minim dibandingkan 3 negara tersebut di ASEAN.

Peringkat pertama sendiri adalah Amerika Serikat sebanyak 1.070.848 dokumen. Ide untuk berkolaborasi dengan tenaga pengajar pendidik asing jangan dilihat hanya dari sisi negatifnya saja. Tetapi harus dilihat juga dari sisi positifnya berupa inisiasi peningkatan kualitas Research and Development (R&D) di Indonesia.

Peningkatan jumlah penelitian di Indonesia akan berdampak terhadap peningkatan kutipan jurnal ilmiah ilmiah yang berkontribusi sebanyak 20 persen dalam indikator penilaian ranking universitas dunia.

Kemudian, bagaimana keadaan lulusan perguruan tinggi di Indonesia?

Peningkatan kualitas perguruan tinggi di Indonesia juga seharusnya diikuti dengan peningkatan lulusan universitas di dalam penyerapannya terhadap dunia kerja. Salah satu indikator penilaian universitas terbaik dunia adalah reputasi lulusan yang menyumbang sebesar 10 persen untuk mengidentifikasi performa dan kualitas lulusan universitas di mata para pimpinan perusahaan.

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran lulusan universitas selalu meningkat setiap tahunnya. Data Februari 2014, tingkat pengangguran sebesar 398.298 orang, kemudian meningkat menjadi 565.402 pada Februari 2015. Dan Agustus 2018 meningkat lagi menjadi 729.601.

Hal ini mengindikasikan bahwa masih sangat banyak lulusan universitas yang menganggur. Pertanyaannya adalah apakah lulusan universitas yang menjadi pengangguran tersebut terjadi karena tidak adanya lapangan pekerjaan atau tidak terserap di dalam bursa tenaga kerja?

Hal tersebut dapat dijawab dengan melihat data rilis BPS mengenai status utama pekerjaan berdasarkan pendidikan terakhir yang ditamatkan. Data Agustus 2018 menunjukkan bahwa dari 11.653.102 lulusan universitas yang bekerja, sebanyak 9.554.342 bekerja sebagai buruh/pegawai/karyawan. Sedangkan sisanya terdistribusi ke dalam status bekerja lainnya.\

Yaitu bekerja sendiri sebanyak 749.892, berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 397.888, berusaha dibantu buruh tetap sebanyak 558.951, pekerja bebas pertanian sebanyak 5.797, pekerja bebas non pertanian sebanyak 34.659, dan pekerja keluarga sebanyak 351.573.

Perbandingan jumlah yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai dengan status lainnya menunjukkan bahwa lulusan universitas di Indonesia belum memiliki kemandirian di dalam menciptakan sendiri lapangan pekerjaan.Masih sangat bergantung dengan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh bursa tenaga kerja. Sehingga akan ada lulusan universitas yang tidak akan terserap di dalam bursa tenaga kerja akibat besarnya permintaan dibandingkan penawaran kerja.

Kesimpulannya, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai prioritas pembangunan nasional selanjutnya harus diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana kualitas pendidikan khususnya pendidikan perguruan tinggi. Sehingga dapat menciptakan akademisi-akademisi yang berkualitas internasional dan mampu bersaing secara kompetitif dengan negara-negara lain di dunia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.