Strategi Mudah Mengurangi Limbah Pakaian

I have nothing to wear, permasalahan yang sering kita alami
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pernahkah Anda merasa semua pakaian yang Anda miliki sudah tidak up to date? Atau pernahkah Anda membeli pakaian karena harga yang ditawarkan cukup murah, padahal Anda tidak sedang membutuhkannya?

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Tak sedikit di antara kita pernah mengalaminya. Seringkali kita merasa pakaian yang kita miliki sudah ketinggalan zaman dan perlu diganti dengan model yang baru. Hal ini disebabkan oleh begitu dinamisnya tren fashion yang diiringi dengan perkembangan Fast Fashion Industry di dunia. Fast Fashion Industry sendiri merupakan industri fashion yang memproduksi pakaian ready-to-wear.

Industri Fast Fashion memproduksi pakaian secara cepat, mencapai 40-50 koleksi setiap tahunnya kemudian menjualnya dengan harga yang cukup murah. Di balik harga murah yang ditawarkan, ada nilai besar yang dikorbankan.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Beberapa waktu yang lalu, isu kemanusiaan dalam industri Fast Fashion sempat hangat diperbincangkan karena terdapat pelanggaran praktik perburuhan. Namun ternyata efek samping dari industri Fast Fashion tidak hanya itu, tetapi juga mencakup isu lingkungan.

Fashion Industry by The Numbers

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Fashion Industry by The Numbers

Industri fashion merupakan industri penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Industri ini menghasilkan 8-10?ri emisi karbon dunia, melebihi emisi dari semua penerbangan internasional dan transportasi laut. Industri fashion juga mengonsumsi air dalam jumlah yang sangat besar.

Sebagai contoh, untuk membuat 1 kaos katun diperlukan kurang lebih 2.700 liter air atau setara dengan jumlah air minum manusia selama 3 tahun. Saat ini, industri fashion lebih banyak menggunakan material polyester sebagai bahan dasar dibandingkan dengan katun.

Namun faktanya, polyester memiliki dampak yang lebih besar daripada katun. Polyester merupakan bahan non-biodegradable atau sulit terdegradasi secara alami. Selain itu, mencuci pakaian berbahan polyester akan merontokkan ribuan serat plastic (microplastics) yang akan mengalir ke saluran pembuangan, kemudian menuju selokan, dan berakhir di lautan luas.

Hal ini tentunya akan mencemari lautan dan ekosistem di dalamnya, terlebih lagi microplastics dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Microplastics menyumbang komposisi 31% limbah plastik yang ada di lautan.

Berdasarkan uraian di atas, kita tahu bahwa setiap pakaian yang kita beli dari industri fast fashion memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Lantas, bagaimana strategi yang tepat untuk dapat tampil fashionable namun tetap turut ambil bagian dalam menjaga bumi dengan mengurangi limbah pakaian??

The Buyerarchy of Needs

The Buyerarchy of Needs

Berdasarkan The Buyerarchy of Needs yang dikemukakan oleh Sarah Lazarovic, ada enam tingkatan yang perlu dilewati sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu, termasuk pakaian:

  1. Use What You Have
    Gunakan apa yang sudah kita miliki, atau perbaiki dahulu jika rusak. Jika merasa bosan dengan pakaian yang itu-itu saja, dapat disiasati dengan melakukan mix and match atau sekedar menambahkan aksesoris.
  2. Borrow
    Jangan gengsi untuk meminjam pakaian ke orang lain, terutama saat membutuhkan pakaian yang sekiranya tidak akan digunakan lagi. Atau jika tidak memungkinkan, kita dapat mengambil opsi untuk menyewa pakaian. Saat ini tidak sulit untuk mencari penyedia jasa peminjaman barang, terutama pakaian.
     
  3. Swap
    Menukar pakaian dengan orang lain. Dengan cara ini, kita dapat memiliki pakaian baru tanpa harus membeli. Cara ini dapat dilakukkan dengan sederhana, yaitu bertukar pakaian dengan sahabat atau orang-orang terdekat. Bahkan, beberapa komunitas di Indonesia sudah melakukan kampanye tukar-menukar baju yang bertujuan untuk mengurangi limbah pakaian. Kampanye tersebut dapat menjadi sarana edukasi sekaligus sebagai solusi untuk masalah fashion waste, menyadarkan masyarakat akan dampak negatif pembelian pakaian dari industri fast fashion yang tak terkendali.
     
  4. Thrift
    Membeli pakaian bekas/preloved. Di jaman yang serba terhubung saat ini, sangat mudah untuk mencari barang bekas namun dengan kualitas yang masih baik, dapat melalui marketplace ataupun media sosial yang kita gunakan. Dalam membeli pakaian bekas, kita harus cermat dalam memilih, jangan sampai pakaian yang kita beli malah justru akan menumpuk di lemari saja karena ternyata ada bagian yang rusak atau model pakaian tidak cocok di tubuh kita.
     
  5. Make
    Membuat suatu barang sendiri dipercaya dapat menjadikan kita lebih menghargai barang tersebut karena berperan langsung dalam proses pembuatanya. Membuat pakaian sendiri mungkin terdengar sulit bagi sebagian orang, namun hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan orang lain yang memiliki keterampilan khusus, seperti penjahit. Kita dapat membawa beberapa pakaian lama kita ke penjahit untuk dirombak dan menjadikannya pakaian baru.
     
  6. Buy
    Membeli pakaian baru adalah langkah terakhir jika memang kelima hal di atas tidak dapat dilakukan. Namun jangan lupa untuk mempertimbangkan life cycle produk tersebut, mulai dari bahan yang digunakan, proses pembuatannya sampai bagaimana produk tersebut akan berakhir, dan carilah pakaian yang memiliki kualitas baik sehingga dapat bertahan lama.

Dengan menerapkan konsep The Buyerarchy of Needs dalam keseharian, secara tidak langsung kita turut berpartisipasi dalam mengurangi limbah pakaian di dunia. Selain itu, dengan melewati ke-enam tingkatan tersebut, kita juga dapat menahan diri untuk tidak impulsif dalam membeli suatu barang, dan belajar untuk mengelola keuangan lebih baik lagi. Mari jaga bumi kita dimulai dari hal kecil terlebih dahulu. (Penulis, Selly Florentina, Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.