Nestapa Kelapa Sawit Jangan Terulang di 2020

Banjir di sekitaran kebun sawit di salah satu daerah di Kalimantan Barat; sumber : koleksi pribadi
Sumber :
  • vstory

VIVA – Perkebunan merupakan salah satu subsektor dari sektor pertanian yang nampaknya menjadi unggulan negeri ini. Hal tersebut lantaran sumbangsih dari perkebunan itu sendiri yang menyumbang 3,30 persen terhadap total PDB 25,50 persen Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan pada tahun 2018 dan sekaligus menempatkan subsektor perkebunan sebagai urutan pertama pada sektor tersebut (BPS, 2019). 

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Salah satu komoditas dari subsektor perkebunan yang memiliki peran strategis adalah kelapa sawit yang diolah menjadi minyak sawit (Crude Palm Oil/ CPO). Pasalnya produksi minyak sawit Indonesia adalah yang terbesar di dunia (Palm MT) .

Kondisi itu seakan menegaskan bahwa sawit merupakan komoditas yang seksi untuk disiasati. Begitu juga dengan kiprahnya sebagai sumber daya alam kerap dinantikan oleh berbagai pihak perusahaan yang berada pada sektor industri.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

CPO yang juga disebut dengan minyak nabati dalam dunia industri dirasa memiliki banyak keunggulan. Hal tersebut karena sifat minyak nabati yang dirasa terbaik untuk perusahaan dalam mengolah produk industri. Sifat yang dimaksud yaitu tentang ketahanan terhadap tekanan tinggi dalam proses oksidasi (pembakaran).

Kemampuannya juga tidak diragukan lagi dalam melarutkan bahan kimia dan menjadi yang terbaik selain bahan pelarut lain. Peruntukannya pun beraneka ragam. Selain untuk minyak dalam kegiatan industri, CPO juga dapat digunakan untuk minyak masak maupun bahan bakar (biodiesel). Bahkan sabun mandi pun menggunakan campuran bahan minyak dari sawit.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Tak heran jika banyak pihak swasta maupun perorangan yang sampai sejauh ini mencoba peruntungan dalam mengupayakan tanaman kelapa sawit ini. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya areal luas lahan kelapa sawit dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

BPS mencatat pada tahun 2014 luas lahan di Indonesia yang ditanami sawit adalah 10,75 juta hektar. Kemudian pada tahun 2018 telah mencapai 12,76 juta hektar. Peningkatan areal luas lahan juga dibarengi dengan peningkatan produksi kelapa sawit.

Ketika pada tahun 2014 total produksinya sebesar 29,28 ton CPO dan berangsur-angsur meningkat menjadi 35,69 pada tahun 2018. Peningkatan itu tidak terlepas dari peran lima provinsi di Indonesia sebagai penghasil produksi kelapa sawit terbesar. Kelima provinsi itu ialah Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan (BPS, 2019).

Sementara itu volume ekspor minyak sawit juga cenderung mengalami peningkatan sejak 2014-2018. Pada tahun 2014 total volume ekspor CPO sebesar 24,37 juta ton. Kemudian meningkat pada tahun 2018 menjadi 29,76 juta ton.

Dengan negara tujuan ekspor CPO ini secara berurutan adalah India, Belanda, Malaysia, Singapura dan Italia. Sayangnya peningkatan total volume ekspor ini tidak diiringi dengan mengingatnya dolar-dolar manis untuk negeri ini. Di tahun 2014 nilai ekspor mencapai US$ 19,01 miliar. Sedangkan 2018 justru terjadi penurunan menjadi US$ 18,23 miliar. Meski begitu kelapa sawit sepertinya masih menjadi primadona komoditas tanaman perkebunan Indonesia.

