Polemik Kemacetan Kota Besar yang Belum Terselesaikan

Traffic Jam
Sumber :
  • vstory

VIVA – Publikasi Asian Development Outlook yang dirilis oleh Asian Development Bank (ADB) bulan Oktober 2019 menunjukkan terdapat 3 kota besar di Indonesia yang masuk kategori 24 kota termacet di Asia. Kota-kota tersebut adalah Kota Surabaya pada peringkat 20, Kota Jakarta pada peringkat 17, dan Kota Bandung pada peringkat 14.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Kemacetan di kota tersebut selalu jadi masalah yang saat ini belum bisa diselesaikan oleh pemerintah masing-masing. Beberapa solusi yang telah dilakukan untuk mengurangi permasalahan macet tersebut diantaranya, penerapan sistem ganjil genap, peningkatan ruas-ruas jalan mulai dari pembangunan jalan tol maupun jalan layang, peningkatan sarana dan prasarana transportasi publik, seperti MRT, LRT, dan KRL.

Namun, kemacetan masih menjadi polemik besar bagi penduduk di perkotaan. Kemacetan tersebut memiliki dampak negatif terhadap kehidupan mereka. Berdasarkan hasil studi gabungan Bappenas dan Japan International Cooperation Agency (JICA), kerugian yang disebabkan oleh kemacetan pada tahun 2020 mencapai Rp 65 triliun per tahun, di mana Rp 36,9 triliun disebabkan oleh biaya waktu yang terbuang dan Rp 28,1 triliun disebabkan biaya tambahan operasi kendaraan.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Dampak lain yang ditimbulkan dari kemacetan yaitu berupa penurunan kualitas udara di daerah tersebut. Di Indonesia, hampir seluruh kendaraan baik kendaraan sepeda motor maupun kendaraan mobil masih menggunakan bahan bakar fosil. Alhasil, emisi karbon yang dihasilkan kendaraan saat terjadi kemacaten semakin besar.

Sebagai contoh, kota Jakarta menempati peringkat 6 terburuk untuk kualitas udara pada Bulan November 2019 dibandingkan kota-kota besar lainnya di dunia. Buruknya kualitas udara di Jakarta juga berdampak buruk terhadap kualitas kesehatan penduduk kota Jakarta.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Penurunan kualitas kesehatan penduduk dapat juga meningkatkan proporsi pengeluaran untuk keperluan kesehatan, yang sedikit banyak berdampak terhadap penurunan pengeluaran kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan dengan asumsi bahwa pendapatan cenderung konstan.

Sebenarnya apa penyebab kemacetan kota-kota besar di Indonesia?

Berdasarkan publikasi Statistik Transportasi Darat tahun 2018 yang dirilis oleh BPS, jumlah kendaraan sepeda motor di Jakarta mencapai 16,08 juta unit, kendaraan mobil barang 1,05 juta unit, kendaraan bis 543 ribu unit, dan kendaraan mobil berpenumpang 4,07 juta unit.

Di sisi lain, jumlah penduduk Jakarta kurang lebih mencapai 10,5 juta orang. Dengan asumsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa 1 orang penduduk Jakarta memiliki lebih dari 1 kendaraan bermotor.

Jika dibandingkan dengan kota lainnya di Indonesia, jumlah kendaraan di Jakarta selalu memiliki jumlah yang paling besar baik untuk kategori sepeda motor, mobil barang, kendaraan bis, maupun kendaraan mobil berpenumpang. Pada tahun 2018, pertumbuhan jumlah sepeda motor mencapai 5,15 persen dibandingkan tahun 2017, begitu juga dengan pertumbuhan mobil penumpang sekitar 5.4 persen.

Hal ini juga terjadi untuk kota-kota besar lainnya di Indonesia. Pertumbuhan positif terhadap jumlah kendaraan baik motor maupun mobil di kota-kota besar menjadi pokok persoalan utama mengapa kemacetan belum bisa diselamatkan hingga saat ini.

Pertumbuhan positif jumlah kendaraan di Indonesia disebabkan mudahnya aturan untuk memiliki kendaraan baik motor maupun mobil. Bahkan pada akhir tahun 2018, OJK menerbitkan peraturan yang memungkinkan setiap orang untuk membeli kendaraan motor tanpa uang muka dengan maksud untuk meningkatkan perekonomian. Hal tersebut tertuang di dalam Peraturan OJK No. 35/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Dalam hal kebijakan kepemilikan kendaraan, Indonesia dapat berkaca kepada negara-negara maju, salah satunya Jepang. Di Jepang, pemerintah menerapkan kebijakan yang super ketat dalam hal kepemilikan kendaraan.

Sebagai contoh, penduduk yang hendak memiliki kendaraan diharuskan memiliki lahan parkir untuk kendaraannya, kewajiban untuk pengujian kendaraan bermotor (KIR) dua tahun sekali untuk mobil bensin dan satu tahun sekali untuk mobil diesel. Selain itu, biaya parkir setiap bulannya di kota mencapai 4-5 juta rupiah.

Beberapa Opsi Kebijakan Pengurai Masalah Kemacetan

Salah satu kebijakan yang dapat diberlakukan untuk mengurangi jumlah kendaraan adalah dengan memperketat izin kepemilikan kendaraan baik pra kepemilikan maupun pasca kepemilikan kendaraan.

Kebijakan tersebut setidaknya memiliki 2 dampak bagi perekonomian Indonesia. Pertama, pembatasan jumlah kendaraan baik motor maupun mobil berdampak terhadap berkurangnya kemacetan kota besar di Indonesia. Lainnya, berdampak terhadap peningkatan kualitas udara di kota tersebut karena jumlah emisi karbon yang dihasilkan berkurang.

Namun, dampak kedua dari kebijakan tersebut adalah menurunnya jumlah produksi kendaraan di Indonesia, yang berakibat terhadap melambatnya pertumbuhan PDB sektor industri.

Salah satu alasan keluarnya peraturan OJK No. 35/2018 adalah memudahkan lembaga pembiayaan untuk menyalurkan kredit pembelian kendaraan tanpa memerlukan uang muka. Hal ini dimaksudkan untuk menstimulus prekonomian dari lapisan masyarakat di bawah sehingga roda perekonomian dapat berjalan menuju pembangunan yang infklusif

Dua dampak yang saling bertentangan tersebut perlu disikapi dengan bijak baik untung rugi masing-masing kebijakan. Perlambatan pertumbuhan kendaraan akibat kebijakan pembatasan jumlah kendaraan dapat disiasati dengan peningkatan jumlah sarana dan prasarana moda transportasi publik.

Saat ini pembangunan moda transportasi publik seperti LRT, MRT, KRL baru dilaksanakan di Jakarta, sedangkan kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya belum membangun sarana dan prasarana transportasi publik yang memadai.

Salah satu rekomendasi ADB di dalam publikasi Asian Development Outlook dalam mengatasi masalah kemacetan adalah membangun moda transportasi public secara masif.

Pembangunan transportasi publik tersebut juga didasarkan atas prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengutaman penggunaan energi terbarukan dibandingkan energi berbahan bakar fosil.

Pembangunan moda transportasi publik yang masif, nyaman dan aman dapat menjadi daya tarik masyarakat beralih dari transportasi pribadi. Sehingga pembangunan menuju Sustainable City bukan hanya menjadi mimpi tetapi tujuan nyata yang akan tejadi di masa depan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.