Partisipasi Sekolah Meminimalisir HIV dan AIDS

menghilangkan stigma negatif tentang HIV
Sumber :
  • vstory

VIVA – Bulan Desember ini banyak berita di berbagai media massa online membahas HIV dan AIDS. Wajar juga sebenarnya. Tanggal 1 Desember memang diperingati sebagai hari AIDS sedunia, sebuah penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus.

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah virus yang menyerang sistem imun dan jika tidak diterapi dapat menurunkan daya tahan tubuh manusia hingga terjadi kondisi AIDS (Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 52 Tahun 2017).

Menurut laporan perkembangan HIV dan AIDS Triwulan II Tahun 2019, dari April sampai Juni jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 11.519 orang. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (71,1%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (14,4%), dan kelompok umur ? 50 tahun (9%). Dengan demikian terjadi peningkatan jumlah kasus HIV yang dilaporkan dibandingkan dengan triwulan I tahun 2019 dari 11.081 orang menjadi 11.519 orang (Sumber : https://siha.depkes.go.id).

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Sekolah sebagai salah satu lembaga dalam masyarakat tidak boleh menutup mata terhadap masalah HIV dan AIDS ini. Pasal 50 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS menyatakan setiap orang harus berpartisipasi secara aktif untuk mencegah dan menanggulangi epidemi HIV sesuai kemampuan dan perannya masing-masing.

Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran menurut tingkatannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring). Dalam lembaga ini terjadi proses transfer pengetahuan dan pemahaman akan pengetahuan. Oleh karenanya sangat efektif jika pengetahuan tentang penanggulangan penyebaran HIV dan AIDS dimulai pada lembaga ini.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Menurut Pasal 51 Permenkes Nomor 21 Tahun 2013, masyarakat dapat berperan serta dalam upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dengan lima cara. Pertama, mempromosikan perilaku hidup sehat. Kedua, meningkatkan ketahanan keluarga. Ketiga, mencegah terjadinya stigma dan diskrimasi terhadap orang terinfeksi HIV dan keluarga, serta terhadap komunitas populasi kunci. Keempat, membentuk dan mengembangkan Warga Peduli AIDS. Kelima, mendorong warga masyarakat yang berpotensi melakukan perbuatan berisiko tertular HIV untuk memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS).

Berkaitan dengan hal tersebut, ada baiknya sekolah mengadakan kerjasama dengan lembaga dinas kesehatan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya HIV, penyebaran HIV dan cara-cara agar terhindar dari virus ini. Sasarannya seluruh warga sekolah yang meliputi guru, siswa, tenaga kependidikan dan seluruh orang yang berada di lingkungan sekolah.

Harapannya dengan kegiatan ini warga sekolah akan memahami bahaya HIV dan paham tentang penyebarannya. Jika pemahaman ini terbentuk maka tidak akan ada lagi diskriminasi terhadap anak-anak yang terinfeksi HIV seperti yang diberitakan media.

Dalam berita tersebut disampaikan 14 siswa yang diduga mengidap HIV/AIDS di daerah Solo, Jawa Tengah harus meninggalkan bangku sekolah. Alasannya banyak pihak khawatir anak lain akan tertular HIV.

Berita ini menunjukkan pemahaman warga sekolah terhadap masalah HIV dan AIDS masih rendah. Mereka tidak paham bahwa sebenarnya HIV tidak dapat menyebar dalam hubungan sosial.

Hal lain yang yang dapat dilakukan sekolah dengan memperkuat nilai karakter religi dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Formal.

Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat (Pasal 1 Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018).

Memperkuat nilai religi dalam Pasal 2 dalam kegiatan PPK akan memperkuat pemahaman warga sekolah tentang yang baik dan buruk perbuatan berdasarkan agama dan kepercayaan warga sekolah. Kegiatan religi dapat dilaksanakan paling sedikit melalui pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi, retreat, dan atau baca tulis Al Quran dan kitab suci lainnya.

Jika pemahaman akan perilaku baik dan buruk ini telah terbentuk maka penyebaran HIV pun dapat diminimalisir keberadaannya.

Demikianlah partisipasi yang dapat dilakukan sekolah dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Memang, tidak semua poin dalam Pasal 51 Permenkes di atas dapat dilakukan secara total. Peran sekolah dalam penanggulangan HIV dan AIDS lebih mengarah penanaman pentingnya perilaku hidup sehat serta mencegah terjadinya diskrimasi terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.

Orang boleh menilai ini peran yang kecil. Akan tetapi jika ini dilakukan dengan optimal pasti akan menghasilkan sesuatu yang besar. Yaitu penurunan kasus HIV dan AIDS di tahun berikutnya serta dapat menghilangkan stigma buruk atau deskriminasi terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV di masyarakat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.