Namun dibalik parasnya yang seksi rupanya sawit menimbulkan masalah pilu yang begitu mendalam bagi petani sang ujung tombak sektor pertanian Indonesia. Setumpuk masalah masih saja muncul sejak kehadiran kelapa sawit sekitar tahun 1980-an. Misalnya seperti perizinan, legalitas, harga Tandan Buah Segar (TBS) sebagai bahan dasar CPO, dana peremajaan dan pendampingan dalam tata kelola berkebun sawit pun masih kurang.

Contoh saja, saat ini masih banyak petani yang belum memiliki Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STDB). Padahal surat itu begitu penting untuk menjamin legalitas, sehingga pemerintah memiliki basis data dasar untuk menghubungkan antara petani dengan perusahaan. Nantinya STDB itu lah yang akan memperkuat posisi petani dalam memasarkan hasil produksi dan mendapat harga yang layak. 

Selain masalah STDB, harga sawit pun masih menimbulkan polemik bagi petani. Di lingkungan penulis (Kalimantan Barat), banyak petani yang mengeluhkan masalah harga sawit yang terus merosot turun sementara biaya operasional rutin melambung tinggi.

Terkadang menjadikan beban bagi petani. Di satu sisi mereka ingin mendapat hasil produksi maksimal,  namun disisi lain harga pupuk dan biaya perawatan yang tidak murah serta biaya pekerja menjadi penghambat dalam upaya memaksimalkan produksi sawit.

Terkadang malah petani menjual hasil kebun sawitnya dengan harga berapapun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menjual ke tengkulak pun sering menjadi pilihan. Hal ini lantaran proses penjualan ke perusahaan dengan standar yang cukup rumit. Termasuk syarat-syarat kelengkapan administrasi yang tidak dimiliki oleh petani.

Pemerintah selama ini bukannya tidak tinggal diam. Campur tangan pemerintah dalam mengawal jalannya tata kelola kebun sawit dan segala regulasinya pun sudah dilakukan. Beberapa peraturan tentang persawitan Indonesia sudah dibuatnya.

Seperti misalnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Kemudian Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit yang diharapkan mampu mengatur tata kelola sawit, meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan sawit. Hanya saja dalam praktik lapangannya masih kurang optimal.

Belum optimalnya pemerintah dalam mengawal jalannya persawitan Indonesia terlihat pada Permentan No. 01 Tahun 2018. Dalam aturan itu diamanatkan kepada pemerintah daerah melalui bupati/ wali kota atau gubernur agar membentuk kelembagaan petani untuk mewujudkan harga TBS yang seragam dan sesuai standar pemerintah. Namun menurut penuturan petani yang ditemui penulis di lingkungan sekitar masih belum terdapat kelembagaan resmi yang di suratkan oleh pemerintah. 

Selama ini memang program pemerintah yang diwacanakan sudah sangat bagus, hanya saja pengawasannya di lapangan masih belum memuaskan bagi kalangan petani sawit.

Sepertinya butuh pendampingan yang intensif terhadap tata kelola berkebun sawit hingga ke proses transaksi jual beli. Hal ini tentu saja akan mendongkrak semangat petani karena merasa dilindungi oleh penyelenggara negara. Secara tidak langsung pun akan mempertegas perusahaan sawit yang mungkin sedikit nakal cara mainnya.

Langkah sederhana dapat dilakukan misalnya dengan pemberian STDB kepada petani seperti yang sudah diungkapkan di awal. Penulis pikir hal ini tidak menyulitkan bagi pemerintah.

Selanjutnya realisasi kelembagaan petani penulis rasa bisa segera dibentuk dan disuratkan. Tahun 2020 yang masih sangat awal sekali ini merupakan momen yang tepat untuk menerbitkan hal itu. Anggap saja sebagai penyambut tahun baru bagi petani sawit dan momentum tegasnya persawitan Indonesia. 

Lantas apabila nantinya sudah berjalan sesuai dengan koridor yang tepat, peremajaan sawit juga harus diperhatikan. Demi tetap terjaganya kelestarian lingkungan negeri ini. Semoga saja.*

(Penulis adalah staf Seksi Statistik Produksi BPS Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.